Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

Kakek yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sisa Bimbang Dosen Jomblo

25 September 2020   21:16 Diperbarui: 26 September 2020   04:56 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Foto Pixabay

Saat ini seakan Kinanti Puspitasari kembali terbang bebas dan bisa sekehendak hatinya untuk hinggap di manapun yang dia inginkan. Akankah dia mau hinggap di hatiku? Mungkinkah Kinanti mau membukakan hatinya untukku?

Pada siang hari itu hujan deras mengguyur Kota Surabaya. Aku memandang tetesan air hujan dari jendela kamar kerjaku di lantai dua.

Pelataran parkir di bawah sudah mulai tergenang air hujan yang tidak tertampung saluran drainase.

BACA JUGA : Selingkuh

Di Indonesia ini bukan saja di Surabaya bahkan di Jakarta dan Bandung sekalipun jika hujan turun dengan deras maka jalan-jalan protokol digenangi air.

Air hujan itu tidak tahu kemana harus pergi karena tidak bisa ditampung saluran drainase yang penuh dengan sampah.

Jika sudah demikian maka kemacetan lalu lintas terjadi dimana-mana. Kondisi ini sebenarnya sangat memprihatinkan karena sebenarnya kita banyak memiliki pakar-pakar sipil yang handal untuk jalan raya.

Terdengar sebuah ketukan pelan di pintu dan suara sapa Assalaamu alaikum. Aku membukakan pintu.

"Pak Profesor!" Suara lembut dari seseorang yang setiap saat ini selalu kurindukan.

Daisy Listya sekarang berdiri di depanku. Dia bertambah cantik tapi kelihatan lebih pucat seperti kurang tidur. Aku benar-benar terkejut dan tidak percaya yang ada di depanku ini adalah Listya.

"Listya?"

"Ya Pak Alan!" Katanya sambil tersenyum. Oh senyum ini adalah senyum khas Listya yang artistik sangat mendamaikan hati.

"Rasanya seperti mimpi. Tunggu, aku mau mencubit tanganku dulu. Eh ternyata terasa berarti bukan mimpi!" Kataku tertawa.

"Ah Bapak bisa saja," kata Listya.

"Mas Rizal kok tidak ikut? Sibuk dengan pekerjaannya?" Tanyaku membuka pembicaraan.

"Ya Pak, dia sekarang ada diluar kota jadi tidak bisa mengantarku. Oh ya sebenarnya saya ingin mencari informasi untuk pendaftaran program Apoteker sudah dibuka belum Pak?" Tanya Listya.

"Listya mau ikut program Apoteker? Bulan ini sudah dibuka. Untuk pendaftaran persyaratan adminitrasinya bisa ditanyakan kepada bagian akademik. Tanya sama Bu Yuli."

"Ya Pak. Rencananya saya mau ikut program Apoteker. Mas Rizal juga sudah setuju. Baik, kalau begitu saya mau menemui Bu Yuli."  

Sebelum meninggalkan ruanganku Listya masih sempat berkata: "Oh ya Pak Alan. Nanti selama mengikuti program Apoteker mohon bimbingan Bapak lagi," kata Listya sambil memandangku dengan senyumnya.

"Insya Allah Lis. Untuk mahasiswi secerdas Daisy Listya pasti Si Profesor dengan senang hati mau membimbing," kataku sambil tersenyum.

"Terima kasih pak sudah memberi waktu untuk saya," kata Listya.

"Ya sama-sama Bu Rizal," kataku sengaja memanggil Listya dengan Bu Rizal.

"Jangan panggil Bu Rizal dong Pak," kata Listya cemberut. Aku tersenyum melihat Listya cemberut seperti itu.

Akhirnya istri Rizal Anugerah ini berpamitan. Aku mengantarnya sampai di pintu.

Entah kenapa hari ini ada rasa bahagia menyelinap direlung hatiku. Apakah karena Listya mau melanjutkan ke program Apoteker sehingga aku bisa setiap hari bertemu dengannya.

Entahlah. Aku juga melihat Listya sangat bahagia dan bersemangat untuk mengikuti program Apoteker.

Lepas dari semua pertanyaan-pertanyaan aneh itu, aku harus berani menghadapi kenyataan bahwa Listya sekarang adalah istri Rizal Anugerah.

Listya meninggalkan kembali rasa hampa dalam hatiku karena kandasnya harapan. Sungguh apakah aku ini hanya seorang lelaki yang tidak memiliki keberanian.

Mengapa tidak sejak dulu aku mengungkapkan perasaanku kepadanya. Apakah karena Listya adalah mahasiswiku maka aku tidak berani mengungkapkan perasaanku.

Jika saat itu aku cepat-cepat mengungkapkan perasaan itu, maka jangan-jangan Listya mau menerima cintaku. Jangan-jangan waktu itu Listya memang belum bertunangan dengan Rizal.

Tetapi apakah masih ada kenyataan yang lain? Ada. Aku tidak boleh melepaskan harapanku.

Aku harus tetap berharap untuk cintaku. Terus berharap, terus berharap, terus berharap. Walaupun itu adalah mungkin asa yang tersisa.

Aku juga gembira akhirnya Kinanti tidak jadi menikah dengan Eko Priyotomo. Jujur itu dari perasaan hati terdalamku.

Aku punya kesan bahwa Kinanti memang butuh orang yang pernah dekat dengannya. Aku merasakan beban Kinanti sepertinya sudah lepas.

Saat ini seakan Kinanti kembali terbang bebas dan bisa sekehendak hatinya untuk hinggap di manapun yang dia inginkan.

Akankah dia mau hinggap di hatiku? Mungkinkah Kinanti mau membukakan hatinya untukku?

Kinanti adalah tipe orang yang selalu percaya kepada sahabat atau teman yang dulu sudah teruji kesetiaannya. Jangan-jangan aku ini ternyata hanya gede rasa saja.

Entahlah, perasaanku mengatakan Kinanti mencintaiku. Andai itu terjadi apakah aku harus bersama Kinanti?

Bagaimana dengan Listya? Harapanku yang masih tetap menjadi harapan. Ingat Alan bahwa Listya adalah istri Rizal Anugerah. Ya itulah realitanya sedangkan Kinanti belum menjadi milik siapa-siapa.

Tetapi kenapa aku begitu gembira ketika Listya melanjutkan program studi lanjut profesi apoteker? Aku pasti sering bertemu setiap hari dengan Listya, sosok mendiang Diana Faria.

Bimbang ini sangat menghantuiku. Sungguh.

@hensa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun