Kedatangan Sendok disambut salaman dari peracik kedai kopi. Mbah Lawas panggilannya. Saya ikut bersalaman dengan Mbah Lawas. Lalu Sendok memperkenalkan saya. Si Mbah menyapa, kemudian saya membalas, saya tidak bisa jawa kromo, Mbah Lawas tidak mempermasalahkan. Sesaat kemudian Mbah Lawas menyajikan kopi untuk Sendok dan saya.
Kopi buatan Mbah Lawas harum aromanya. Mumpung masih panas, saya tuang ke lepek, saya seruput pelan-pelan. Saya kaget, langsung cespleng kuat rasa kopinya. Sangat pas kalau disambi dengan rokok kretek. Sambil merokok, saya lihat di sekitar kedai kopi semakin lama semakin ramai. Persis di dekat tempat saya duduk berdiri tegak layar proyektor. Nobar kali ini mempertemukan Milan lawan Liverpool.
Sendok masih terlihat ngobrol asyik bersama Mbah Lawas. Sedikit yang bisa saya tangkap, sepertinya Mbah Lawas berkisah babad Kayu Tangan. Tidak lama rombongan suara knalpot GLpro memasuki area kedai kopi lalu parkir. Salah satu diantaranya, mendekat ke arah kami. Saya kira orang itu pasti kepala suku. Terlihat warna jersey yang berbeda dari rombongan lain. Posturnya, kira-kira kurang dari 175 cm.
"Seeennddoookkk... " teriak pria tersebut. Sesaat Sendok bangkit lalu salaman dan berpelukan.
"Gimana... gimana... " balas Sendok senyum-senyum.
"Ngopi sik... ngopi sik... " tambah pria tersebut, "Kopi pait Mbah, kayak biasa-e."
Sesaat tangan pria itu menunjuk saya.
"Kanca anyar ya... " tanya dia kepada Sendok.
"Kenalan sik... kenalan... " balas Sendok.
"MANGKOK," ujarnya mantap, mengenalkan nama panggilan dan salaman.
"Henri," jawab saya singkat sembari menahan tawa.