"Ya sama-sama Bu Rizal," kataku sengaja memanggil Listya dengan Bu Rizal.
"Jangan panggil Bu Rizal dong Pak," kata Listya cemberut. Aku tersenyum melihat Listya cemberut seperti itu.
Akhirnya istri Rizal Anugerah ini berpamitan. Aku mengantarnya sampai di pintu.
Entah kenapa hari ini ada rasa bahagia menyelinap direlung hatiku. Apakah karena Listya mau melanjutkan ke program Apoteker sehingga aku bisa setiap hari bertemu dengannya.
Entahlah. Aku juga melihat Listya sangat bahagia dan bersemangat untuk mengikuti program Apoteker.
Lepas dari semua pertanyaan-pertanyaan aneh itu, aku harus berani menghadapi kenyataan bahwa Listya sekarang adalah istri Rizal Anugerah.
Listya meninggalkan kembali rasa hampa dalam hatiku karena kandasnya harapan. Sungguh apakah aku ini hanya seorang lelaki yang tidak memiliki keberanian.
Mengapa tidak sejak dulu aku mengungkapkan perasaanku kepadanya. Apakah karena Listya adalah mahasiswiku maka aku tidak berani mengungkapkan perasaanku.
Jika saat itu aku cepat-cepat mengungkapkan perasaan itu, maka jangan-jangan Listya mau menerima cintaku. Jangan-jangan waktu itu Listya memang belum bertunangan dengan Rizal.
Tetapi apakah masih ada kenyataan yang lain? Ada. Aku tidak boleh melepaskan harapanku.
Aku harus tetap berharap untuk cintaku. Terus berharap, terus berharap, terus berharap. Walaupun itu adalah mungkin asa yang tersisa.