Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - PENSIUNAN sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

KAKEK yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Terjebak Semakin Dalam

18 Januari 2021   17:03 Diperbarui: 25 Januari 2021   14:29 577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Foto by Pixabay

Beberapa kali aku kembali bertemu dengan Mikayla. Keakraban diantara kami semakin terasa. Terakhir kembali ketemu dia di Perpustakaan Pusat. Saat itu aku sempat minta maaf karena masih belum bisa berkunjung ke rumah kostnya.

BACA JUGA : Kisah Cinta Jomlo Pesantren 

Duduk mengobrol sambil bercanda ringan, rasanya aku semakin tidak percaya jika Mikayla adalah 'ayam kampus' yang bisa dipesan lewat online.

Berbincang dengannya terasa nyaman. Aku betah setiap dia tersenyum, betapa indah lukisan senyum di bibirnya. Aku harus jujur bahwa gadis berkulit putih ini memiliki segala aura kecantikan wanita.

Postur tubuh tinggi cukup berisi merupakan daya tarik siapapun yang mengaku sebagai lelaki. Termasuk aku, jomlo pesantren yang harus berkali-kali menghindar dari tatapan yang bisa menjebak dosa.

Memandang seorang Mikayla bagiku seperti sebuah ujian iman. Berpakaian dengan cara sopan saja, setiap lelaki tetap saja memandang Mikayla dengan rasa yang berbeda. 

BACA JUGA : Hari Kemarin

Saat makan siang di Kantin Rumah Sakit, aku mengirim pesan via ponsel kepada Mikayla yang isinya ingin berkunjung. Setelah aku melihat jadwal tugasku maka akhirnya aku sepakat malam ini bertemu Mikayla di Rumah Kostnya.

Mikayla mengirim kembali sebuah alamat melalui ponsel walaupun sebenarnya aku sudah dapatkan alamat tersebut darinya. Mikayla tinggal di sebuah Paviliun kawasan jalan Bali.

Alamat itu dari tempat kostku tidak terlalu jauh. Malam itu sehabis sholat Magrib aku meluncur menuju ke sana dengan menggunakan sepeda motor pinjaman dari teman kostku.

Hanya setengah jam akhirnya aku sampai di alamat yang dimaksud. Sebuah rumah besar dan di sebelahnya sebuah paviliun dengan pintu pagar terpisah dari rumah induknya.

Pintu pagarnya tidak terkunci maka akupun memarkir sepeda motor itu di halaman dalam. Aku tekan tombol bel di samping pintu itu. Aku mendengar suara seseorang berjalan menuju pintu.

Ketika pintu terbuka, aku melihat Mikayla berdiri disitu dengan senyum manisnya. Sejenak aku terpana memandang wanita cantik ini. Walaupun berpakaian seadanya namun tidak mengurangi aura kecantikannya. 

Sekali lagi aku tetap tidak percaya bahwa Mikayla adalah ayam kampus.

"Mari Mas Hen, silahkan duduk. Mau minum panas atau dingin?" Kata Kayla menawarkan minuman.

"Minum panas saja! Terima kasih!"

Bandung memang masih hujan di akhir bulan ini dan udaranya lumayan sejuk, tidak panas seperti biasanya.

Paviliun ini adalah sebuah rumah kecil. Walaupun mungil namun terkesan mewah karena perabotan yang ada kelihatannya kelas satu. Tentu saja ini meng-gambarkan penghuni rumah tersebut adalah kelas satu.

Tidak berapa lama Mikayla sudah kembali menemuiku di ruang tamu itu dengan secangkir teh panas.

"Mas silahkan!" Kata Mikayla sambil menyodorkan secangkir teh manis.

"Mas, terima kasih sudah mau datang. Tadi tidak nyasar nyari alamat ini?" Tanya gadis berkulit putih bersih ini sambil tersenyum.

"Tidak. Aku sudah hafal kawasan di sekitar sini. Karena dulu aku sopir Angkot yang rutenya lewat jalan Bali ini," kataku sambil ketawa.

Mendengar selorohku, Mikayla juga tertawa. Cara dia tertawa sangat ramah dengan binar matanya yang indah. Gadis ini memang sangat cantik. Kecantikan yang dia miliki bukan kecantikan biasa pada umumnya.

"Saya dengar Mas Hendar ini anak pesantren ya? Putranya Pemiliki Pesantren."

"Kayla tahu dari mana?"

"Iya. Ada teman yang bilang begitu."

"Siapa?"

"Tiffany. Katanya dia adik kelas Mas Hendar waktu SMA dulu." Aku tertegun kenapa Tiffany bisa kenal sama Kayla. Aku baru ingat Tiffany memang ambil jurusan MIPA, Kimia.

Aku ternyata juga baru ingat pernah bertemu Tiffany pada saat kami mengobrol di Kantin Kampus. Hanya saat itu aku tidak tahu jika Kayla mengenal baik Tiffany.

"Oh iya Tiffany. Kamu kuliah bareng ya di Kimia?"

"Iya Mas. Aku bersahabat dengan Tiffany sudah lama sejak semester satu. Dia anak yang baik tempat aku mencurahkan uneg-uneg."

Oh pantas, ini berarti Tiffany tahu banyak tentang siapa sebenarnya Mikayla Angela. Namun kenapa mereka menyinggung tentang aku sebagai seorang putra Pemilik Pesantren. Aku jadi sedikit tersanjung ketika Kayla tahu bahwa aku anak pesantren.

"Mas rasanya aku senang berteman denganmu. Banyak perkataanmu yang sangat menggugahku menyikapi kehidupan ini." Kata Mikayla.

"Biasa saja Kayla. Sebenarnya aku sendiri masih perlu banyak berbenah."

"Orang bijak itu memang selalu merendah." Suara Kayla pelan sambil melemparkan senyumnya dan aku terpaksa harus terpana menikmati senyum itu.

"Mas Hen jangan bosan ya menegurku jika ada hal yang tidak pada tempatnya. Aku sangat percaya karena Mas Hendar putra seorang Kiyai terpandang." 

"Kayla jangan terlalu berlebihan. Aku hanya seseorang yang tidak ada apa-apanya." Kataku menetralkan anggapan Mikayla yang terlalu tinggi tentang aku.

Mendengar perkataanku, kembali Mikayla tersenyum. Aku melihat ada sinar optimis di matanya. Seperti sebuah cahaya masa depan yang lebih baik baginya.

Sejak kunjunganku yang pertama menemui Mikayla di kediamannya, aku semakin merasakan hal-hal aneh. Misalnya selalu rindu ingin bertemu. Selalu ingin berbincang nyaman. Selalu ingin bersama dalam canda dan tawa.

Aku sempat ingin menghindar agar tidak terjebak semakin dalam karena aku masih merasa takut dengan kenyataan bahwa Mikayla adalah 'ayam kampus'.

Namun ternyata hal itu tidak mampu aku lakukan. Malah aku berupaya ingin mencari informasi lebih banyak lagi dari Tiffany. Bukankah Mikayla sudah mengaku bahwa Tiffany adalah sahabatnya tempat dia bercurah perasaannya.

Haruskah aku mencari informasi itu kepada Tiffany? Ataukah tidak perlu karena justru akan membuat aku semakin terjebak semakin dalam?

@hensa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun