Pada Satu Malam Kopi Nikmat Sekali
Sungguh menakjubkan program debat di televisi raksasa yang terpampang di sudut gedung itu. Sebuah program yang digadang mampu mengurai berbagai masalah rumit di negeri in. Mungkin itu menurut versi mereka, tentu bagi yang hadir di dalam televisi raksasa itu. Mereka kerap memakai istilah-istilah rumit biar dianggap aneh dan nyeleneh. Kalau sudah begitu, aku dan dari sekian pengunjung di kedai kopi Mak Irah, hilang gairah menaruh perhatian. Detik itu juga, tak ada yang mau peduli.
... ... ...
Sore itu, penyakit malasku tiba-tiba saja kambuh. Bukan karena aku tak suka dengan tambahan jam lembur, tapi... Ah, sudahlah, toh seperti apa menggerutu tetap saja aku yang harus lembur. Mungkin, ada baiknya, aku bersihkan lantai parkir dari dalam hingga kemudian berakhir di area luar. Setelah itu, aku lanjutkan lagi santai di kedai Mak Irah sembari menyedu kopi.
Sebetulnya, banyak dari teman-temanku yang menginginkan jam lembur ini. Hasilnya lumayan, bisa untuk beli nasi rendang padang 30 bungkus. Namun, entah kenapa, Big Bos hanya memilihku. Sampai detik ini, aku tidak tahu apa maksudnya.
Semua Teman-temanku terkadang tak habis pikir, mereka yang lebih tertib dan manis, justru tidak pernah lagi dapat jatah lembur di hari khusus ini. Kalau sekedar etos kerja jadi tolak ukur, apa yang kulakukan sebetulnya kalah jauh dibanding dengan teman-temanku. Aktivitas ngopiku justru lebih banyak ketimbang kerjaku.
Suatu kali, Big Bos di jeda waktu istirahatnya menemuiku di kedai kopi Mak Irah. Kami mengobrol banyak dan santai. Tentu, Big Bos menguasai penuh tema obrolan. Terkadang tentang soal remeh-temeh. Tentang anaknya yang masih duduk di SMA pengin sekali punya mobil. Sudah bosan katanya kalau hujan selalu pakai mantel. Tentang istrinya yang terjangkit candu pelesiran ke luar negeri. Tentang encoknya yang sering kambuh. Atau tentang dukun pijat yang top di kota ini.
Dulu, sebelum aku yang dapat jatah lembur, Big Bos selalu memperlakukan teman-temanku sama persis seperti apa yang kualami. Satu yang kuingat betul kata sopirnya tempo itu. "Pokoknya Mas! Sampean cukup dengarkan saja saat Big Bos bercerita tentang hal apa pun."
Pada suatu malam, Big Bos tidak sempat berkunjung di kedai kopi Mak Irah. Padahal, aku sangat menantikan uang tambahan, eh salah, maksudku kehadirannya. Keceplosan. Namun, Pak Udin yang menggantikannya untuk mengunjungiku di kedai Mak Irah tepat di seberang jalan depan gedung milik Big Bosku itu. Pak Udin ini sopir pribadi Big Bos. Cuma dia saja sopirnya, tidak punya stok lagi. Dan aku, orang paling beruntung bisa mengenalnya lebih dekat.
"Sudah berapa lama ikut Big Bos, Pak?"