Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - PENSIUNAN sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

KAKEK yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Balik Rak Buku Tua

30 September 2024   16:06 Diperbarui: 30 September 2024   16:29 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Rak dengan buku-buku tua (Foto by Pixabay). 

Pertama kali aku bertemu dengan wanita berambut pirang itu ketika berpapasan di koridor lantai dua dari arah Ruangan Direktur Muda Penelitian. Mungkin wanita berambut pirang itu adalah tamu dari Pak Dr Arsha Akbar. 

Saat berpapasan, dia sempat tersenyum dan akupun mengangguk sopan. Wanita Barat tinggi semampai itu tampak masih berusia muda mungkin sama dengan usiaku yang baru mau menginjak kepala tiga dan sepertinya belum menikah sepertiku. 

Sore itu aku terkejut ketika melihat wanita berambut pirang itu asyik duduk di Ruang Baca Perpustakaan. Dia tengah asyik membaca buku lama berbahasa Belanda. 

Aku harus melewati meja bacanya untuk menuju rak buku yang aku tuju. Wanita itu melihatku dan aku mengangguk sambil tersenyum. Dia juga membalas senyumku. 

Di balik rak buku-buku tua itu, ada ruang baca tempat aku berselancar memburu ilmu lewat buku-buku tua peninggalan Kolonial Belanda. Sebagian buku-buku itu berbahasa Belanda tapi ada juga yang berbahasa Inggris. 

Kendala yang menjadi tantanganku adalah buku-buku berbahasa Inggris sebagian besar terbitan terbaru sedangkan bukur-buku lama lebih banyak yang berbahasa Belanda.  

Rak buku tertata rapi menempel dinding ruangan di kiri dan kanan. Sedangkan di tengah ada rak buku yang memisahkan antara ruang baca yang memiliki satu meja dengan dua kursi. 

Sebagai seorang peneliti yang baru saja diterima sebagai pegawai baru di sebuah Lembaga Riset Gula Nasional, maka dalam 3 bulan masa percobaan ini aku mendapat tugas melakukan review tentang industri gula pada zaman kolonial. 

Selain itu, kesibukan lain yang juga menyita waktuku adalah membenahi Labratorium Instrumentasi yang baru saja kedatangan alat-alat baru yang harus dikalibrasi. 

Hampir setiap hari aku harus melakukan pengawasan intensif dan uji coba yang terprogram dengan peralatan canggih yang baru tersebut. 

Oleh karena itu jadwal berselancar di Perpustakaan hanya bisa aku lakukan seusai jam kerja. Perpustakaan dengan Bangunan Kolonial tersebut memang buka setiap hari sampai pukul 18.00 WIB. 

Terlalu asyik membaca dan menulis beberapa catatan untuk bahan review, sampai-sampai aku tidak sempat melihat kapan wanita berambut pirang itu meninggalkan ruang bacanya.  

Tetiba aku malah dikejutkan sapa dari Pak Yunus, Pengelola Perpustakaan. "Mas sebentar lagi perpus tutup lho, ayo siap-siap!",katanya. 

"Baik Pak. Ini juga sudah selesai membaca buku-buku," kataku singkat. 

"Ini buku-buku berbahasa Belanda dan hanya sedikit yang berbahasa Inggris. Buku-buku tua tapi masih sering dicari banyak orang terutama tamu-tamu dari Belanda." Penjelasan Pak Yunus kepadaku sambil bergegas menuju keluar diikuti aku di belakangnya. 

Sebenarnya sudah banyak bahan-bahan yang terkumpul sebagai referensi dalam pembuatan review tentang industri gula pada masa kolonial. 

Namun rasanya bahan tulisan penting, banyak yang belum aku dapatkan adalah dari buku-buku berbahasa Belanda itu. 

Aku berusaha mencari solusi bagaimana caranya bisa mempelajari buku-buku berbahasa Belanda itu. 

Tidak mungkin aku harus menerjemahkan satu dua kata, satu dua kalimat melalui kamus. Sementara waktu semakin dekat dengan deadlines. 

Seperti biasa setiap Jumat pagi beberapa agenda kalibrasi instrumen laboratorium harus segera dievaluasi dan didiskusikan dengan tim laboratorium. 

Semua kegiatan tersebut baru selesai menjelang sore. Biasanya setelah itu aku baru sempat ke Perpustakaan, berselancar data untuk memenuhi tugas masa percobaan pegawai baru. 

Untuk yang ketiga kalinya wanita berambut pirang itu kembali aku temui di Ruang Baca yang bersebelahan dengan mejaku, hanya dipisahkan oleh sebuah rak yang berisi buku-buku tua. 

Kali ini aku sempat menghampiri wanita berambut pirang itu. Kuulurkan tangan, menyebut namaku sambil tersenyum. Wanita itu menyambut uluran tanganku sambil menyebut namanya: "Jane De Jong!" 

Ada yang mengejutkan dari perkenalan ini yaitu yang awalnya dialog menggunakan bahasa Inggris, tiba-tiba Jane menjawab setiap obrolanku dengan bahasa Indonesia yang sangat fasih. 

"Wow Bahasa kamu fasih sekali Jane."Kataku kagum. Jane hanya tersenyum. Dia bercerita Ayahnya dulu juga fasih berbahasa Indonesia. Ketika aku bertanya sedang mempelajari apa dengan buku-buku berbahasa Belanda itu. 

Jane hanya menjawab ingin kembali membaca kisah-kisah kejayaan indutsri gula pada masa-masa kolonial, pada saat negeri ini adalah pengekspor gula di Dunia tahun 1941. Juga sambil bernostalgia. 

"Kamu sendiri sedang mempelajari apa aku lihat setiap Jumat sore ada di perpustakaan ini?" Tanya Jane. 

"Ada tugas yang harus kuselesaikan dalam tiga bulan masa percobaan sebagai pegawai baru di Lembaga Riset ini."Jawabku. 

"Tugas tentang apa?" 

"Tentang industri gula pada masa kolonial Belanda." Mendengar penjelasanku, Jane tampak antusias dengan gestur dan ekspresi wajah kagum." 

"Aku bisa bantu kamu menerjemahkan buku-buku berbahasa Belanda ini." Kata Jane. Kalimat ini bagaikan petir di siang bolong. Aku terperangah dan baru sadar di depanku ini ada gadis bule asal Belanda pandai pula berbahasa Indonesia. 

Maka tanpa menunggu waktu lagi, beberapa buku berbahasa Belanda itu segaja dipilihkan oleh Jane. Diterjemahkan langsung dan aku menyimak, mencatat semua bahan-bahan penting termasuk data.  

Tidak terasa sudah sekitar 2-3 jam Jane membantuku di Ruang Baca itu, sampai Jane meminta izin untuk pamit duluan. Aku sendiri masih terus menyusun bahan-bahan penting hasil terjemahan tersebut. 

Baru tersadar ketika Pak Yunus menyapaku. "Perpustakaan akan segera tutup." Jelas Pak Yunus. Sosok ini sudah 30 tahun pengabdiannya sebagai pengelola perpustakaan, dia adalah sosok pecinta buku. 

Dia mulai bekerja ketika usianya baru menginjak 22 tahun. Selepas lulus S1 Sastra Inggris dari sebuah PTN, Pak Yunus diterima sebagai pegawai di Lembaga Riset ini. 

Selain memahami sejarah buku-buku yang ada di Perpustakaan ini, Pak Yunus juga hafal tentang seluk beluk gedung Perpustakaan peninggalan kolonial Belanda ini. 

Seperti hari-hari sebelumnya, aku dan Pak Yunus berjalan beriringan meninggalkan Perpustakaan itu. Aku sangat lega dengan agenda hari ini karena berhasil mengumpulkan data dan bahan dari buku-buku berbahasa Belanda itu. Jane De Jong sangat berjasa. 

Pada akhir bulan ini tugas-tugasku di Laboratorium hampir rampung begitu pula tugas membuat review tentang industri gula pada zaman kolonial sudah pada tahap draft. Hanya tinggal menyempurnakan dengan data penunjang. 

Jumat sore itu aku hanya sendirian di Ruang Baca itu. Tidak ada Jane yang biasanya duduk bersebelahan denganku hanya dipisahkan oleh sebuah rak yang berisi buku-buku tua. 

Rasanya sepi sekali ruangan dimana aku duduk membaca dan mencatat data penunjang untuk tulisanku. Saking sepinya aku sampai tidak mendengar Pak Yunus sudah berdiri di depan pintu masuk ke Ruang Baca. 

"Oh Pak Yunus!" Kataku terkejut. Sosok lelaki berusia hampir 55 tahun itu menghampiriku dan duduk persis di depanku. 

"Bagaimana sudah lengkap bahan-bahan untuk laporan masa percobaan sebagai pegawai baru?" 

"Alhamdulillah sudah Pak." 

"Saya itu kagum jika ada sosok peneliti masih usia muda tetapi sudah sangat akrab dengan perpustakaan." Ujarnya sambil menatapku. Kalimat itu mungkin ditujukan kepadaku. 

"Dulu ada seorang belia juga peneliti datang jauh dari Belanda. Saya kagum dengan semangatnya belajar dengan buku-buku di Perpustakaan ini. Gadis Belanda itu sedang menyusun Thesis Doktornya." Aku sangat antusias mendengar cerita Pak Yunus ini. 

"Setiap Jumat sore dia selalu hadir di Perpustakaan ini. Saya sendiri sering membantunya untuk mendapatkan buku-buku yang dia butuhkan." Pak Yunus sejenak menghela nafas panjang. 

"Gadis itu sebelum meraih impiannya meraih gelar Doktor, ternyata harus pergi untuk selamanya karena kecelakaan lalu lintas persis di jalan depan kantor ini." 

"Sangat disayangkan ya Pak."  

"Benar-benar gadis itu semangatnya mengagumkan seperti kamu saat ini, Hendar!" Kata Pak Yunus. 

Sejenak Pak Yunus seperti merenung. Mungkin kembali teringat peristiwa 10 tahun yang lalu dengan sosok gadis Belanda yang rutin mengunjungi Perpustakaan ini. 

"Bagi saya, sosok Jane De Jong adalah sebuah potret belia yang benar-benar pecinta Perpustakaan." Kata Pak Yunus seolah berbicara kepada dirinya sendiri. 

Mendengar ini aku hanya bisa melongo tidak percaya. Jane De Jong ternyata sudah menjadi mendiang sejak sepuluh tahun lalu. Rasanya aku tidak percaya tapi ini sangat nyata, Jane membantuku menerjemahkan buku-buku berbahasa Belanda itu. 

Entahlah. 

Salam literasi @hensa17. 

Sindang Palay 30 September 2024. 

@Hendro Santoso adalah Pensiunan yang menyukai Cerpen, Novel dan Puisi. Menjadi Kompasianer sejak tahun 2012 biasa mengisi rubrik olah raga terutama sepak bola dan Bulutangkis.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun