"Mas rasanya aku senang berteman denganmu. Banyak perkataanmu yang sangat menggugahku menyikapi kehidupan ini." Kata Mikayla.
"Biasa saja Kayla. Sebenarnya aku sendiri masih perlu banyak berbenah."
"Orang bijak itu memang selalu merendah." Suara Kayla pelan sambil melemparkan senyumnya dan aku terpaksa harus terpana menikmati senyum itu.
"Mas Hen jangan bosan ya menegurku jika ada hal yang tidak pada tempatnya. Aku sangat percaya karena Mas Hendar putra seorang Kiyai terpandang."Â
"Kayla jangan terlalu berlebihan. Aku hanya seseorang yang tidak ada apa-apanya." Kataku menetralkan anggapan Mikayla yang terlalu tinggi tentang aku.
Mendengar perkataanku, kembali Mikayla tersenyum. Aku melihat ada sinar optimis di matanya. Seperti sebuah cahaya masa depan yang lebih baik baginya.
Sejak kunjunganku yang pertama menemui Mikayla di kediamannya, aku semakin merasakan hal-hal aneh. Misalnya selalu rindu ingin bertemu. Selalu ingin berbincang nyaman. Selalu ingin bersama dalam canda dan tawa.
Aku sempat ingin menghindar agar tidak terjebak semakin dalam karena aku masih merasa takut dengan kenyataan bahwa Mikayla adalah 'ayam kampus'.
Namun ternyata hal itu tidak mampu aku lakukan. Malah aku berupaya ingin mencari informasi lebih banyak lagi dari Tiffany. Bukankah Mikayla sudah mengaku bahwa Tiffany adalah sahabatnya tempat dia bercurah perasaannya.
Haruskah aku mencari informasi itu kepada Tiffany? Ataukah tidak perlu karena justru akan membuat aku semakin terjebak semakin dalam?