"Sepuluh tahun Mas."
"Wow! Pak Udin kok betah ya?"
"Bagaimana enggak betah Mas, bisa buat bikin rumah di kampung." Terang Pak Udin sembari menuang kopi yang masih panas ke sebuah lepek.
Jawaban Pak Udin sebetulnya membuatku tertegun, tetapi aku berusaha datar. Seolah apa yang baru saja dikatakan tidak membuatku terkejut. Alias biasa saja. Kini, ganti Pak Udin yang bertanya.
"Mas Tomi sendiri kok juga betah kenapa?"
"Ya... Bagaimana menjelaskannya ya Pak." Jawabku kebingungan harus memulai dari mana.
"Ah! Mas Tomi bisa saja. Enggak usah malu-malu. Oh ya, ada titipan dari Big Bos." Ujar Pak Udin sembari menyodorkan sebuah amplop tebal.
"Ja-ja, jangan Pak! Sampaikan saja ke Big Bos. Â Terima kasih." Balasku dengan dua tangan menolak. Namun, Pak Udin sepertinya jauh lebih berpengalaman soal ini. Begitu kedua tanganku terangkat di situ tanda ada celah. Sesaat Pak Udin memaksa amplop cokelat mendarat mulus di saku celana panjangku. Dan, aku pasrah tak bisa berbuat banyak.
"Salam untuk Big Bos ya Pak. Kenapa sih kok harus repot-repot seperti ini!" ujarku sedikit basa-basi.
"Ah... Mas Tomi bisa saja." Timpal Pak Udin dengan kalimat khasnya. Kemudian melanjutkan. "Yang penting. Dijaga loh Mas. Enggak usah banyak tanya. Pasti lancar kok."
"Aman. Aman Pak Udin." Tukasku sembari menyeruput kopi. Dan malam ini kopi terasa nikmat sekali, batinku.