“Oh, jam 2 sore ini kalau tidak ada delay, tapi Koh Djaja berencana berangkat 2 jam sebelum jadwal penerbangan,” ujarku menjelaskan.
Sesaat Bos Udin menjulurkan tangannya dan menengok jam melingkar di pergelangannya. “Jam 8 lewat 10 menit,” ujarnya lirih, melanjutkan. “Tersisa 6 jam sebelum kasus ini berakhir.”
Aku mengangguk sembari satu tanganku memegang handgrip erat. Sesaat mobil melaju kencang.
***
Siang itu sebelum zuhur, kami sudah sampai di rumah Pak Salim. Wangi dua gelas teh hangat plus ubi madu menyambut kedatangan kami. Cocok dengan cuaca dingin di desa Pak Salim.
Setelah basa basi aku mengutarakan maksud kedatangan kami. Bahwa ada berlian milik Koh Djaja di dalam sepatu itu. Mendengar hal itu, Pak Salim mengernyit. Tak lama ia keluar dari kamar tanpa keberatan segera memberikan sepatu itu kepada kami. Bos Udin kemudian meraihnya.
Dengan mengelus-elus sepatu itu ia berkata. “Begini ternyata, bentuk seri terbaru sepatu ini. Lebih manis dan elegan.”
Lalu, aku sedikit mendekat dan berbisik.
“Berlian itu, jangan pernah kau lupakan.”
Sesaat Bos Udin memandang Pak Salim dan minta izin membuka insole sepatu itu yang terlihat sudah cacat. Pak Salim tidak keberatan. Walau dengan sedikit tenaga akhirnya berlian itu kami dapatkan.
Setelah mendapat berlian biru yang dibungkus kotak bening kokoh, kami bertiga melanjutkan dengan obrolan-obrolan ringan lalu pamit dan melanjutkan perjalanan langsung menuju bandara.