Lama-lama saya jadi merasa aneh. Sebetulnya sahabat saya ini punya sekte atau komunitas apa. Kok hampir semua nama panggilan yang saya kenal seperti perangkat kitchen set. Awalnya Garpu, kemudian Sendok, dan sekarang Mangkuk.
"Aja diracun lo Dok, arek iki" ujar Mangkuk yang tangannya menunjuk saya lagi.
"Nggak mungkinlah! Dia pemuda baik-baik." balas Sendok setelah menyeruput kopi.
Batin saya. Pemuda baik-baik macam apa. Wong hidup saya saja bergantung padanya. basa-basi yang nggak lucu.
"Yak apa Dok! kamu berani berapa?" ujar Mangkuk menantang, dan masih dengan gaya khasnya senyum-senyum.
"250. Piye?" balik Sendok menantang mantap.
"Oookee," tukas Mangkuk cepat.
"Deal," ujar Sendok yang langsung disambut Salaman sebagai tanda sah.
Sesaat saya lihat Mangkuk mulai keliling. Menarik tarif taruhan nobar final bola. Ini taruhan model baru, saya kurang tahu konsepnya.
"Dok, maksudmu apa? Itu kan kalo nggah salah uang salam tempel yang tadi?" setengah berbisik saya berkata begitu.
"Hen... Taruhan pake duwit yang didapat dari kebaikan. Pasti membawa kemenangan," ujar Sendok lirih.