Mohon tunggu...
Heri Purwoko
Heri Purwoko Mohon Tunggu... Dosen - Words & Images

Dosen penulisan skenario, editor-in-chief beberapa media internal, dan chief creative officer sebuah perusahaan desain kecil di Jakarta. Suka jalan-jalan, sambil bersepeda. :)\r\n\r\ne: heriko.media@gmail.com\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Weekend di Bukit Barisan Selatan

8 Juni 2014   22:00 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:41 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di Rhino Camp, Mas Tarno banyak bercerita tentang gajah, tentang bagaimana kita peka terhadap perubahan fisik gajah ketika berhadapan. Mas Charlie dan beberapa rekannya sebagai orang lapangan juga bercerita tentang suka duka menjaga kawasan TNBBS, khususnya dari titik Rhino Camp hingga ke dalam. Beberapa hewan seperti gajah, badak, dan harimau sering terpantau melintasi wilayah tersebut, walau fakta pertemuan langsung secara fisik sangat kecil. Mas Charlie, yang dulunya pernah juga bekerja di Riau, menjelaskan bagaimana konflik dengan para pembalak dan pemburu menjadi kendala utama. Itu pula yang menyebabkannya terpaksa harus 'berganti identitas' tiap kali pindah lokasi kerja.

Setelah bicara tentang camp dan hewan-hewan di sana, tiba giliran kami diajak masuk ke hutan dan dipaparkan simulasi camera-trap. Ya, ini adalah kamera yang diletakkan di batang-batang pohon dengan lokasi strategis di tepi atau tengah hutan. Tujuannya untuk menangkap satwa yang melintas di depannya. Bagaimana bisa? Sensor yang ada di kamera akan menangkap suhu tubuh tertentu dan kamera akan meng-capture dengan pilihan foto atau video yang telah di setting sebelumnya. Dengan dua belas baterai ukuran AA, kamera merek Bushnell itu bisa bertahan sekitar tiga bulan. Biasanya tim akan melakukan preview atau copy data dari kamera untuk selanjutnya diputuskan apakah perekaman berlanjut atau berganti lokasi.

Malam harinya, kami dibagi dua kelompok untuk menyusuri tepian hutan yang bersinggungan dengan jalan raya. Berbeda dengan kelompok pertama yang sempat menemui tarsisius, saya yang berada di kelompok dua mendapati iguana dan kelinci Sumatera. Malam itu pula saya melihat lautan gemintang yang berpendar di langit malam. Belum pernah saya melihat sebanyak itu, bahkan di beberapa perjalanan saya ke gunung lain sebelumnya. Di atas jalanan berumput, saya sempat merebahkan tubuh,  menikmati apa yang mata saya lihat. Ya, speechless itu sederhana.

Persahabatan Sungai dan Lima Gajah

Hari berikutnya, kami berkemas melanjutkan perjalanan dan singgah di pos gajah Pemerihan. Di sana, sudah menunggu para pawang gajah yang biasa disebut mahout dan tentu saja dengan gajahnya. Ada lima gajah pintar yang kemudian menyapa kami; Karnangin (yang paling besar), Renggo, Arni, Yongki, dan Tommy.

Tommy mempunyai tubuh paling kecil, berusia 4 tahun, dan sudah punya gading. Ia adalah gajah yang paling banyak dibicarakan di antara kami. Selain karena postur tubuhnya yang kecil (tingginya tidak lebih dari saya), juga karena cerita dibaliknya. Kabarnya, Tommy menyaksikan bagaimana ibunya dibunuh warga. Hidup sendiri dan tidak diterima oleh kelompoknya membuat Tommy harus berjalan jauh dari hutan, hingga akhirnya bertemu salah satu pawang yang kemudian membawanya ke area ini. Saat kami datang, Tommy tampak sedang mengikuti Arni, satu-satunya gajah betina yang tampaknya telah menjadi ibu angkat Tommy.

Kami diberi penjelasan dan bekal singkat mengenai apa yang harus dan jangan dilakukan antara manusia dan gajah ketika berinteraksi. Salah satunya adalah 'jangan mengagetkan'. Biarkan gajah tahu kita sedang atau hendak mendekati mereka. Jangan coba mengejutkan dengan kemunculan kita yang tiba-tiba, atau gajah bisa munculkan hal yang tak terduga seperti berlari menjauh atau malah menghampiri.

Gajah yang terus diburu karena mengganggu perkampungan atau karena alasan gadingnya yang bernilai mahal adalah kendala utama yang harus dihadapi oleh para penjaga dan pekerja TNBBS. Walaupun patroli kerap dilakukan, tapi kenyataannya perkembangan populasi tidak terlalu signifikan. Gajah liar yang lapar seringkali masuk dan memakan hasil kebun milik warga di sekitar TNBBS. Kalau sudah begitu, kenyataannya antara diusir, atau malah dikejar dan diburu.

Adegan berikutnya yang menjadi scene favorit saya selama perjalanan ini adalah memandikan gajah di sungai. Sungai dangkal sebatas dengkul itu begitu jernih dengan bebatuan koral di dasarnya. Gajah-gajah bertubuh besar itu turun ke sungai dengan biasa, tanpa kesulitan. Mahout yang menunggangi tengkuknya menggeliat mengikuti gerakan perlahan gajah yang anggun.

Gajah-gajah merebahkan diri di bebatuan dasar sungai, membiarkan kami satu persatu membasuhnya dengan air dan pasir basah. Gading yang berwarna kekuningan itu juga tak luput dari usapan tangan saya, rambut-rambut tajam dan panjang yang mencuat di beberapa bagian tubuh terlihat asyik untuk diraba, hingga ujung belalai yang berfungsi juga sebagai jari dan selalu bergerak-gerak yang menarik perhatian saya.

Saya diperbolehkan naik ke mamalia darat terbesar itu. Bersama Mbak Nuri, saya menaiki Renggo, gajah terpintar di kelompoknya. Rasanya menakjubkan berada di atas Renggo, kulitnya yang keras seakan kontras dengan gerakan tulang di tengkuk dan punggungnya yang perlahan, membuat area tulang ekor dan bokong saya terpijat. Beberapa saat kemudian, kami harus turun lantaran Mbak Vira dan Mas Edi hendak memotret para gajah beserta pawangnya, dengan berbagai pose; belalai terjulur, hingga kaki depan terangkat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun