"Tak apa, tak ada apa-apa!" ujarnya tergesa sembari menarik satu batang rokok dan memantiknya lagi.
"Tak perlu ada persembahan! Percayalah," sergahku menangkap bercak merah pekat di bungkus rokok mild milik Bondan.
Setelah pertemuan malam itu, pagi-pagi sekali Tino menemuiku. Ia memberiku satu foto yang katanya bisa jadi suatu saat berguna.
"Apa kau yakin menemui iblis keparat itu?" tanya Tino mendekat ke telingaku.
"Aku sendiri tak yakin. Tapi kawanmu itu sepertinya sudah masuk dalam pusarannya."
"Maksudmu, sebuah perjanjian?"
"Semoga saja dugaanku salah. Aku menemukan darah cemani!"
"Mampus sudah!" gumam Tino sembari menepuk jidat.
Sekira jam tiga menjelang sore, telepon genggamku berdering. Aku kira itu Bondan sebab sebelum berangkat ke kontrakan baru miliknya ia berjanji menemuiku terlebih dulu. Akan tetapi, yang datang di layar justru Toni dengan suara tergesa memberi kabar. Sejak jam 11 siang Bondan tidak terlihat di ruang kerja lagi.
Seketika aku menghubungi Bondan. 5 kali aku menghubunginya hanya tampak tulisan berdering. Aku coba berpikir sejenak. Kupejamkan mata. Pikiranku melayang dan berhenti di bercak merah yang sempat kusaksikan dibungkus rokok Bondan malam itu.
"Aih, sudah kukatakan jangan ikuti keinginannya, bangsat!" keluhku, bergegas menuju kontrakannya.