Pernah suatu saat kami punya teman sangat unik. Bisa dibilang langka. Dia mahasiswa baru angkatan tahun 2006 Jurusan Teknik Elektronika. Wajahnya terlihat sangat cakap dan muda. Persis seperti kami yang juga terlihat tampan dan energik. Cuma bedanya, pemuda itu angkatan baru sedang kami angkatan tua.
Pemuda itu berasal dari suatu pulau tempat lahir pahlawan nasional bernama Harun Thohir, yaitu Pulau Bawean. Pemuda itu memiliki postur dengan tinggi 140 cm kurang sedikit. Kulitnya sawo matang, rajin mengaji. Setiap subuh tidak pernah lepas dari surat yasin. Dan punya ritual setelah salat isya baca Quran 5 lembar. Gramer arabnya baik sekali. Logat bicaranya persis seperti khas orang Madura.
Ringkas kisah, untuk waktu sementara pemuda itu dipersilakan Sendok untuk tinggal satu kos bersama kami. Dan hal ini adalah sisi lain dari Sendok yang saya suka. Nama lain pemuda itu adalah Resistor. Lebih akrab dipanggil Resi. Dari nama julukan, sebagian Anda mungkin bisa dengan mudah menebak. Ia memang kuliah di Jurusan Teknik Elektronika.Â
Malam itu, hari kelima Resistor tinggal bersama kami. Katanya, besok siang ia mau pamitan. Resistor sudah dapat tempat kos yang sangat dekat dengan kampus. Di waktu bersamaan kebetulan Mangkuk datang dan lalu menginap. Kami berempat malam itu akhirnya sepakat untuk begadang.
"Boleh saya bantu?" Resi menawarkan jasa, sedang Mangkuk terlena dengan buku barunya.
"Boleh," balas saya singkat.
"Mas Henri suka kopi?"
"Pastilah," ujar saya sembari membilas beberapa gelas.
"Mas Mangkuk, apa juga sama suka kopi?"
Mangkuk begitu serius membaca buku baru sehingga tidak perhatian.
"Kuk!!! Woe... Mau apa enggak?" teriak saya kesal.
Mangkuk terkejut. "Apa... tadi apa..."
"Dobol! Kopi Bol-Dobol?"Â
"Wooo... Kalau itu ya jelas lo, masak pake tanyak, goblok!"Â
Resi tertawa dan menggeleng. Saya katakan pada Resi, jangan terkejut. Itu bagian ungkapan kasih sayang. Tapi kata Resi enggak apa-apa sudah terbiasa. "Cocok!" balas saya waktu itu.
"Mas Sendok kok betah di kampus ya?" tanya Resi kalem.
"Jarang-jarang Sendok mau ke kampus. Kalau ada maunya ya begitu biasanya!" sahut Mangkuk sambil tiduran memegang buku.
Tidak lama berselang Sendok datang. Resi mendekat dan membantu kresek hitam yang dibawa Sendok. Mangkuk masih terlihat baca buku sambil tidur-tiduran. Saat dibuka aneka rupa isi kresek hitam itu, ada chiki, taro, beng-beng, indomie, energen, kacang garuda, ubi cilembu, puhung Keju, dan kopi sasetan.
"Banyak sekali ini?" ujar Resi geleng-geleng. Saya membantu menata.Â
Sesaat Sendok menatap Mangkuk. "Woe, Goblok..." teriak Sendok, melanjutkan. "Manusia model piye... Kerjanya cuma tidur-tiduran..."
Mangkuk merespon dengan mengangkat buku yang dipegang. Tanda kalau dia sedang sibuk menyelami buku barunya.
Sendok walangkerik sambil geleng-geleng.
"Kamu tahu! Membaca adalah satu sarana untuk membuka cakrawala dunia." Â Ujar Mangkuk datar.
"Iya benar. Tapi gayamu jan persis kayak Garpu."
Sesaat Mangkuk bangun dan merapikan buku bacaannya. Sendok tahu betul kelemahan Mangkuk. Dia tidak mau disamakan seperti Garpu yang punya gaya sok filsuf padahal kuliah di Jurusan Teknik Elektronika. "Wooo... Dobol!!!" sahut Mangkuk tolah-toleh bingung juga apa yang mau dikerjakan.
"Sebagai tuan rumah wajib memuliakan tamu! Wis, duduk manis saja."
Resi ngakak. Kemudian menawarkan.
"Mas Sendok pasti belum pernah merasakan kopi dari Bawean kan?"
"Oo yaa... Pasti kopi khas dari Bawean!"
"Ya... Ndak sih, cuma sebelum berangkat aku cik-racik sendiri. Ya... Barangkali Mas Sendok cocok," ujar Resi dengan tutur yang kental logat Baweannya.
"Boleh." Balas Sendok sumringah. Dan Resi membongkar kardus kecil berisi kopi yang dibungkus dengan plastik 1 kiloan, kemudian meracik kopi itu.
Mangkuk sepertinya penasaran dengan sosok Resi dan mulai bertanya-tanya. "Res! Kamu tuh kenapa kok bisa nyasar kuliah di Malang, Kan bisa tuh kuliah di Gresik, yang dekat sama tempat tinggalmu, bagaimana itu ceritanya?"Â
"Ya gimana ya Mas. Soalnya cacak yang nyuruh untuk aku kuliah di sini." Lanjut Resi. "Mas Mangkuk sendiri gimana kok bisa mutusin untuk kuliah di sini juga"?
"Waduh... Panjang ini... Bisa 2 hari menginap kalo sampe cerita." Resi kembali tertawa ngakak mulai bisa menikmati obrolan sembari menuangkan air panas ke cangkir kopi.
"Dulu Mas Mangkuk masuk kampus angkatan tahun berapa?" Mendengar pertanyaan itu, Mangkuk yang baru saja mau memantik rokok, sesaat koreknya jatuh. Saya yang juga di samping Mangkuk mendadak bangkit langsung cari-cari buku yang bisa dibaca. Sendok yang sudah lama selesai mandi pura-pura gosok rambut pakai handuk lalu masuk kamar saya. Tapi Resi tidak menyadari ada yang aneh dengan pertanyaannya.
"Menurutku... Mo angkatan kapan saja enggak begitu penting. Yang justru lebih penting kuliah yang rajin," jawab Mangkuk sekenanya.
"Oalah... Kalo gitu, Mas Mangkuk sekarang sudah semester berapa?" tanya Resi mengejar lagi sembari menyuguhkan kopi racikannya. Kali ini Sendok sudah mulai bergabung lagi.
"Nah ini Ho... Mahasiswa berbobot tau celah bertanya," ujar Mangkuk yang spontan keluar khasnya manggil 'Ho' kepada orang yang dianggap satu frekeunsi.
"Jangan begitu ah Mas." Ujar Resi kalem. Lalu melanjutkan. "Ngan-jangan... Mas Mangkuk sudah masuk skripsi ya..."
Mangkuk geleng-geleng. Sendok cengigisan. Saya enggak berani respon takut kualat. Resi masih dengan senyum kalem, heran. "Lo... Ada apa ya Mas kok semua pada nyum-senyum..."
Sebelum menjawab rentetan pertanyaan itu, Mangkuk menyeruput kopi racikan Resi. Sesaat Mangkuk terdiam seperti berpikir tentang sesuatu. Sendok menyusul menyeruput kopi, kemudian sama terdiam lama sembari cangkir masih menggantung di tangan. Saya yang merasa heran, mendadak ikut menyeruput kopi itu, dan...
"Kok kayak ada perpaduan kelapa, ditambah aroma durian yang kuat." ujar Sendok serius menikmati.
"Gimana Mas...?" tanya Resi kalem.
"Peehh... Jan cocok Ho!" Sahut Mangkuk mantap, lalu melanjutkan. "Jadi begini Ho. Kamu kan maba. Dan sekarang sudah mau punya kos sendiri. Saranku..."
"Ya Mas..."
"Jangan diulang pertanyaan konyol yang kamu tujukan ke aku tadi ya. Kalo sampai terjadi pada yang lain, itu fatal sekali," ujar Mangkuk menerangkan sembari tangannya bergerak.
"Enggih Mas..."
"Di kampus kita ini, mahasiswa yang susah lulus karena otaknya pas-pasan biasanya agak galak kalo mulai ditanya menyangkut urusan sederhana kayak, Angkatan tahun berapa? Kuliah sudah semester berapa? dan Kapan skripsi? Haram hukumnya bertanya seperti itu."
"Lalu pertanyaan seperti apa yang cocok untuk mengawali perkenalan ya Mas?" tanya Resi lagi masih dengan wajah kalem.
"Tanya saja soal, Siapa namanya? Dari mana kota asalnya? atau Apakah sudah punya pacar? Kalo belum kenapa lama menjomblo? Dan masih banyak kok yang bisa jadi bahan bertanya untuk membuka obrolan."Â
"Tapi kalo sudah akrab, boleh nggak tanya IPK Mas?" ujar Resi tajam dan menggoda.
"Looo... 18 hari Perang Baratayuda itu lama lo Hooo...!!!" timpal Mangkuk agak kesal kali ini.
Kami bertiga tertawa ngakak mendengar itu. Sepertinya Resi sudah mulai mengerti maksud obrolan kami. Kepalanya manggut-manggut. Sebetulnya mahasiswa yang dimaksud otaknya pas-pasan dan galak-galak ya kami bertiga ini. Semakin terang Mangkuk menjelaskan semakin capek Resi tertawa. Hingga larut malam perut kami tambah semakin sakit karena makin ngikik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H