Mohon tunggu...
Henri Koreyanto
Henri Koreyanto Mohon Tunggu... Buruh - Kuli Kasar

Sedang menjalin hubungan baik dengan Tuhan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pusaran Iblis

11 Januari 2025   09:41 Diperbarui: 11 Januari 2025   11:34 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pusaran Iblis

Sesuatu yang kusembunyikan rapat, kupendam sangat dalam, suatu ketika tiba waktunya, terbongkar juga. Dan kalau bukan sebab desak Tino tempo itu, aku tak mau menggunakan kemampuan ini. Terus terang saja, aku ingin hidup normal layaknya manusia pada umumnya.

Sebelumnya, Tino sering bercerita tentang kawan dekatnya, yang terus menanyakan keberadaanku akhir-akhir ini. Bertanya mulai dari alamat kos, minta nomor hape, bahkan kapan aku tak punya jadwal pergi bekerja. Karena berhari-hari Tino selalu menyampaikan berita yang sama, aku memutuskan untuk menemui kawan dekatnya itu di sebuah warkop yang tak jauh dari tempat Tino bekerja. Dan orang itu bernama Bondan.

"Tolong! Bantu aku!" pintanya lirih.

Aku mencoba tenang, memantik korek membakar rokokku.

"Aku bukan dukun. Jadi, tak banyak yang bisa kubantu."

"Aku tahu banyak tentang kemampuanmu dari Tino saudara kembarmu itu," kejar Bondan lagi.

"Aku heran, orang-orang sekarang lebih suka membicarakan orang lain daripada memikirkan dirinya sendiri," kilahku.

Napas panjang keluar dari hidungnya, lalu ia berucap, "Maaf. Aku memang naif. Tapi, mohon bantu aku sekali saja bertemu kekasihku."

Aku melengos. "Ini perkara berat dan tidak mungkin aku bisa melakukannya. Aku menyerah," ujarku spontan mengangkat kedua tangan persis seorang copet yang tertangkap dan ditodong pistol oleh aparat.

"Mungkin bisa kita lakukan dengan cara lain," desaknya lagi.

"Jelangkung!" timpalku.

"Gagal," ujarnya dan aku mengernyit.

"Tidur di kuburan mendiang!" sergahku.

"Sudah."

"Hasilnya?"

"Berulang kali gagal."

Aku menyandarkan punggung. Kusesap secangkir kopi yang hampir dingin. Sejenak bola mataku memandang langit petang tanpa bulan. Sesaat Bondan menawarkan rokok, aku memantiknya dan menghembuskan asap ke udara. Lalu kudengarkan ia bercerita.

Sejak pindah ke kontrakan baru, Bondan sering diganggu mimpi aneh. Seorang wanita misterius muncul, menawarkan jasa mempertemukannya dengan kekasihnya. Awalnya, Bondan menganggapnya hanya mimpi, tapi lambat laun, kehadiran wanita itu menjadi begitu nyata.

Mula-mula, wanita itu hanya minta imbalan bunga setaman. Bondan setuju. Malamnya, terbukti saat Bondan tertidur ia bertemu dengan kekasihnya. Namun, dari jarak yang tidak dekat.

Pertemuan berikutnya, menjelang sore wanita itu datang lagi, tetapi kali ini ia menunggu tepat di depan pagar kontrakan. Bondan menyambut wanita itu dengan suka cita lengkap dengan membawa imbalan berupa kendil, pasir putih, dan satu pak dupa aroma satu rasa.

Setelah pertemuan itu, saat malam menjelang Bondan tidur lebih awal. Harapannya, supaya dirinya bisa berlama-lama dengan mendiang kekasihnya itu.

Semenjak Bondan memiliki rutinitas baru, tidur lebih awal, ia tidak pernah lagi mau untuk keluar malam. Hingga pada suatu ketika Bondan merasa jenuh. Ia ingin lebih lama lagi bersama kekasihnya yang bernama Delisa.

"Sebentar," ganti aku menawarkan rokok, lalu Bondan memantiknya. "Apa kau sudah cukup mengenal wanita itu?"

Bondan mengangguk.

"Siapa namanya?"

"Sari."

"Apakah kau tahu dari mana asalnya?"

Bondan menggeleng.

Aku merasa kali ini mulai ada yang tidak beres. Lalu, aku mengajukan satu pertanyaan terakhir.

"Kapan kau bisa mengantarku bertemu Sari?" mendengar hal itu ia memantik rokok lagi, menaruh pelan korek di atas meja lalu menyesap kopi yang asapnya terlihat menari-nari.

"Besok sore menjelang magrib. Tepat di jam itu Sari datang," saat ia menjawab demikian Bondan tampak menyembunyikan sesuatu.

"Kau sepertinya ragu, kenapa!"

"Tak apa, tak ada apa-apa!" ujarnya tergesa sembari menarik satu batang rokok dan memantiknya lagi.

"Tak perlu ada persembahan! Percayalah," sergahku menangkap bercak merah pekat di bungkus rokok mild milik Bondan.

Setelah pertemuan malam itu, pagi-pagi sekali Tino menemuiku. Ia memberiku satu foto yang katanya bisa jadi suatu saat berguna.

"Apa kau yakin menemui iblis keparat itu?" tanya Tino mendekat ke telingaku.

"Aku sendiri tak yakin. Tapi kawanmu itu sepertinya sudah masuk dalam pusarannya."

"Maksudmu, sebuah perjanjian?"

"Semoga saja dugaanku salah. Aku menemukan darah cemani!"

"Mampus sudah!" gumam Tino sembari menepuk jidat.

Sekira jam tiga menjelang sore, telepon genggamku berdering. Aku kira itu Bondan sebab sebelum berangkat ke kontrakan baru miliknya ia berjanji menemuiku terlebih dulu. Akan tetapi, yang datang di layar justru Toni dengan suara tergesa memberi kabar. Sejak jam 11 siang Bondan tidak terlihat di ruang kerja lagi.

Seketika aku menghubungi Bondan. 5 kali aku menghubunginya hanya tampak tulisan berdering. Aku coba berpikir sejenak. Kupejamkan mata. Pikiranku melayang dan berhenti di bercak merah yang sempat kusaksikan dibungkus rokok Bondan malam itu.

"Aih, sudah kukatakan jangan ikuti keinginannya, bangsat!" keluhku, bergegas menuju kontrakannya.

Tak sulit aku menerobos masuk hingga ke kamar Bondan. Pagar dan rumah ini tak terkunci. Tapi pria itu sudah tertidur pulas di atas kasur. Aku menggeleng. Kusaksikan bunga setaman di atas cobek kecil, dan 5 dupa tertancap di kendil yang berisi pasir masih menyala. 1 kendil lagi di sampingnya menyita perhatianku. Kulihat di dalamnya darah pekat merah mengering persis seperti yang kulihat dipercikan yang menempel di bungkus rokok itu.

Sesaat aku duduk di sampingnya. Kupegang keras lengan Bondan. Lalu Aku merapal mantra. Tak seberapa lama aku merasa tubuhku terurai menjadi partikel-partikel kecil menuju ke suatu tempat.

Sesaat kemudian partikel-partikel tubuhku kembali menyatu. Aku merasakan suasana yang berbeda. Pemandangan yang indah, angin sepoi-sepoi menyapu wajahku. Semua tampak bersih. Tanpa polusi dengan cuaca yang cerah. Enak betul batinku.

"Toni!!!" suara itu aku mengenalnya. Dari arah belakang ia menghampiriku.

"Tempat kita bukan di sini kawan," sergahku.

"Tapi, di sini aku menemukannya."

"Dia bukan Delisa yang kau cari," jelasku, sembari mendekatinya dan berbisik. "Dia Sari."

"Aku sungguh mengenalnya. Dia Delisa," ujarnya menoleh ke arah Delisa.

Sesaat aku menunjukkan sesuatu dari kantong celanaku. Sebuah foto kemesraan mereka dengan latar pemandangan menarik di sebuah Danau Toba.

"Bawalah," sodorku kepadanya.

"Aku sudah mendapatkannya," ujarnya dengan tangan menolak. Lalu memandang Delisa dengan senyum manis.

Entah aku yang barangkali salah dalam melihat Delisa, tetapi hatiku mengatakan itu Sari. Kupastikan lagi jelas kulihat Delisa di foto berbeda dengan Delisa yang ada di depanku, sesaat.

"Halo Toni," ujarnya lembut dan menggoda.

Aku tak menjawab. Dan pandanganku mendadak sinis.

"Kalau kamu mau, aku akan memberikan segalanya untukmu," ujarnya merayu.

"Kembalikan, Bondan, sekarang!" pintaku dingin.

"Ouh, ouh, ouh, mau jadi pahlawan. Aku sudah tahu semuanya. Dan pria itu milikku," gumam Sari lalu melanjutkan. "Kau dan saudara kembarmu itu, si dungu Tino. Ha, ha, haaa, tak akan mampu menghentikanku!!!"

Kali ini wajahku merah menyala. "Jaga mulut busukmu, Iblis!" sesaat muncul dua harimau putih di samping kiri dan kananku.

"Rasakan!!!" teriakku, disertai harimau putih menerkam Sari.

Wanita itu tampak kewalahan. Lalu sesaat ia menghilang. Kemudian muncul dengan keadaan melayang di atas dua harimauku.

"Oh, sudah mulai main kasar," ujarnya murka dengan kedua tangan mengayun lalu berhenti sesaat di depan dada. "Kamu yang memulai, Toni!!!"

Aku melihat tangannya mengayun seperti mendorong. Kemudian keluar seekor gorila raksasa. Menyapu harimau putihku dan        keduanya terkapar. Tak berselang lama gorila itu kencang berlari ke arahku, lalu menghantamku dengan keras. Aku terpental jauh. Sesaat aku batuk-batuk.

"Toni! Toni!! Apa yang terjadi," Tino datang membopongku. Dan aku sudah berada jauh dari posisi Bondan yang masih pulas tertidur.

Sesaat aku merasakan bau anyir keluar dari hidungku. Toni mengkhawatirkanku.

"Sudah Ton, sudah. Dia sudah memilih. Aku pasrah."

Sesaat aku memegang lengan Tino persis seperti tadi aku memegang lengan Bondan dengan keras.

"Pejamkan mata! Dan tahan napasmu!!" Tino melakukan apa yang kuminta.

Sejenak Tino terhenyak. Kepalanya menggeleng. Sahabat karibnya itu mesra dengan seorang wanita.

"Itu bukan Delisa," gumamnya.

"Sari!!"

Tino mengangguk.

"Mungkinkah ia kembali?"

"Entahlah!"

"Cinta membuatnya buta,' ujarnya sembari menggeleng, menyaksikan Bondan menyuapi Delisa dengan lembut, dan wanita itu membalasnya dengan senyum manja. Mereka bergantian menyuapi, dan Bondan tampak puas bersama wanita idamannya.

TAMAT

***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun