"Ahh, tapi lampu kamarnya kok masih menyala ya An?", Wati penasaran.
Andi Nampak mulai kalut, jangan-jangan Mbah Badut.....
"Gini saja, untuk memastikan aku akan membuka paksa daun jendela hijau kusam itu, tolong ambilkan linggis di rumah Mbok Ginem ya An!", pinta Andi.
Akhirnya Aan kembali ke tempat teman-temannya setelah mencari linggis di rumah Mbok Ginem.
"Linggisnya nggak ada Ndi", kata Aan melaporkan.
Akhirnya Andi terpaksa membuka jendela itu dengan tangannya saja, ia sudah bersiap mendobrak jendela itu, tetapi ternyata jendela terbuka ketika Andi menyentuh gagangnya, tidak terkunci dari dalam. Andi kemudian memanjat jendela, masuk kedalam kamar. Ia melihat Mbah Badut tengkurap sambil mendekap kostum badutnya. Andi mencoba memegang kaki Mbah Badut, dingin, kaku.
"Tolongggg!!!!! Mbah Baduttttt......" Andi sontak berteriak keras, lalu menangis keras.
"Ada apa Ndi, apa yang terjadi??", tanya keempat temannya.
"Cepat kasih tahu siapa saja orang disekitaran sini, Mbah Badut sepertinya sudah meninggal" Andi masih menangis sesenggukan.
Akhirnya beberapa orang tetangga berdatangan, membuka pintu rumah Mbah Badut, dan bahu-membahu mengurus jenazah Mbah Badut.
Aan, Andi, Dewi, Puspa dan Wati menangis berpelukan di bawah pohon jambu tua sambil sesekali menatap jendela hijau kusam itu. Andi melihat Mbah Badut tersenyum, melambaikan tangan, menjadi asap lalu menghilang.
"Selamat jalan Mbah Badut......"
Ponorogo, awal Pebruari 2024
      Â