Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

Kakek yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Hari Pernikahan Itu

3 Agustus 2019   21:26 Diperbarui: 3 Agustus 2019   22:10 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gelombang tinggi (Foto Philip Stephen/Satumaluku.id) 

Ha ha ha memang payah aku ini rupanya tidak bisa move on walaupun sudah berkali-kali Aini selalu mengingatkanku bahwa hidup ini harus bergerak ke depan jangan mundur ke belakang. 

Aku masih menikmati hidangan makan malamku ketika mataku tertuju pada running text  yang menarik perhatian tertera di televisi tersebut.

Sebuah kapal Feri tujuan Kupang tenggelam dihantam badai di perairan Nusa Tenggara Timur karena cuaca buruk.

Kapal Feri?. Kenapa tiba-tiba saja aku teringat Iqbal calon suami Aini Mardiyah. Bukankah sore tadi Iqbal ada di kapal Feri itu menuju ke Kupang seperti diceritakan Aini?. 

Oh apakah ini kapal Feri yang ditumpangi oleh Iqbal. Ya Allah mudah-mudahan bukan kapal Feri yang ditumpangi Iqbal. Sudahlah aku harus membuang fikiran yang tidak enak itu. 

Tapi ketika aku kembali melihat running text di Televisi itu ada rasa yang tidak bisa aku jelaskan. Apa yang terjadi dengan Iqbal?. Mudah-mudahan dia selamat.

Malam itu aku benar-benar tidak bisa tidur. Walaupun sebenarnya rasa lelah sudah begitu mendera tubuh ini namun mata ini begitu susahnya terpejam. 

Bahkan jam di dinding kamarku sudah menunjukkan pukul 00.00 dini hari masih juga belum mampu membuat mataku terpejam. 

Malam begitu hening dan ketika telpon selulerku berbunyi rasanya aku seperti mendengar suara ledakan bom yang dasyat. Aku semakin terkejut dan berdebar ketika aku tahu yang menelpon itu adalah Aini Mardiyah. Oh Tuhan.

"Hensa..., Mas Iqbal, Mas Iqbal," suara Aini terbata-bata ditengah-tengah tangisnya. Selanjutnya aku hanya bisa mendengar tangisan duka Aini yang sangat menyayat hati. 

Aku hanya bisa mencoba menghiburnya agar Aini tetap sabar dan ikhlas walaupun aku tahu itu tidak mudah. Memang benar Takdir Tuhan itu tidak bisa terelakkan jika Dia sudah menghendaki. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun