***
Bagaimana tidak sayang pada cucunya itu? Ia tak berayah ibu. Ia masih bayi ketika ditemukannya di samping parit di sebuah pagi. Rupanya nenek sudah menaruh niat dan harap atas anak tersebut.Â
Sekilas dari isak tangisnya, nafasnya terlihat panjang dan kuat. Kaki dan tanggannya berotot, tulang-tulangnya tegap tak bercacat. Dianggapnya ia putera titipan dewi bulan. Ditambah pula si nenek tidak memiliki anak, maka bayi itu lalu diangkatnya sebagai cucu. Ya, cucu...bukan anak. Sebab ia tetaplah putera titipan bulan.
Sejak saat itu penduduk desa pun menganggapnya sebagai cucu si nenek. Mereka tak pernah mempertanyakan ayah dan ibu si anak. Seperti halnya si nenek, anak itu pun mereka anggap sebagai putera langit. Mereka berdua dianggap keturunan orang 'atas' -- sebutan bagi keturunan para penghuni kahyangan Gunung Suryakencana.
Gunung yang gagah, tinggi menjulang. Gunung yang kaya oleh sumber-sumber kehidupan. Airnya berlimpah-limpah. Kayu-kayunya berukuran besar, kuat dan lurus. Gunung itu menyimpan kekayaan berupa satwa dan tanaman yang tak akan pernah habis dimakan jaman. Gunung kemuliaan, tempat singgah para leluhur dan dewa dari kahyangan. Gunung Suryakencana, cahaya kemuliaan yang hakiki.
***
Perjalanan masih setengah lagi jauhnya. Bekal air minum dan nasi ketan belum tersentuh. Masih utuh. Sebenarnya bekal tersebut disiapkan oleh si nenek untuk cucu kesayangan. Biasanya ia mudah haus dan lapar. Tapi kali ini lain, dia terlihat begitu tangguh, penuh semangat menyala-nyala. Jangankan lapar atau pun haus. Raut mukanya pun masih merah, belum terlihat layu atau biru.
"Syukur, alhamdulillah!", ucap nenek dalam hati. Mensyukuri karunia yang semakin hari kian ia rasa kekuatannya. Upacara ini nanti pun masih dalam rangka bersyukur atas karunia hidup yang mereka terima. Maka disiapkanlah masakan sego golong beserta lauk pauknya sekedar tanda ucapan kasih kepada Sang Pencipta.
Kenapa ke gunung? Bukankah kita bisa berterima kasih dari rumah? Ahh... nenek itu tentu tak mau menuruti kataku. Sebab jika saja ada tempat lain yang lebih tinggi dan elok, tentulah ia akan ke sana untuk mengucap syukur itu.
Rasa syukur pada Tuhan selalu menjadi alasannya untuk tetap bangun di pagi buta, membasuh wajah, tangan dan kaki lalu duduk terdiam menengadah. Hanya untuk berucap syukur dan syukur.Â
Di hadapannya tidak ada harta, emas, berlian, uang dan kekayaan lainnya. Di rumahnya hanya ada tikar, satu tikar bersih dan satu lagi yang bolong-bolong. Satu tikar untuk bercengkerama dengan Tuhan yang lainnya untuk bercengkerama dengan cucu kala makan singkong di bawah cucuran hujan.