"Bisa bertemu dengan Aina. Maaf Ibu, saya temannya saat menjalani rehabilitasi di Lido." Kataku sambil ramah tersenyum. Wanita itu terlihat kaget dengan sejuta tanda tanya pada wajahnya. Benar, wanita itu lalu memperkenalkan dirinya ibunda dari Aina Alma.
Aku dipersilakan duduk di ruang tamu yang bersih itu. Menatap sekeliling ruangan itu, aku menemukan foto besar. Foto Aina Alma sedang tersenyum bersama Ibunya. Aku rasanya senang sekali hari ini kembali akan merasakan senyum manis Aina Alma. Aku masih menatap foto itu dengan penuh kerinduan.
"Iya itu adalah foto Aina yang terakhir kalinya kami berfoto dengannya." Kata Ibunya dengan suara bergetar. Lalu aku melihat wanita paruh baya itu menangis tersedu.
"Kenapa Ibu menagis?" Tanyaku penasaran. Mendapat pertanyaan ini, Ibunda Aina malah semakin tersedu. Aku semakin tidak mengerti dan mulai merasakan ada hal yang aneh.
"Aina memang sempat menjalani rehabilitasi namun hanya seminggu. Anak saya harus meninggalkan kami untuk selamanya,"katanya lirih disela-sela tangisnya. Â Â
Bagiku kalimat Ibunda Aina ini lebih dasyat daripada suara petir manapun. Aku seakan tidak percaya karena setiap olah raga pagi selalu berjumpa dengan Aina Alma yang semakin ceria saat itu.
Sore itu aku masih tertunduk di pusara dengan tulisan Aina Alma yang wafat jauh hari sebelum aku menjalani rehabilitasi kecanduan narkoba. Aku mencoba tabah dan memanjatkan doa untuk kebaikan Aina Alma di Alam Sana agar selalu dalam lindunganNya. Tidak terasa mataku basah mengingat perjumpaanku dengan Aina Alma yang penuh misteri.
Di pusaranya aku seakan mendengar bisikan Aina Alma: "Hen terima kasih aku telah mengenalmu." Bisikan itu pelan sekali namun suaranya sangat merdu.
Bandung 12 Oktober 2019 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H