Dengan dibukanya perumahan rakyat oleh presiden Republik Indonesia ke 7 Yaitu Joko Widodo menjanjikan 1 juta unit Rumah murah untuk Masyarakat berpenghasilan Rendah[1] (MBR) yaitu sebanyak 331.693 unit rumah di sebanyak 16 propinsi. Anggap saja di pulau jawa yang berpenduduk 136.6 juta jiwa dari total jumlah penduduk indonesia sensus tahun 2010 sebesar 250 juta jiwa.artinya hampir 50 % jumlah penduduk di indonesia terkosentrasi di pulau jawa[2]. Sementara luas pulau jawa 126.700 km2 artinya di dalam 1 km2 pulau jawa dihuni oleh 1078 jiwa. Artinya begitu padatnya penduduk di pulau jawa sehingga pengendalian lingkungan untuk pengelolaan lingkungan hidup sangat sulit dilakukan. Artinya Jokowi harus membangun sebesar 1.990.158 unit rumah untuk memenuhi kebutuhan rumah tinggal di 6 provinsi di pulau jawa. Sementara luas hutan di pulau jawa hanya berkisar 4% dari keseluruhan lahan terbuka hijau di jawa. Sementara untuk membangun Rumah Sederhana 1.990.158 unit rumah jika diasumsikan 1 unit Rumah sangat sederhana type 21/60 artinya 1 unit rumah membutuhkan lahan bersih sebesar 60 m2 sedangkan lahan kotor ( termasuk jalan akses dan saluran kota) membutuhkan sebesar 100 m2/unit. Maka untuk membangun 1.990.158 unit rumah di butuhkan lahan sebesar 200 km2.
           Maka jika luas hutan di pulau jawa yang 4% nya yaitu sebesar 5068 km2 maka akibat perluasan perumahan luas hutan akan semakin berkurang 200 km2/tahun. Artinya progam kerja jokowi untuk membuat rumah murah dimungkinkan akan menambah kerusakan lingkungan khususnya di pulau jawa. Itu baru di lihat sisi kerusakan lahan akibat hilangnya fungsi ruang terbuka hijau menjadi perumahan. Dengan hilangnya lahan terbuka hijau mengakibatkan hilangnya lahan resapan air hujan yang menyebabnya berubahnya aliran bawah tanah menjadi Aliran permukaan. Hilangnya area resapan air hujan mengakibatkan berkurangnya berkurangnya air tanah dan meningkatkan kondisi air permukaan. Jika berkurangnya air tanah dan berkurangnya daerah resapan air hujan sehingga akan semakin berkurangnya tanaman-tanaman tinggi yang akan menjaga stabilitas lingkungan. Sehingga akan terciptanya lahan kosong tanpa tanaman yang memiliki tingkat evaporasi yang tinggi. Jika tingkat evaporasi tinggi maka kondisi kelembaban di udara akan naik maka curah hujan akan semakin meningkat debit curahannya. Sementara tanah tidak bisa menyerap sebaik dahulu lagi akibat berkurangnya lahan resapan. Maka debit air yang tinggi akan menjadi aliran permukaan yang mengalir ke saluran kota dan bermuara ke daerah aliran sungai (DAS). Berkurangnya daerah resapan yang menjadi aliran permukaan di sungai mengakibatkan debit sungai meningkat khususnya di daerah hilir sehingga hulu akan kekurangan daya tampung yang mengakibatkan luapan air hujan akan berubah menjadi banjir di daerah-daerah dataran rendah. Dari sisi kurangnya daerah resapan air hujan sudah menimbulkan dampak lingkungan yang besar yaitu meningkatnya debit banjir di daerah dataran rendah yang biasanya menjadi daerah perkotaan.
      Hasil pencitraan satelit landsat tahun 2005 hutan alam di pulah jawa hanya tingga 400.000 hektar saja sedangkan penutupan lahan akibat vegetasi (hutan, perkebunan dan lain lain) hanya mencapai 18% sehingga lebih rendah daripada yang disyaratkan oleh undang-undang No 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Di dalam undang tersesebut telah syaratkan tentang 30% lahan perhutanan/vegetasi/daerah aliran sungai , 30% lahan terbuka hijau dan sisanya baru bisa di gunakan untuk lokasi pemukiman maupun lokasi usaha. Jika 30% untuk lahan perhutanan/vegetasi/daerah aliran sungai (DAS) artinya pemerintah harus membebaskan lahan pinggir kali sebagai daerah resapan untuk menerapkan Undang-undang no 26 tahun 2007 sebagai suatu keharusan di dalam penataan perkotaan. Tetapi kenyataannya area pinggir sungai menjadi lahan pemukiman yang tidak terkontrol dan memgubah fungsi sungai menjadi tempat sampah berjalan.
- Penurunan muka air tanah akibat pemukiman.
 Seharusnya pemerintah mencermati tingkat pencemaran lingkungan akibat pemukiman- pemukiman baru. Dengan dibukanya pemukiman perumahan baru maka setiap unit rumah akan membutuhkan debit air yang sangat besar. Jika kita perhitungan untuk 1.990.158 unit rumah, jika 1 unit rumah diasumsikan untuk di huni 4 anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan 2 orang anak maka untuk lahan 200 km 2 tersebut akan dihuni oleh 7.960.632 jiwa. Maka jika 1 oranng membutuhkan air bersih untuk minum, memasak, mandi, dan mencuci sebesar 20 liter  perhari maka diperkiraan untuk wilayah perumahan dengan penduduk sebesar 7.960.632 jiwa membutuh air bersih sebesar 159.212.643 liter/hari atau 159.212 m3/hari atau 4.776.363 m3/bulan atau 57 juta meter kubik pertahun. Bisa kita bayangkan jika pemerintah tidak menyiapkan lebih dahulu untuk kebutuhan air bersih bagi para penghuni rumah subsidi tersebut. Maka mereka akan membuat sumur-sumur bor yang menyerap air tanah untuk memenuhi kebutuhan air bersih mereka. Tidak heran terjadi intrusi air laut akibat pengambilan air tanah secara besar-besaran [3]. Intrusi air laut itu terjadi akibat perbedaan tekanan karena berkurangnya air tanah di daratan, sehingga kekosongan ruang di daratan terisi oleh air laut yang sedikit demi sedikit merembes kedaratan. Kekosongan air tanah di daratan akibat kurangnya area resapan air hujan dikarenakan daerah resapan telah menjadi daerah yang tertutup beton sehingga air hujan lebih banyak menjadi aliran permukaan daripada menjadi aliran bawah tanah. Tanpa adanya pasokandari resapan air hujan dan sementara penyedotan air tanah untuk kebutuhan rumah tangga terus berlangsung sehingga terjadinya kekosongan ruang-ruang di dalam tanah yang mengakibatkan masuknya air laut (intrusi) kedalam tanah.
Maka jika pemerintah tidak lebih dahulu menyiapkan penyediaan air bersih lebih dahulu di dalam hunian perumahan artinya pemerintah pun mengambil bagian didalam perusakan lingkungan akibat dibukanya lahan perumahan murah.
- Pengrusakan lingkungan akibat limbah cair rumah tangga.
Jika di dalam satu area pemukiman penduduk yang memiliki jumlah penduduk sebesar 7.960.632 jiwa maka jika 1 orang menghasilkan air kotor sebesar 80% dari air bersih yang dipakainya limbah air kotor yang di buang ke saluran kota sebesar 45.6 meter kubik pertahun yang akan menjadi air kotor yang dibuang kesaluran kota dan berakhir di daerah aliran sungai. Tanpa adanya pengelolaan daerah aliran sungai yang menjadi harusnya area tersebut menjadi  daerah daya dukung pengelolan limbah secara alamiah, tetapi kenyataannya di pinggir sungai menjadi pemukiman penduduk sehingga sungai tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya.
Apalagi sekarang daerah sungai menjadi tempat sampah berjalan sehingga supaya tidak terjadi pengendapan maka pemda memperkuat bibir sungai dengan bangunan beton. Sesungguhnya bangunan beton hanya bermanfaat supaya daerah aliran sungai tidak menjadi pemukiman penduduk, tetapi secara fungsional bangunan beton tersebut merusak fungsi sungai sebagai pengelola limbah cair secara alamiah. Maka limbah tersebut secara langsung mengalir kelaut tanpa adanya pengolahan limbah yang dilakukan oleh tanaman maupun pohon pohon di sekitar bibir sungai yang hilang akibat bangunan beton sungai.
Funsi sungai sekarang lebih mengarah kepada aliran atas untuk mengalirkan curah hujan berlebih dan limbah rumah tangga langsung menuju laut tanpa adanya pengolahan terpadu secara alamiah.
Seharusnya 45.6 meter kubik limbah rumah tangga dapat meyerap dan mengalami proses penjernihan dibawah tanah sehingga air limbah tersebut dapat berubah menjadi air tanah yang bisa dimanfaatkan kembali oleh masyarakat. Tetapi pembuatan bibir sungai mengurangi daya sungai untuk melakukan penyerapan air limbah untuk di proses di dalam tanah sebagai cadangan air tanah di kemudian hari.
Pengerusakan lingkungan akibat limbah padat rumah tangga.
Limbah padat rumah tangga berupa sampah, plastik dan barang barang rumah tangga juga harus di perhitungan. Satu unit rumah tinggal rata rata membuang sampah rumah tangga sebesar 0.3 kubik perhari atau 108 kubik pertahun. Artinya dengan penambahan jumlah rumah tinggal sebanyak 1.990.158 unit akan menghasilkan limbah padat rumah tangga sebesar 214.937.064 meter kubik setahun. Jika 1 unit dump truk itu sekitar 20 kubik maka limbah rumah tangga maka di butuhkan 10.746.853 unit dump truk untuk menyingkirkan sampah tersebut. Apakah TPS ( tempat penampungan Sampah) daerah sanggup untuk mengelola sampah tersebut, hasilnya akan terjadi pembiaran terhadap sampah tersebut. Tanpa adanya pengelolaan sampah secara terpadu akhirnya sampeh tersebut akan dibuang ke lahan-lahan terbuka yang menjadi tempat penampungan sampah sementara, kedaerah aliran sungai atau ke saluran saluran kota. Jadi tidak semudah itu pemerintah mencanangkan akan dibangun fasilitas rumah murah bagi masayarakat berpenghasilan rendah tanpa di dukung oleh pengolahan sampah secara terpadu di daerah-daerah yang menjadi tempat pengembangan. Tanpa adanya campur tangan pemerintah daerah di dalam pengelolaan sampah maka area perumahan baru cenderung akan kembali menjadi pemukiman kumuh dan kurang sejahtera.