Di hari-hari tertentu kadang dia kedatangan tamu. Mereka memohon kesembuhan atas penyakit yang diderita. Ada yang datang sekedar untuk menanyakan hari baik untuk membangun rumah, menikah dan memberi nama pada anak yang baru lahir. Anehnya, si nenek tak pernah merasa bisa menyembuhkannya. Sebab sakit dan sembuh hanyalah Tuhan saja yang berwenang menentukan. Demikian pula dengan hitungan hari baik, tak pernah sekalipun ia merasa bisa menghitung. Semua hari itu baik, hanya saja tidak semua yang baik itu cocok dengan apa yang kita niatkan. Semua kembali pada Tuhan. Titik.
Di depan rumahnya yang mungil, terdapat sebuah sumur tua. Sumur itu sangat sederhana, sesederhana rumah, tepatnya gubug, yang ditinggalinya. Semua orang boleh mengambil air dari sumur itu. Aneh, dimusim kemarau yang panjang, sumur itu tidak pernah kekeringan. Bahkan berkurang airnya pun tidak. Kata nenek, begitulah orang yang percaya, semakin memberi semakin banyak yang akan diterimanya.
***
Malam sudah sepenaikan. Rembulan semakin memancarkan kehangatan. Tingginya hampir melampaui pohon kelapa di depannya. "Dimanakah ini?", si bocah lupa posisi. Seingatnya, di gunung ini tak ada tempat seindah ini. Bintang-bintang seolah bertaburan di langit, bertebaran ke tanah, menempel pada gerumbul pepohonan, melekat di batu, bercampur pasir, berputar terbawa angin. Â Â
Mengapa burung-burung hinggap tak jauh dari tempatnya berdiri? Ular putih berbentol hitam, berlalu saja tanpa waspada. Ada ayam hutan terpekur dibalik pohon Talas, mengerami telur-telur untuk ditetas. Berang-berang sebelas berbaris menuju kubangan. Tupai-tupai lincah meloncat-loncat tanpa jatuh dan takut. Â Â
Sekilas terdengar siulan, dari jauh suara riuh perempuan-perempuan. Siapakah gerangan mereka di tempat sejauh ini?
Kadangkala suara auman, sungguh mengagetkan. Bayangan semakin berkelebat ke sana-sini. Tanah seolah bergetar, seperti di dekat tempat penggilingan padi. Kadang pandangan seperti hilang, namun bukan kantuk. Saat pandangan mulai hilang, terlihatlah kabut tipis dengan cahaya putih sebesar buah jambu hampir matang. Cahaya itu tingginya tak jauh dari kepala bocah itu.
Tak habis pikir si bocah pada suasana malam itu. Mengapa semua serba remang dan gamang. Kadang terlihat seperti pagi, namun sesungguhnya malam. Kadang bersuasana siang namun sesungguhnya temaram.
Dikedip-kedipkan matanya kadang diusap dengan tangan. Belum habis rasa penasaran ketika sang nenek tiba-tiba menyentuh bahu kirinya.
"Sudah siap?", tanya neneknya. Ia bingung harus menjawab apa. Akhirnya mengangguk saja. Diserahkan tampah beserta isinya. Ditata menyerupai perjamuan baginda raja.
Duduk berderet di atas tikar. Nenek ternyata membawa tikar yang putih bersih. Si anak tahu kepada siapa mereka hendak bertamu. Â