"Iya Pak, saya selalu mendoakan untuk kebahagiaan Pak Alan, " suara Listya pelan sekali seperti tertahan di tenggorokan. Kemudian Listya terdiam lama sekali.
"Hallo, hallo, hallo, Listya?" Aku berusaha menyapanya melalui ponsel itu. Aku yakin Listya sedang terisak. Mungkin terharu karena akhirnya aku menikah juga dengan Kinanti.
"Hallo Listya!"
"Iya Pak!" Jawab Listya.
"Listya baik-baik saja?"
"Baik-baik Pak. Tidak apa-apa. Ok Pak Alan, saya pamit dulu," kata Listya sambil menutup ponselnya.
Dari nada bicaranya Listya tampaknya bersedih. Apakah bersedih karena suaminya meninggal dunia ataukah bersedih karena aku mau menikah dengan Kinanti? Wanita selalu sulit diduga perasaan hatinya.
Saat ini aku sudah lebih realistis dan bijak untuk memilih Kinanti Puspitasari sebagai calon istriku. Â Aku mempertimbangkan bahwa saat ini Daisy Listya masih muda, cantik dan masih memiliki masa depan yang terbentang luas. Daisy Listya masih memungkinkan mendapatkan teman hidup yang jauh lebih baik dariku.
Kinanti memang yang aku pilih karena aku dan Kinanti sudah sama-sama berada di ufuk senja. Aku harus membiarkan cintaku kepada Daisy Listya menjadi sejarah seperti halnya cintaku kepada Diana Faria.
Jadwal kompilasi data penelitianku di Laboratorium yang biasanya dikerjakan hari Sabtu, sengaja aku majukan menjadi Jumat siang. Â Hal ini karena besok Sabtu aku harus ke Bandung menemui Kinanti.
Seusai sholat Jumat di Masjid Kampus itu aku segera bergegas kembali ke ruang kerjaku untuk makan siang. Makan siangku hari ini adalah masakan Si Mbok yang sengaja aku bawa dari rumah.Â