Mentari begitu terik menyengat kulit, tak ada angin sedikitpun yang berhembus. Hanya terdengar suara gelombang air yang menyapu pinggir dermaga. Suasana riuh penuh isak tangis keluarga. Mereka seakan tak peduli dengan teriknya matahari. Pemberangkatan satuan tugas di perbatasan Negara oleh prajurit TNI AD yang begitu mengharukan. Hampir setiap sudut tempat terdapat segerombol keluarga yang ikut mengantarkan keberangkatannya. Bahkan tak hanya keluarga, namun beberapa ada yang bersama temannya maupun kekasihnya.
"jangan pergi........"
"Aku harus pergi demi memenuhi tugas dan tanggung jawabku sebagai abdi negara. Panggilan negara telah memanggil, maka aku harus pergi."
"Tapi, apakah aku sanggup?"
"Kamu harus kuat dan kamu pasti sanggup. Aku akan kembali untuk untukmu"
Dengan mata yang berkaca-kaca Dinda pun melepaskan kepergian kekasihnya. Satria kemudian pergi meninggalkan Dinda menuju kapal yang sudah menanti. Di ujung dermaga Dinda memandangi kapal yang kian menjauh. Satria pun melambaikan tangan kepada Dinda.
"Tunggu aku kembali sayang. Aku ingin besuk ketika aku kembali, kamu menjemputku dengan senyum terindahmu"
Ucapan lirih dari Satria melewati telepon genggam sembari tersenyum dari atas kapal, walaupun sebenarnya Satria juga berat untuk meninggalkan Dinda. Satria berusaha untuk menyembunyikan kesedihannya agar bias membuat Dinda lebih tenang. Dinda tak mampu berucap lagi . Air matanya deras mengalir di pipinya.
Pikiran Dinda berkecamuk disepanjang perjalanan pulang, rasanya seperti tidak adil untuknya. Dengan waktu yang singkat tiba-tiba harus melepas kepergian Satria. Sepuluh bulan bukanlah waktu yang singkat. Dinda hanya berharap akan selalu dapat kabar baik dari Satria .
 "Bang, aku berjanji. Akan selalu menjaga hatiku untukmu. Aku akan menunggumu kembali" ucap Dinda dalam hati sambil menghela nafas .
Selama ditinggal kekasihnya bertugas. Dinda lebih sering untuk menghabiskan waktunya untuk bekerja. Dinda adalah seorang pengajar anak usia dini. Semangatnya sangat membara untuk mencerdaskan anak bangsa. Tak jauh dari itu ,disaat lelahnya setelah seharian bekerja . Ingatan Dinda kembali kepada Satria yang berada jauh di sebrang. Sudah berhari2 sejak perpisahan didermaga. Dinda belum mendapatkan kabar lagi dari kekasihnya. Rasa khawatir pun selalu menyelimutinya. Ponselnya tak lepas dari genggamannya. Hampir setiap menit Dinda mengecek  ponselnya berharap ada kabar dari kekasihnya.
"Sayang, aku benar-benar rindu. Apa kabar kamu disana. Rasanya aku ingin waktu ini cepat berlalu Aku rindu hari-hariku penuh dengan canda tawamu. Aku memang sering tanpa kabar darimu. Tapi kali ini beda, kali ini kamu pergi untuk menjaga perbatasan negara. Di tempat terpencil. Tempat yang tidak bisa dijangkau jaringan ponsel. Cepatlah kembali sayang" kata Dinda dalam hati sambil melihat foto mereka saat di dermaga.
Mentari pagi bersinar sangat indah. Hembusan angin terasa syahdu. Pagi ini suasana hati Dinda sedikit membaik. Dinda selalu ingat kata-kata satria untuk selalu semangat dan menantinya kembali. Kebetulan hari itu hari minggu. Dinda ada janji untuk menemani Rere membeli sebuah kain di butik pusat kota
"Din, bagaimana? Sudah ada kabar dari kekasihmu?" sahut Rere
Rere adalah sahabat dekat Dinda. Mereka berdua sudah seperti saudara yang selalu berbagi rasa suka dan duka.
"Belum Re,,, bang satria belum memberi kabar sama sekali. Aku benar-benar cemas. Ponselnya tidak bisa dihubungi"
"Sabar ya, Din..... mungkin disana tidak ada signal"
"iya Re, kemarin sebenarnya sempat memberi kabar lewat SMS kalau bang Satria sudah sampai di Kotanya. Tinggal nunggu berangkat ke posnya. Dan ponselnya mati karena dikapal berebut untuk charger. Kemungkinan nanti kalau sudah sampai di pos tidak ada signal sama sekali. Karena benar-benar di tengah hutan. Tapi sayang banget aku pas tidak pegang ponsel. Jadi begitu aku balas ponselnya sudah tidak aktif lagi. Sedih banget tau, Re "
"Gak apa-apa, Din... itu adalah bagian dari perjuangan cinta kalian. Doakan saja yang terbaik" jawab Rere sambil memeluk Dinda.
"Makasih ya, Re.. kamu memang sahabat terbaik"
Mereka kemudian menyelesaikan belanjanya dan dilanjutkan makan siang di salah satu warung makan samping butik. Waktu terus berjalan, tak terasa sudah hampir 5 bulan Dinda ditinggal kekasihnya. Â Satria selalu menyempatkan waktu untuk memberi kabar kepada Dinda. Membuat hati Dinda penuh bahagia dengan canda tawanya. Meskipun hanya sekali atau duakali dalam sebulan. Hal itu tidak membuat hati Dinda bersedih. Dinda tau resiko menjadi kekasih seorang prajurit. Yang tidak bisa memberikan seluruh waktunya layaknya lelaki diluar sana. Meskipun kabar yang singkat pun sudah bisa membuat hati Dinda tenang. Setidaknya kekasihnya dalam keadaan yang baik-baik saja. Banyak hal yang bisa Dinda pelajari menjadi kekasih seorang abdi negara. Yang harus benar-benar setia saat ditinggal bertugas .
Hingga pada akhirnya ada sesuatu hal yang tidak dimengerti oleh Dinda. Beberapa waktu Sikap satria berubah total. Yang awalnya penyayang, lembut dan penuh canda tawa. Tiba-tiba menjadi kasar, pemarah dan tidak peduli kepada Dinda. Dinda yang mengetahui hal itu menjadi hancur. Disaat jarak memisahkan tetapi justru pertikaian selalu menghampiri.
"Kita sudahi saja hubungan ini"
Terdapat pesan singkat dari  Satria, dan seketika tubuh Dinda menjadi lemas tak berdaya. Seperti pohon yang tumbang terkena badai.
"Apa maksudnya bang, ade tidak mengerti. Abang sedang bercanda kan?" balas Dinda "Tidak, aku tidak bercanda. Aku capek selalu bertengkar seperti ini"
"Bang, ade boleh telfon?"
"Maaf sini sedang tidak kondusif signal-nya"
"Bang, aku tidak ingin akhiri hubungan ini"
"Sudah kita instropeksi diri saja. Makasih dan selamat malam"
"Sayang....tolong jangan seperti ini, kita selesaikan baik-baik. Ada apa sebenarnya?"
Tidak ada lagi balasan dari Satria. Dinda berkali-kali telfon ke ponselnya Satria berharap akan ada jawaban. Namun usahanya sia-sia, Â ponsel Satria sudah tidak aktif lagi. Semakin hancur hati Dinda. Perpisahan yang tanpa alasan dan tanpa sebab. Bagaikan terhantam batu yang keras .
Berhari-hari Dinda menunggu kabar dari Satria. Semenjak kejadian itu Dinda menjadi pemurung dan kurang semangat. Dinda masih berharap hubungannya bisa diperbaiki lagi. Tiba-tiba ponsel Dinda berdering. Panggilan dari Satria, tak lama Dinda mengangkat dengan penuh semangat dan harapan.
"Hallo, bang ...."
Iya, Din ... Maaf Din waktu saya cuma sedikit. Ada hal yang harus kamu tau. Aku kecewa sama kamu. Dan maaf kita harus benar-benar akhiri hubungan ini"
"Tapi ada apa bang, apa salahku? Setidaknya tolong beri penjelasan"
"Kamu tanya pada dirimu sendiri apa yang sudah kamu perbuat"
"Aku sama sekali tidak mengerti bang, tolong jelaskan. Kita sudah empat Tahun bersama. Kita mulai hubungan kita dari bawah. Suka duka kita lalui bersama. Apa harus berakhir dengan cara seperti ini"
"Harusnya kamu berfikir, kenapa tanya sama aku? Sudah ya.... Aku gak bisa lama-lama. Aku harus naik di atas pohon untuk bisa hubungi kamu. Dan mungkin ini terakhir aku hubungi kamu. Semoga kamu bahagia sama pilihan kamu"
Tuutttt....tutttt...tuuuttttttt......
Satria mematikan telfonnya secara sepihak. Dinda masih belum cukup penjelasan, berulangkali Dinda mencoba menghubungi ponsel Satria tapi sudah tidak aktif lagi.
Pagi harinya Dinda ijin untuk tidak masuk bekerja. Kejadian semalam membuat badan Dinda kurang sehat. Dinda juga tidak ingin masalahnya terbawa  dalam perkerjaan. Dengan badan yang masih lemas dinda pergi kerumah Rere. Sampai dirumah Rere, Dinda tidak sengaja mendengar Rere sedang berbicara dengan seseorang di ponsel.
"Tidak sat, aku sayang sama kamu. Kamu tidak sendirian. Aku akan selalu ada untuk kamu. Dinda memang tidak cocok untuk kamu. Kamu terlalu sempurna untuk orang penghianat seperti Dinda" Mendengar hal itu hati Dinda seperti tersayat pisau. Sahabat baiknya tega mengucapkan seperti itu kepada kekasihnya.
"Apa salahku? Penghianatan seperti apa? Aku tidak pernah menghianati Satria. Bahkan aku sama sekali tidak dekat dengan lelaki manapun" kata Dinda kepada Rere sambil berkaca-kaca matanya. Sontak Rere kaget akan kehadiran Dinda dan segera  mematikan telfonnya.Â
"Maaf, Din... bukan maksudku begitu, tapi ...."
"Cukup Re, makasih sudah menghianati persahabatan kita, aku tidak menyangka kamu bisa  berbuat seperti itu. Makasih untuk semuanya" ucap Dinda sambil bergegas pergi meninggalkan Rere. Sedangkan Rere hanya terdiam, tanpa berucap sepatah katapun. Rere sedikit menyesal tetapi Rere mencintai Satria. Rere juga tidak ingin kehilangan Satria.
"Tidak pernah aku sangka, sahabat yang selalu mendukung dan menyemangatiku disaat aku terpuruk sekalipun. Ternyata dia juga yang tega membuatku terjatuh" kata Dinda dalam hati sambil terus mengusap air matanya.
Malamnya Dinda berfikir keras. Rasa bimbang menghantuinya. Akhirnya Dinda memutuskan untuk memulai hidupnya yang baru. Menjadi gadis yang lebih dewasa lagi dan penuh dengan semangat. Karena dia percaya bahwa terlalu larut dalam kesedihan itu justru akan membuat keadaan semakin hancur.
Beberapa hari setelah kejadian itu, Dinda dan Rere tak lagi saling berkomunikasi. Persahabatan mereka seketika renggang karena cinta. Disaat itu juga pertemuan yang tidak sengaja antara Dinda dan teman kecilnya, Putra. Mereka terlihat asyik mengobrol disalah satu restoran di perbatasan kota. Pertemuan itu membuat mereka kembali bernostalgia pada masa kecilnya yang saling menjaga satu sama lain.
Kebetulan Putra sedang menikmati masa cuti dari kesatuan tempatnya mengabdi kepada sang Merah Putih, yaa benar dia juga merupakan seorang prajurit Angkatan Darat. Kehadiran Putra membuat rasa sakit hati Dinda sedikit terobati.
Waktu terus berjalan. Dinda dan Putra semakin dekat. Hubungan mereka sudah tidak lagi seperti teman biasa. meskipun Putra tau apa yang sedang dialami Dinda, Putra tidak segan-segan untuk mengenalkan Dinda kepada keluarga besarnya. Tidak lagi mengenalkan sebagai teman, tetapi sebagai calon istri. Keluarga besarnya juga menerima Dinda dengan hangat. Hal itu membuat Dinda sangat terkejut.
Teman yang sudah lama tidak bertemu tiba-tiba datang membawa berjuta kebahagiaan. Hati Dinda yang tidak mudah mencintai, tetapi luluh dengan sikap dan keberanian Putra.
"Tunggu aku kembali, Din. Aku akan bawa orangtuaku untuk segera melamarmu" ucap Putra sebelum Check-in di Bandara. Yeah, hari itu adalah perpisahan Dinda dan Putra. Sebelum Putra kembali berdinas, karena masa cutinya telah habis. Dua minggu bersama Dinda adalah moment yang bahagia untuk Putra. Putra telah mengenal Dinda sejak lama, begitu juga cintanya yang telah lama tumbuh. Namun Putra tahu bahwa Dinda telah bahagia bersama oranglain, itu sebabnya Putra tidak pernah mengganggu kebahagiaan Dinda.
Disaat hati Dinda terobati akan kehadiran Putra. Satria kembali untuk menghubungi Dinda. Satria ingin memperbaiki lagi hubungannya dengan Dinda. Dinda pun tidak ingin bercerita kepada Satria akan apa yang sebenarnya terjadi. Karena Dinda sempat mendapat kabar dari rekan Satria bahwa Satria sempat sakit ditempat penugasan. Dinda membiarkan semua mengalir begitu saja. Dinda menceritakan hal ini kepada Putra. Dan Putra menerimanya dengan baik. Waktu demi waktu berjalan seperti apa adanya. Hingga saat kepulangan tugas Satria datang. Dinda ijin kepada Putra untuk mendatangi Satria di Dermaga atas permintaan Satria. Di dermaga Satria sempat merasakan sesuatu yang beda dari Dinda. Di ponsel Dinda masih tersimpan sebagian pesan-pesan singkat dari Putra. Saat itu juga Satria terbawa emosi.
"Tega kamu, Din ...ternyata yang dikatan Rere selama ini benar" kata Satria sambil menatap laut dengan tajam.
"Apa maksud kamu bang, selama ini kamu tidak pernah cerita apa yang terjadi. Kamu meninggalkan aku tanpa sebab. Sekarang aku dekat dengan oranglain kamu marah"
"Sahabatmu, si Rere. Dia bilang kalau sewaktu aku di penugasan kamu pergi dengan laki-laki lain"
"Terus abang percaya?
Dinda menjelaskan semua yang terjadi, bahkan Dinda juga mengatakan tentang pertemuannya dengan Putra.
"Dia telah begitu menerimaku apa adanya, dia bahkan tak pernah meragukan aku sedikitpun, dia tau bahwa aku masih mencintaimu, tetapi dia tetap mau melamarku. Dia telah membuktikan cintanya. Dan kita berencana nikah tahun depan. Sedangkan abang dari awal kita menjalin hubungan, abang tidak pernah membahas tentang masa depan kita. Selalu menolak pembahasan itu"
Satria menatap Dinda tanpa kata. Tak terasa mata Satria berkaca-kaca. Hembusan air laut merasuk ke tulang. Nampaknya air laut ikut menyaksikan kisah haru ini. Satria tak berhenti untuk meminta maaf kepada Dinda atas kesalahpahaman ini.
Beberapa hari setelah itu, Dinda mengambil sebuah keputusan untuk kembali kepada Satria. Dan Dinda memberikan penjelasan kepada Putra.
"Tidak apa-apa Din, aku tidak sakit hati sama Dinda. Mas memang sayang sama Dinda, tapi Dinda juga berhak memilih. Semoga Dinda bahagia ya, doakan aku juga segera menemukan pendamping hidup yang seperti Dinda"
Keputusan Dinda membuat hati Satria senang dan bergegas untuk melamar Dinda. Mereka sama-sama mencoba untuk melupakan kejadian yang telah mereka lalui. Dinda dan Satria hidup bahagia, proses menikah di Kantor Satria yang tidak mudah dilewati membuat mereka lebih memahani arti dari perjuangan. Begitu juga kejadian yang mereka alami, membuat mereka mengerti akan pentingnya saling percaya dalam sebuah hubungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H