Bayu dan Ki Damar akhirnya merasa lega karena waktu Subuh pun tiba. Mereka setelah mengambil air wudu lalu menunaikan sholat Subuh.
Mereka masih sempat membaca ayat-ayat suci Al-Quran sambil menunggu waktu Dhuha. Sementara Matahari di luar sana mulai bersinar cerah.
Suasan dusun Suluh Hawu tanpaknya tenang-tenang saja, pikir Bayu. Mugkinkah tidak ada kejadian korban tewas seperti Malam Jumat Purnama yang lalu?
 Baru saja Bayu dan Ki Damar keluar dari Mushalla, mereka terkejut melihat ada puluhan kelelawar mati di sekitar Mushalla. Binatang itu berserakkan seperti terbakar kering. Tercium bau gosong seperti arang dan bercampur bau anyir darah dari bangkai-bangkai kelelawar itu.
Belum selesai merasakan keheranan dengan bangkai-bangkai kelelawar itu, Bayu dan Ki Damar dikejutkan oleh teriakkan seorang penduduk yang berlari menghampiri mereka.
"Ki Damar. Ki Damar. Di sana!" Pria paruh baya ini menunjuk arah ke rumah kepala dusun Ki Arang Geni.
Bayu Gandana dan Ki Damar bergegas setengah berlari menuju kediaman kepala dusun yang saat itu sudah dipenuhi penduduk yang datang.
Suasana rumah kepala dusun sangat ramai sekali dengan obrolan para penduduk yang hadir di sana. Mereka terdiam ketika melihat Ki Damat datang.
Beberapa penduduk yang hadir di sana memberikan jalan kepada Bayu dan Ki Damar untuk masuk ke kamar Ki Arang Geni.
Sungguh tragis, di sana tergeletak tubuh Ki Arang Geni dengan wajah rusak karena terbakar. Matanya melotot tidak bisa lagi ditutup.
Bayu dan Ki Damar hanya bisa saling berpandangan. Mereka sama-sama membatin bahwa pelaku selama ini yang membuat terror Malam Purnama Jumat Kliwon itu adalah Ki Arang Geni.