Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

Kakek yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Kado Terindah] Aina Alma

12 Oktober 2019   16:49 Diperbarui: 12 Oktober 2019   17:16 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teringat kepada Aina Alma yang sudah sangat aku rindukan. Ingin rasanya bertemu dengan gadis cantik yang tangguh itu. Sudah tidak sabar. Menunggu tiga bulan untuk hari kebahagiaan ini sungguh penantian yang sangat panjang. Perjumpaan dengannya bisa menjadi kado terindahku.

1|

Aku masih mendengar suara Jena Fahira memanggil namaku namun setelah itu benar-benar aku tidak ingat lagi. Entah berapa lama aku terbaring dan setelah itu baru tersadar ketika aku sudah berada di ruangan sebuah Rumah Sakit.

Ibu dan Ayah di samping ranjang tempat aku berbaring dengan setia menunggu. Aku melihat ibu masih menangis melihat kondisi kesehatanku. Ada pula dua orang Polisi yang masih berdiri menemani kedua orang tuaku. Aku memang belum benar-benar tersadar namun ketika melihat Polisi itu, aku mulai bisa merasakan ingatanku kembali pulih.

Ya aku ingat malam itu bersama Jena dan teman-temannya berpesta di villa kawasan Puncak. Malam itu ketika polisi melakukan operasi narkoba, aku sudah dalam kondisi tidak sadarkan diri mungkin karena terlalu over dosis.

Malam yang kelam bagiku karena benar-benar menjadi bagian dari keterpurukkan hidupku. Jena ya Jena. Itulah kesalahanku kenapa aku bergaul dengannya dan terperangkap dengan cintanya. Lima tahun bersama gadis itu. Tiga tahun masa SMA dan dua tahun masa Mahasiswa hanya meniggalkan keterpurukkan.

Sempat seminggu di rawat di Rumah sakit itu dan selanjutnya aku harus mengikuti program rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional. Polisi sudah memeriksa semua bukti-bukti di rumah Jena. Ada dua orang Pengedar yang malam itu aku sendiri tidak kenal siapa mereka. Jena, aku dan kawan-kawanku hanya sebagai pemakai dan oleh karena itu dibutuhkan rehabilitasi.

2|

Selama 6 bulan yang penuh keprihatinan dan perjuangan, aku menjalani rehabilitasi. Ayah Ibu yang selalu mendukung dengan penuh kasih sayang telah membuatku mudah untuk kembali bangkit dari keterpurukkan. 

Saat-saat seperti itu aku semakin menyadari bahwa kasih sayang orang tua adalah harta yang tidak tergantikan dan milik paling berharga dalam hidupku.

Rehabilitasi bagi pecandu di BNN ini dilakukan melalui alur rehabilitasi di Rumah Detoks selama 2 minggu, dilanjutkan Entry Unit selama 2 minggu. Memasuki program utama di Green House atau House of Hope selama 4 bulan.

Selanjutnya pecandu melanjutkan rehabilitasi di rumah Re-Entry selama sebulan sehingga keseluruhan total program ini adalah 6 bulan.

Aku memang harus melupakan masa kelam itu termasuk melupakan Jena Fahira, Gadis blasteran Lebanon. Kini aku sudah kembali mendapatkan jati diriku. Move on dari Jena Fahira sudah menjadi keharusan.

3|

Menjalani hari-hari di House of Hope meninggalkan kenangan tersendiri. Setiap pagi kami melakukan olah raga sambil menghirup udara sejuk di area pegunungan yang hijau itu.

Sudah tiga pagi aku sebenarnya masih penasaran dengan seorang gadis yang sering berpapasan di Bukit Utara itu. Gadis itu selalu tersenyum ketika berpapasan denganku. Aku yakin dia juga adalah peserta rehabilitasi. Aku ingin berkenalan dengannya.

Akhirnya pada pagi ke empat aku berhasil berkenalan. Gadis itu bernama Aina Alma, perawakannya semampai dengan kulit putih halus. Wajah dengan hidung bangir wanita wanita dari negara Timur Tengah seperti Lebanon atau Jordania.

Sejak pertemuan pertama itu jujur saja aku selalu teringat kepada Aina Alma. Bukan karena wajahnya mirip dengan Jena Fahira namun karena Aina Alma memiliki aura kecantikan dari dalam batinnya yang memancar melalui wajah teduhnya.

Hanya saja wajah teduhnya nampak pucat penuh dengan tekanan berat. Aina sebagai pecandu berat haus mengalami pengalaman buruk itu. Namun anehnya setiap pagi saat bertemu denganku, Aina terlihat wajahnya berseri.

"Selamat pagi Hen!" Aina menyapaku sambil duduk di kursi sebelah kiriku di area Bukit Utara yang sejuk itu.

"Pagi Aina. Ceria sekali hari ini. Tadi sempat keliling jogging kemana saja?" tanyaku.

"Aku hanya melakukannya di Jogging track halaman depan. Tidak menuju ke perbukitan terlalu capek." Kata Aina sambil tersenyum manis namun dibalik senyum itu ada terselip kelelahan batin yang luar biasa.

Aina Alma sudah 3 bulan lebih dulu menjalani rehabilitasi daripada programku. Gadis ini nampak rapuh dan itu terbukti pada saat pertemuan pagi berikutnya Aini mencurahkan isi hatinya sambil menangis.

"Hen sungguh aku merasa iri denganmu. Hampir setiap dua pekan selalu dijenguk orang tuamu. Orang tuaku hanya sekali itu saat mengantar pertama kali ke tempat ini. Setelah itu aku dibuang begitu saja," suara Aina Alma terdengar sendu disela-sela isaknya.  

Aina bahkan jujur mengatakan bahwa dirinya sangat beruntung bisa bertemu dengaku. Karena dia merasakan bahwa aku adalah tempat yang baik untuk mencurahkan isi hatinya.

"Hen. Maafkan aku sudah membuatmu repot untuk mendengar seluruh keluhku." Kata Aina Alma suatu pagi di Bukit Utara itu. Aku hanya tersenyum sambil menenangkan dirinya agar selalu tabah menghadapi setiap cobaan ini.

Aku kadang merasa aneh sendiri. Sama-sama sebagai peserta rehabilitasi namun bedanya kedua orang tuaku selalu memberikan support dan semangat untuk terus berjuang keluar dari dunia jahanam ini. Berbeda dengan Aina Alma, orang tuanya tidak pernah mempedulikannya. Bahkan Aina merasa dirinya dibuang di tempat ini.

Aku merasakan Aina mengalami depresi sangat berat. Dalam kondisi seperti itu kasih sayang orang tua sangat dibutuhkan. Bersyukurlah aku masih memiliki Ayah Ibu yang penuh perhatian. Tidak pernah menyalahkan segala kesalahan besarku mengenal narkotika terkutuk itu. Sehingga saat aku terjerumus, Ayah Ibu lah yang kembali mengangkat kehormatanku. 

Pernah suatu pagi aku dikejutkan berita ada seorang peserta rehabilitasi yang melakukan percobaan bunuh diri. Langsung aku teringat kepada Aina Alma. Namun ternyata aku lega pagi itu aku masih bertemu Aina di Bukit Utara itu.

"Iya benar Hen. Untungnya petugas berhasil memergokinya. Katanya dia adalah seorang selebriti." Kata Aina menjelaskan. Aku hanya tertegun lalu aku mengemukakan perasaan khawatirku kepada Aina. Gadis itu hanya tertawa kecil. Belum pernah aku melihat dia tertawa seceria itu.

"Hen terima kasih atas rasa khawatirmu. Aku merasa lebih baik sejak berkenalan denganmu." Penjelasan jujurnya ini membuat diriku merasa tersanjung. Padahal aku juga masih butuh dukungan dari orang lain.

"Aina jangan berlebihan. Aku hanya sekedar mendengarkan segala keluhanmu dan berbagi perasaan denganmu. Aku juga masih butuh dukungan untuk menjadi lebih baik." Kataku mencoba bijak menanggapi kata-kata Aina.

Mendengar penjelasanku, Aina hanya tersenyum lalu memegang kedua tanganku. "Hen terima kasih ya sudah mau menjadi sahabat baikku," kata gadis itu sambil memandangku dengan mata indahnya. Sungguh aku terpukau dengan tatapan teduh Aina. Apakah aku sudah jatuh cinta kepadanya?

4|

Pagi itu di Loby aku masih duduk menemani Aina Alma yang hari ini sudah berhasil menyelesaikan seluruh programnya. Aku melihat wajahnya ceria penuh dengan cahaya masa depan. Gadis ini menyalamiku sambil berpamitan kepadaku.

"Sampai jumpa ya Hen. Jangan hilangkan alamat rumahku. Aku tunggu kedatanganmu." Suara Aina Alma diiringi senyumnya yang sudah mengandung kegairahan baru.

Aku melepas Aina Alma dengan penuh kelegaan. Melepaskan namun suatu hari aku bertekad untuk menemuinya lagi. Aku merasakan bahwa Aina Alma adalah sosok yang menjadi penyembuh lukaku saat bersama Jena Fahira. Ya gadis itu adalah harapan masa depanku. Aku sungguh merasakan cintanya ada dalam relung hatiku.

Ternyata sungguh aku benar-benar telah jatuh cinta kepada Aina saat rindu ini begitu kuat membelenggu hatiku. Mendengar suaranya melalui ponsel atau menatap wajahnya melalui video call, masih belum cukup untuk mengobati rinduku bertemu dengannya.

5|

Akhirnya hari itu tiba. Persis pada hari ulang tahunku, ketika aku selesai mengikuti semua program tersebut dan kembali menginjakkan kaki di tengah-tengah keluarga rasanya seperti terlahir kembali. Ayah Ibu begitu bahagia menyambutku dengan pelukan kasih sayang mereka.

Teringat kepada Aina Alma yang sudah sangat aku rindukan. Ingin rasanya bertemu dengan gadis cantik yang tangguh itu. Ya sudah tidak sabar. Menunggu tiga bulan untuk hari kebahagiaan ini sungguh penantian yang sangat panjang. Perjumpaan dengannya bisa menjadi kado terindahku.  

Komplek Perumahan yang asri di sana Aina Alma tinggal. Aku sudah berada di depan pintu rumah berwarna abu-abu dengan halaman taman yang hijau. Seorang wanita berdiri di depan pintu dan menyambut salamku.

"Maaf mencari siapa Mas?" Tanya wanita separuh baya itu. Aku menduga dia adalah Ibunya Aina.

"Bisa bertemu dengan Aina. Maaf Ibu, saya temannya saat menjalani rehabilitasi di Lido." Kataku sambil ramah tersenyum. Wanita itu terlihat kaget dengan sejuta tanda tanya pada wajahnya. Benar, wanita itu lalu memperkenalkan dirinya ibunda dari Aina Alma.

Aku dipersilakan duduk di ruang tamu yang bersih itu. Menatap sekeliling ruangan itu, aku menemukan foto besar. Foto Aina Alma sedang tersenyum bersama Ibunya. Aku rasanya senang sekali hari ini kembali akan merasakan senyum manis Aina Alma. Aku masih menatap foto itu dengan penuh kerinduan.

"Iya itu adalah foto Aina yang terakhir kalinya kami berfoto dengannya." Kata Ibunya dengan suara bergetar. Lalu aku melihat wanita paruh baya itu menangis tersedu.

"Kenapa Ibu menagis?" Tanyaku penasaran. Mendapat pertanyaan ini, Ibunda Aina malah semakin tersedu. Aku semakin tidak mengerti dan mulai merasakan ada hal yang aneh.

"Aina memang sempat menjalani rehabilitasi namun hanya seminggu. Anak saya harus meninggalkan kami untuk selamanya,"katanya lirih disela-sela tangisnya.    

Bagiku kalimat Ibunda Aina ini lebih dasyat daripada suara petir manapun. Aku seakan tidak percaya karena setiap olah raga pagi selalu berjumpa dengan Aina Alma yang semakin ceria saat itu.

Sore itu aku masih tertunduk di pusara dengan tulisan Aina Alma yang wafat jauh hari sebelum aku menjalani rehabilitasi kecanduan narkoba. Aku mencoba tabah dan memanjatkan doa untuk kebaikan Aina Alma di Alam Sana agar selalu dalam lindunganNya. Tidak terasa mataku basah mengingat perjumpaanku dengan Aina Alma yang penuh misteri.

Di pusaranya aku seakan mendengar bisikan Aina Alma: "Hen terima kasih aku telah mengenalmu." Bisikan itu pelan sekali namun suaranya sangat merdu.

Bandung 12 Oktober 2019  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun