Rasa tidak puas menguasai setiap ruang dalam jiwanya. Karena itu hampir saja dia ingin memilih menjadi seorang atheis saja. Seorang yang tidak pecaya Tuhan.Â
Hal itu karena agama membuatnya tidak masuk dalam akal pikirannya pada saat ada hamba Tuhan tidak boleh mencintai hamba Tuhan lainnya hanya karena beda agama. Â
Keluarga besarnya sudah memutuskan dirinya untuk menikah dengan lelaki satu suku, satu agama. Tetapi kehidupan rumah tangganya selama itu jauh dari kebahagiaan.Â
Gelimang harta tidak pernah menjamin bagi dirinya meraih impian bahagia yang menjadi idaman bagi kehidupannya. Ikatan rumah tangganya harus berakhir tragis. Namun justru itu lebih baik baginya karena kesempatan terbuka untuk memandang ke depan.Â
Hidup dalam cinta menurutnya harus mudah, tidak perlu dibatasi dengan berbagai kaidah dan aturan yang menghalangi kebebasan dalam mencintai sesama hamba Tuhan.Â
Coba simak dalam Kitab Suci manapun, Tuhan saja tidak pernah diskrimatif. Tuhan itu Pemilik Sifat penuh dengan Kasih dan Sayang kepada semua hamba-hambaNya tidak membedakan mereka suku dari mana, marga dari mana dan agama apa?Â
Tuhan mencintai semua ciptaanNya tanpa membeda-bedakan. Tetapi kenapa manusia mencintai manusia lainnya harus dibatasi dengan sebuah pembatas?Â
Nenek berusia 70 tahun itu masih termangu mengingat semua peristiwa 50 tahun yang lalu pada saat dirinya baru saja lulus SMA dan duduk di semester pertama pada sebuah Perguruan Tinggi.Â
Di sini di bangku Taman depan Gereja Katedral, perpisahan menyedihkan harus terjadi. Cinta tulus kepada tambatan hatinya harus kandas gegara terhalang adat dan agama.Â
Saat ini pada setiap Desember seusai misa Natal pagi, dia selalu duduk di bangku Taman depan Gereja Katedral ini. Tidak terasa ternyata sudah sebanyak 50 Desember telah dilaluinya tanpa ada lagi pujaan hati duduk bersamanya di bangku Taman depan Gereja Katedral.Â
Entah kenapa misa Natal pagi tadi bagi Nenek yang masih duduk nyaman di bangku Taman itu, hanya menyisakan kepedihan yang berulang setiap tahun.Â