Seusai misa Natal pagi, Nenek itu berjalan menuju bangku di sebuah Taman depan Gereja Katedral. Baginya duduk santai di sana sudah menjadi kebiasaan rutin yang sudah lama dilakukannya.Â
Menikmati sekumpulan burung gereja yang berisik bercengkerama dengan kicauan merdu. Di tengah keceriaan pagi sambil merasakan udara segar yang menusuk lembut menembus kulitnya yang sudah keriput.Â
Daun-daun perdu masih penuh dengan titik-titik embun yang kini mulai terjatuh satu demi satu menyentuh tanah basah bekas hujan tadi malam.Â
Warna-warni bunga menghiasi setiap sudut Taman, memanjakan mata yang memandang. Sementara itu rumput hijau yang tertata rapi, memantulkan cahaya dari Sang Surya yang mulai memperlihatkan sorot kehangatan. Lurus sinarnya menembus halus pada setiap relung kehidupan tanpa balas dengan pamrih.Â
Taman di depan Gereja Katedral, bagi Nenek itu adalah tempat paling damai yang telah menyisakan kenangan berarti dalam kisah hidupnya. Di Taman itu dia harus mengingat kembali momen saat berpisah dengan tambatan hatinya.Â
Walaupun sudah berusia 70 tahun, tapi nenek itu masih terlihat cantik, tampak pada setiap guratan tipis di wajahnya. Di sana masih banyak tersisa garis kecantikan masa mudanya. Terutama matanya yang masih memiliki sorotan meneduhkan hati.Â
Pagi yang segar dengan kesejukkan yang seolah menyapanya sehingga membuat dirinya merasakan kembali kenangan 5o tahun yang lalu di sini, di bangku ini, di Taman depan Gereja Katedral.Â
Nenek itu ingin rasanya mengubah sebuah kenangan pahit jika saja dia mampu. Walaupun kenyataannya dia hanya bisa menyerah, tapi paling tidak saat ini kenangan pahitnya jangan sampai menjadi sebuah duka berkepanjangan.Â
Pada saat ingat ketika itu, jiwanya terasa ingin memberontak pada belenggu adat dan agama yang seolah mengekangnya dalam menentukan kebebasan memilih teman hidup yang dia cintai.Â
Banyak tanya dalam benaknya. Tapi tidak ada satupun jawaban yang memuaskan hatinya. Kenapa adat harus menghalangi cinta, mengapa agama harus menentukan cinta hanya pada satu golongan dalam sebuah kotak. Setiap tanya itu hanya berakhir dengan rasa kecewa.Â
Rasa tidak puas menguasai setiap ruang dalam jiwanya. Karena itu hampir saja dia ingin memilih menjadi seorang atheis saja. Seorang yang tidak pecaya Tuhan.Â
Hal itu karena agama membuatnya tidak masuk dalam akal pikirannya pada saat ada hamba Tuhan tidak boleh mencintai hamba Tuhan lainnya hanya karena beda agama. Â
Keluarga besarnya sudah memutuskan dirinya untuk menikah dengan lelaki satu suku, satu agama. Tetapi kehidupan rumah tangganya selama itu jauh dari kebahagiaan.Â
Gelimang harta tidak pernah menjamin bagi dirinya meraih impian bahagia yang menjadi idaman bagi kehidupannya. Ikatan rumah tangganya harus berakhir tragis. Namun justru itu lebih baik baginya karena kesempatan terbuka untuk memandang ke depan.Â
Hidup dalam cinta menurutnya harus mudah, tidak perlu dibatasi dengan berbagai kaidah dan aturan yang menghalangi kebebasan dalam mencintai sesama hamba Tuhan.Â
Coba simak dalam Kitab Suci manapun, Tuhan saja tidak pernah diskrimatif. Tuhan itu Pemilik Sifat penuh dengan Kasih dan Sayang kepada semua hamba-hambaNya tidak membedakan mereka suku dari mana, marga dari mana dan agama apa?Â
Tuhan mencintai semua ciptaanNya tanpa membeda-bedakan. Tetapi kenapa manusia mencintai manusia lainnya harus dibatasi dengan sebuah pembatas?Â
Nenek berusia 70 tahun itu masih termangu mengingat semua peristiwa 50 tahun yang lalu pada saat dirinya baru saja lulus SMA dan duduk di semester pertama pada sebuah Perguruan Tinggi.Â
Di sini di bangku Taman depan Gereja Katedral, perpisahan menyedihkan harus terjadi. Cinta tulus kepada tambatan hatinya harus kandas gegara terhalang adat dan agama.Â
Saat ini pada setiap Desember seusai misa Natal pagi, dia selalu duduk di bangku Taman depan Gereja Katedral ini. Tidak terasa ternyata sudah sebanyak 50 Desember telah dilaluinya tanpa ada lagi pujaan hati duduk bersamanya di bangku Taman depan Gereja Katedral.Â
Entah kenapa misa Natal pagi tadi bagi Nenek yang masih duduk nyaman di bangku Taman itu, hanya menyisakan kepedihan yang berulang setiap tahun.Â
Pada saat Sinar Mentari mulai meninggi, Nenek itu lalu bangkit dari duduk mulai berjalan meninggalkan Taman di depan Gereja Katedral. Baru berjalan satu langkah, ditengoknya bangku kosong di Taman Gereja Katedral itu. Hatinya merasakan kerinduan yang mendera.Â
Nenek itu tidak tahu hanya beberapa meter di belakangnya, ada seorang kakek penuh takjub memperhatikannya. Kakek itu mencoba menahan perasaannya.Â
Namun semakin ditahan dan dihalangi perasaan itu, malah semakin kuat memberontak dari sanubari hati terdalamnya. Tatapan kakek itu meninggalkan tanya. Apakah benar sosok yang dia lihat itu adalah sosok yang dirindukannya selama ini?Â
"Erika!" Teriak kakek itu tidak lagi mampu menahan diri, sambil matanya menatap punggung penuh dengan harapan kebenaran dengan apa yang dilihatnya.Â
Hening beberapa saat dan jantung Kakek itu semakin berdetak keras ketika Nenek menghentikan langkahnya mendengar namanya dipanggil seseorang.Â
Dia seolah tidak percaya dengan suara itu, seperti yang selama ini sangat dia kenal. Perlahan nenek itu membalikkan badan dan terkejut karena dihadapannya sudah berdiri sosok yang selama ini sangat dirindukannya.Â
"Hendarno!" Pekiknya penuh haru. Matanya berkaca-kaca memandang penuh haru. Dia tidak percaya sosok yang berdiri tersenyum di depannya itu adalah Hendarno. Sosok di depannya ini adalah tambatan hati yang dulu harus direlakannya.Â
Memang Hendarno terlihat sudah tua, hal itu pasti karena usia kakek itu juga saat ini adalah 70 tahun. Namun jujur Nenek itu masih akrab dengan senyumnya yang masih seperti dulu.Â
"Hen! Ini Kamu?"Â
"Iya Rika."Â
"Kamu masih seperti dulu."Â
"Kamu juga Rika."Â
Mereka tersenyum sambil saling pandang tak berkedip. Mereka bertatap mengungkapkan belenggu kerinduan yang selama ini mengendap di dasar hati masing-masing. Erika akhirnya hanya bisa menangis haru dalam pelukan Hendarno. Â
Taman di depan Gereja Katedral itu terasa semakin indah. Senyum Matahari pagi seakan menyambut pertemuan dua insan yang sudah lama terpisah.Â
Mereka kini dipertemukan kembali setelah berpisah selama 50 tahun, dengan penuh harapan baru untuk tetap berupaya mengubah takdir mereka. Semoga elegi di pagi akhir Desember ini berakhir bahagia.Â
@hensa17.Â
BACA JUGA : Puber Kedua di Bulan Desember
BACA JUGA : Desember Milik Kita Hilang Terhempas
Penulis adalah Pensiunan sebagai penggemar cerpen, puisi dan novel. Juga Kompasianer yang sering mengisi rubrik olah raga terutama sepak bola dan bulutangkis.Â
*****
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI