Mohon tunggu...
Heribertus Binawan
Heribertus Binawan Mohon Tunggu... Dosen -

Lahir di lereng Gunung Merapi di keluarga guru SD yang sederhana. Suka menulis apa saja sesukanya. Senang bertemu siapa saja. Dosen B Inggris yang beristri seorang guru SMA dengan 2 anak perempuan imut - sungguh memupuk semangat hidup. Semoga segala kebaikan untuk ANDA hari ini..!!!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Nyanyi Sunyi, Tembang Malam

4 Agustus 2018   14:05 Diperbarui: 4 Agustus 2018   23:00 1275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (pixabay - ekohernowo)

Sore ini hujan baru saja reda, cahaya kuning terang mulai menyala. Liuk menari pohon Trembesi terbawa tembang lembah melandai. Seorang nenek terlihat berpakaian rapi. Ia menyembul dari balik pohon-pohon Kopi di pinggir jalan. Berkebaya hitam, berkain coklat pekat khas petani dusun. Rambut putih rapi diikat ke belakang. 

Meski telah beruban namun terlihat tebal, lebat, panjang dan berkilau. Ia berkalung selendang ungu panjang, tipis menjuntai dari leher lalu pundak dan lengan. Selendang ungu berkelebat-kelebat terbawa kibasan tangan kiri dan kanan. Saat berjalan, gerakannya harum daun pandan. Wajahnya berseri wangi bunga melati.   

Pelan tapi mantap, ia berjalan ringan menuju ke timur. Mungkin menuju ke bukit menjulang itu, yang dari jauh bentuknya menyerupai raksasa tidur.

Dari gerakannya, orang tidak akan mengira usianya sudah kepala tujuh. Tubuhnya ramping, jalannya lincah. Mulutnya komat-kamit seperti melafal mantra. Sesungguhnya mengunyah daun sirih saja. Ataukah sungguh melafal doa? Ahh...gerak-geriknya selalu melontarkan tanya. Sebentar-sentar ia menoleh ke belakang, mengukur seberapa jauh putu lanang, berjalan di belakang.

Anak kecil itu tak lama menyusul kemudian. Ia mungkin berumur sepersepuluh usia neneknya. Badannya sehat dan gerak-geriknya lincah. Ia gesit berlari kecil sambil menyunggi tampah. Meski tampah ditutup daun pisang, orang pastilah menduga isinya sesaji ruwah sarana sembahyang. 

Bajunya coklat seragam pramuka kebanggaannya. Celananya merah, baru beli dari pasar untuk keperluan upacara di hari senin depan. Tanpa terumpah. Sungguh gagah!

Inilah bulan yang dirindu banyak orang. Di bulan ini semua mengirim sedekah tanda sayang, dari yang muda kepada yang tua; dari yang masih mengelana di dunia pada leluhur di surga, tepatnya leluhur Gunung Suryakencana. Gunung itu tak jauh, letaknya hanya di sebelah timur desa.  

Bergegas mereka berdua. Berjalan setengah berlari namun tak terengah nafasnya. "Nenek, tunggu aku!", tukas si bocah. "Bukankah dari tadi nenek menunggumu?", jawab nenek singkat tanpa sedikitpun menoleh. Sebab baginya, menunggu tak harus dengan diam termangu.

Ceria mereka tetap meneruskan perjalanan, kadang terdengar tawa si bocah melihat neneknya repot memilih langkah. Sedikit ditarik sinjang ke atas untuk memudahkan kaki menjangkah. Maklum selepas hujan, jalan becek oleh bercak lumpur merah. Jangan sampai baju nenek berlumur, sebab belum juga bertemu pada siapa mereka hendak tafakur.

Jalan kian naik, suasana makin sunyi. Angin semakin dingin, kabut pelan memagut. Garengpung menyahut agung, jangkerik menyanyikan derik. Matahari kian ke barat, kian memerah sinarnya. Bayang-bayang hitam pepohonan kian pekat. Membentuk gerumbul bayangan orang-orang. Berkelebat, berlari, bersembunyi di balik sepi sunyi. "Selamat datang!" sambut keremangan malam.

Di tenggara, bulan remang-remang menampakkan bentuknya. Tipis terangnya. Tegas garis lingkarnya. Bulat. Sebulat tekat keduanya berjalan melunaskan hasrat.

***

Setelah melalui deretan pepohonan rimbun, kurang lebih satu jam perjalanan lamanya, sampailah mereka di tanah datar pertama. Bulan menjadi satu-satunya cahaya. Gerumbul pepohonan seolah menjadi kawan seperjalanan. Gerumbul itu seolah berkedip, bergumam kadang pula tersenyum memandang dua manusia yang sedikit memacu langkahnya.

Nenek menghentikan langkah, memejamkan mata, merentangkan tangannya. "Berhenti sejenak." Katanya singkat.

Di sebuah gundukan tanah, terlihat bongkah batu sebesar meja tamu. Di atas batu itu terlihat sisa pemberian bunga terakhir. Sudah mulai layu dan mengering. Disingkirkannya bunga kering itu ke sisi kiri saja. Tidak dibuang. Sepertinya bagi si nenek, tak ada suatu barang pun yang layak untuk dibuang.

Lalu dibukanya bungkusan kain putih, segera diambilnya sebutir bunga kantil kuning, sedikit melati dan beberapa mawar putih. Nenek itu kemudian membungkuk, memberi hormat kepada 'penjaga gerbang'. 

Si anak terpejam dengan tampah tetap di kepalanya. Ia tidak menunjukkan rasa heran atau cemas atas apa yang dilakukan neneknya. Bahkan sepertinya, ia tak pernah ingin bertanya tentang siapa yang diajak bicara oleh neneknya itu. Baginya, semua kejadian itu adalah nafas hidupnya. Bukankah nafas tak pernah dipertanyakan? Ia ada.. selalu ada... tetap ada... dan begitulah ia dan nenek itu.

Memang jarang manusia berani merambah hingga ke tanah datar itu. Sebab di sana konon ada seekor macan penunggu batu. Macan itu bentuknya seperti macan pada umumnya, hanya saja ada bercak warna kuning disamping warna hitam dan coklat atau putih. 

Menurut cerita, macan itu sesekali berkunjung ke pemukiman warga. Bukan untuk mencari mangsa. Hanya sekedar menjaga keamanan layaknya prajurit penjaga kota. Namun ini di desa atau gunung, maka macanlah prajurit penjaga desa.  

Selesai menaruh sesaji bunga, nenek itu menanyai cucunya. Barangkali ia haus atau lapar. Senyum seringai sang cucu tanda ia tak keberatan tanpa itu semua. Nenek tersenyum tipis. Kepalanya sedikit menggeleng. Tersirat rasa sayang dan damba tak terhingga; cucunya kelak menjadi penggantinya.

Setelah mengambil nafas dalam-dalam sebanyak beberapa kali. Lalu nenek bergegas kembali ke jalan setapak. Bersama mereka berjalan. Kali ini tidak depan belakang. Meski jalan sempit, mereka beriringan kiri dan kanan. 

Tergurat rasa yang mendalam di antara mereka berdua. Saling senyum, saling menepuk. Lalu nenek itu tersimpuh, dirangkulnya si cucu, dicium pelupuk dahinya beberapa kali. Sungguh kesayangan!

***

Bagaimana tidak sayang pada cucunya itu? Ia tak berayah ibu. Ia masih bayi ketika ditemukannya di samping parit di sebuah pagi. Rupanya nenek sudah menaruh niat dan harap atas anak tersebut. 

Sekilas dari isak tangisnya, nafasnya terlihat panjang dan kuat. Kaki dan tanggannya berotot, tulang-tulangnya tegap tak bercacat. Dianggapnya ia putera titipan dewi bulan. Ditambah pula si nenek tidak memiliki anak, maka bayi itu lalu diangkatnya sebagai cucu. Ya, cucu...bukan anak. Sebab ia tetaplah putera titipan bulan.

Sejak saat itu penduduk desa pun menganggapnya sebagai cucu si nenek. Mereka tak pernah mempertanyakan ayah dan ibu si anak. Seperti halnya si nenek, anak itu pun mereka anggap sebagai putera langit. Mereka berdua dianggap keturunan orang 'atas' -- sebutan bagi keturunan para penghuni kahyangan Gunung Suryakencana.

Gunung yang gagah, tinggi menjulang. Gunung yang kaya oleh sumber-sumber kehidupan. Airnya berlimpah-limpah. Kayu-kayunya berukuran besar, kuat dan lurus. Gunung itu menyimpan kekayaan berupa satwa dan tanaman yang tak akan pernah habis dimakan jaman. Gunung kemuliaan, tempat singgah para leluhur dan dewa dari kahyangan. Gunung Suryakencana, cahaya kemuliaan yang hakiki.

***

Perjalanan masih setengah lagi jauhnya. Bekal air minum dan nasi ketan belum tersentuh. Masih utuh. Sebenarnya bekal tersebut disiapkan oleh si nenek untuk cucu kesayangan. Biasanya ia mudah haus dan lapar. Tapi kali ini lain, dia terlihat begitu tangguh, penuh semangat menyala-nyala. Jangankan lapar atau pun haus. Raut mukanya pun masih merah, belum terlihat layu atau biru.

"Syukur, alhamdulillah!", ucap nenek dalam hati. Mensyukuri karunia yang semakin hari kian ia rasa kekuatannya. Upacara ini nanti pun masih dalam rangka bersyukur atas karunia hidup yang mereka terima. Maka disiapkanlah masakan sego golong beserta lauk pauknya sekedar tanda ucapan kasih kepada Sang Pencipta.

Kenapa ke gunung? Bukankah kita bisa berterima kasih dari rumah? Ahh... nenek itu tentu tak mau menuruti kataku. Sebab jika saja ada tempat lain yang lebih tinggi dan elok, tentulah ia akan ke sana untuk mengucap syukur itu.

Rasa syukur pada Tuhan selalu menjadi alasannya untuk tetap bangun di pagi buta, membasuh wajah, tangan dan kaki lalu duduk terdiam menengadah. Hanya untuk berucap syukur dan syukur. 

Di hadapannya tidak ada harta, emas, berlian, uang dan kekayaan lainnya. Di rumahnya hanya ada tikar, satu tikar bersih dan satu lagi yang bolong-bolong. Satu tikar untuk bercengkerama dengan Tuhan yang lainnya untuk bercengkerama dengan cucu kala makan singkong di bawah cucuran hujan.

Di hari-hari tertentu kadang dia kedatangan tamu. Mereka memohon kesembuhan atas penyakit yang diderita. Ada yang datang sekedar untuk menanyakan hari baik untuk membangun rumah, menikah dan memberi nama pada anak yang baru lahir. Anehnya, si nenek tak pernah merasa bisa menyembuhkannya. Sebab sakit dan sembuh hanyalah Tuhan saja yang berwenang menentukan. Demikian pula dengan hitungan hari baik, tak pernah sekalipun ia merasa bisa menghitung. Semua hari itu baik, hanya saja tidak semua yang baik itu cocok dengan apa yang kita niatkan. Semua kembali pada Tuhan. Titik.

Di depan rumahnya yang mungil, terdapat sebuah sumur tua. Sumur itu sangat sederhana, sesederhana rumah, tepatnya gubug, yang ditinggalinya. Semua orang boleh mengambil air dari sumur itu. Aneh, dimusim kemarau yang panjang, sumur itu tidak pernah kekeringan. Bahkan berkurang airnya pun tidak. Kata nenek, begitulah orang yang percaya, semakin memberi semakin banyak yang akan diterimanya.

***

Malam sudah sepenaikan. Rembulan semakin memancarkan kehangatan. Tingginya hampir melampaui pohon kelapa di depannya. "Dimanakah ini?", si bocah lupa posisi. Seingatnya, di gunung ini tak ada tempat seindah ini. Bintang-bintang seolah bertaburan di langit, bertebaran ke tanah, menempel pada gerumbul pepohonan, melekat di batu, bercampur pasir, berputar terbawa angin.    

Mengapa burung-burung hinggap tak jauh dari tempatnya berdiri? Ular putih berbentol hitam, berlalu saja tanpa waspada. Ada ayam hutan terpekur dibalik pohon Talas, mengerami telur-telur untuk ditetas. Berang-berang sebelas berbaris menuju kubangan. Tupai-tupai lincah meloncat-loncat tanpa jatuh dan takut.   

Sekilas terdengar siulan, dari jauh suara riuh perempuan-perempuan. Siapakah gerangan mereka di tempat sejauh ini?

Kadangkala suara auman, sungguh mengagetkan. Bayangan semakin berkelebat ke sana-sini. Tanah seolah bergetar, seperti di dekat tempat penggilingan padi. Kadang pandangan seperti hilang, namun bukan kantuk. Saat pandangan mulai hilang, terlihatlah kabut tipis dengan cahaya putih sebesar buah jambu hampir matang. Cahaya itu tingginya tak jauh dari kepala bocah itu.

Tak habis pikir si bocah pada suasana malam itu. Mengapa semua serba remang dan gamang. Kadang terlihat seperti pagi, namun sesungguhnya malam. Kadang bersuasana siang namun sesungguhnya temaram.

Dikedip-kedipkan matanya kadang diusap dengan tangan. Belum habis rasa penasaran ketika sang nenek tiba-tiba menyentuh bahu kirinya.

"Sudah siap?", tanya neneknya. Ia bingung harus menjawab apa. Akhirnya mengangguk saja. Diserahkan tampah beserta isinya. Ditata menyerupai perjamuan baginda raja.

Duduk berderet di atas tikar. Nenek ternyata membawa tikar yang putih bersih. Si anak tahu kepada siapa mereka hendak bertamu.  

Doa puji puja pada Penguasa semesta raya. Bergumam dan berdendang. Menari dan berpuisi di bawah terang bulan.

Angin bergemuruh entah dari mana. Awan mega bergulung-gulung. Rasanya seperti hendak hujan. Namun tidak juga kunjung turun. Asap dupa kian bergaung. Wangi harum bunga panca warna. Ada suara air terjun namun tak ada wujudnya. Angin dingin menusuk tulang. Hari semakin gelap, si anak semakin hilang kesadaran. Lalu jatuh tersujud. Sunyi. Hilang bunyi.

Bismillahirrahmanirrahim, niat ingsun sedya caos puja pujining hyang luhur wonten ngarsanipun ibu bumi soho bopo langit, langkung-langkung dumateng ngarsanipun Gusti Allah ingkang siniwoko lenggah ing kasuwargan langgeng papanipun sedoyo tiyang lan sedoyo titah Dhalem badhe wangsul lan makempal dados setunggal. 

Injih Panjenengan ndalem ingkang nitahaken samudayanipun ingkang gumelar lan ingkang gumulung, ingkang gesang soho ingkang mboten gesang, ingkang wadag lan ingkang sanes wadag, ingkang mursyid soho ingkang murid, ingkang minulyo soho ingkang asor, samudayanipun ingkang wonten ing pundi papan tansah ngayomi, ngayemi, memayung lan nyengkuyung sedoyo kasaenan ing gesang.

Kepareng hangaturaken wonten ing mriki caos pepudyan arupi sekar gangsal warni injih puniko mawar abrit lan petak, kanthil, mlati, lan kenanga ingkang murugaken gegambaran gangsal perkawis ing manungso injih wadag, sukmo, niat, raos lan batos ingkang satuhu badhe tansah tetunggilan lan manembah ing Pangeran. 

Sekar mawar abrit lan petak mugi dados gegambaran bilih wontenipun kawulo meniko injih awit saking wontenipun bopo lan ibu. Bopo langit lan ibu pertiwi ingkang kajiwo kasaliro dados sarono tetunggilanipun sedoyo trah tumerahipun bongso ing tanah jawi lan nuswantoro. Mugi tansah langgeng mardiko tansoyo agung, tansah mulyo tetelo dados pinunjul lan tepo tulodho bangsa sanesipun; mugi tebih saking sedoyo godha rencana, nir ing bebendu, nir ing beboyo, nir ing sambikolo ingkang dados crah lan bubrahing bebrayan ageng nuswantoro. 

Sekar kanthil setunggal mugi dadosa gegambaranipun manunggaling niat tansah kumantil wanginipun, kumantil dayanipun, kumathil budhi pekertinipun wonten ing pasrawungan, ing pakaryan lan pagesangan kawulo ing pundi kemawon. Mugi sekar kanthil meniko ugi dados gegambaran amrih tansah kemanthil-kanthil anggenipun laku sinatria utama ingkang andap asor, alus, tulus, tresno lan purun tetulung kaliyan sinten kemawon. Tansah ngugemi atur sugih tanpo bondho, nglurug tanpo bolo, lan menang tanpo hangasorake. Tebih ing crah suloyo nopo malih paben memengsahan ingkang tundonipun nebihaken kawulo saking Gusti.   

Sekar melati sajimpit mugi dados pralambang tulusing ati utaminipun raos soho batos badhe netepi sedoyo prentah Dhalem lan nyingkur sedoyo larangan nDhalem Gusti. Niatipun ati tumusing budhi mugi tansah anjalari kawulo saget dados titah ingkang migunani tumrap kulowargo, sederek kiwo tengen lan utaminipun tumrap agama, bangsa lan nagari. 

Sekar kenanga mugi dados pralambangipun batos ingkang tansah tebo-tebo nyenyuwun kamirahan nDalem Gusti supados tansah eling kenangapa aku urip. Mugi dadosa pancataning lampah kawulo sasampunipun eling lan mangertos bilih gesang meniko ateges ngemban amanahipun Gusti ingkang akarya jagat, injih Gusti Allah setunggal. 

Dene arupi dupo minongko gegambaran kawulo titah sekeng lan alit badhe tansah dedepo nyenyuwun sedoyo kamirahan ing agesang supados lancar lan gampil anggenipun pados pangupojiwo lan pagesangan saben dintenipun.  

Sekul golong setunggal mujudaken golong giliging manah ingkang prasetyo janji badhe nampik sedoyo polah pakaryaning syetan, goda lampahing iblis ingkang satemah badhe nebihaken kawulo saking Gusti. 

Tigan ayam kampung soho sawernining lawuh lan jangan, minongko wujuding sedoyo pemanggih lan pangajeng-ngajeng badhe tansah langgengipun sedoyo kasaenan nDalem Gusti tumraping manungso lan sedoyo titah. Mugi kawulo tansah linuberan kamirahan, tansah paring pangapunten dateng sedoyo kalepatanipun tiyang sanes, tebih saking raos dendam kesumat. Lan mugi-mugi samangke awit saking sedoyo kamirahan nDalem, kepareng tigan meniko netes saenggo saget numusi menopo ingkang dados panjangkung lan panyuwun kawulo.

Sedoyo ubo rampe lan kekeran ingkang mboten sampurno mugi Gusti kerso nampi kanthi asto tinarbuko kadyo pletheking srengenge ing wayah enjing ingkang tansah manjer manjing ajur ajer dados setunggal kaliyan wadag, sukmo, niat, raos lan batos kawulo. Bar..babarr...dadosa sedoyo binabar enggal! Amin. Amin. Amin. 

***

Slapp!!! Sebuah kilatan cahaya menyambar. Sayup-sayup suara azan menyahut syahdu. "Dimanakah aku?", tanya si bocah.   

Hari sudah beranjak pagi. Hangat sinar matahari. Samar terlihat sebentuk bilik bambu. "Bukankah ini rumah?", gumamnya heran. Sebab kemarin berjalan bersama nenek ke hutan naik gunung. Mengenakan baju seragam pramuka dan celana merah upacara. Seingatnya mereka sampai di sana lalu berdoa dengan segala ritualnya. Mengapa? Mengapa?

Sebentar kemudian ia keluar bilik, ingin menemui neneknya. Ia beranjak lalu berlari ingin tahu neneknya kini. Ia ingin berteriak memanggil sebelum akhirnya didapatinya si nenek merajang sayur dan meracik bumbunya.

"Nenek?" sapanya. Sang nenek meletakkan pisau dapurnya, lalu berpaling mendapati cucunya. Lalu ia tersenyum sambil menjawab singkat,"Apakah kamu lupa nenek ini siapa?".

Canda tawa pecah. Tertawa lepas mereka berdua. Ya, hidup adalah nafas dan nafas tak pernah dipertanyakan. Dijalani dengan riang. Disyukuri dengan sepenuh hati. Wassalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun