Doni mengangguk. Tak berselang lama bunyi dering singkat keluar dari ponselnya. Ia membaca dengan seksama, lalu mengatakan. "Pesan dari Bapak, semua berkas sudah lengkap. Besok pagi bisa diambil di tempat biasa."
"Secepat itu!" Rojak terhenyak.
"Ya! Secepat kau mendapatkan amplop seratus dua puluh juta tadi," timpal Doni lirih.
Rojak menggeleng, ia merasa seperti bekerja untuk sebuah agen rahasia.
"Sampai jumpa besok pagi. Malam ini kita tidur nyenyak," ujar Doni sangat dingin.
Begitulah mereka berpisah malam itu. Malam yang tampak suram. Tanpa bulan, tanpa bintang.
***
Pagi itu cuaca sangat cerah. Secerah wajah Rojak saat menerima pesan masuk yang dikirim Burhan pagi-pagi sekali bahwa amplop dari dokumen 015 sudah bisa dicairkan. Di kursi tempatnya bekerja sesaat Rojak memikirkan rencana-rencana yang akan diwujudkan jika amplop itu betul-betul tiba. Ia menarik tangannya, diliriknya benda melingkar di pergelangannya itu, pukul sembilan lebih tiga puluh menit, setengah jam lagi Burhan tiba. Namun, kali ini Burhan datang lima belas menit lebih cepat dari perkiraan Rojak.
"Aih, kabar bahagia kawan," kata Burhan dengan wajah berseri-seri. Sembari merapikan jaket kulitnya di pipa gantungan lemari.
Rojak mengusap-usap telapak tangan tanda sudah tidak sabar lagi menerima amplop fantastis itu. Burhan masih menenteng tas selempang yang terlihat gemuk lalu duduk tepat di depan meja milik Rojak.
"Kapan tiket pesawat ke Paris kau urus kawan," sergah Rojak senyum-senyum.