Mohon tunggu...
Henri Koreyanto
Henri Koreyanto Mohon Tunggu... Buruh - Kuli Kasar

Sedang menjalin hubungan baik dengan Tuhan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Merdeka Besok Saja

7 Agustus 2023   11:26 Diperbarui: 21 Desember 2024   07:35 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Merdeka Besok Saja

Lama sekali Kapten De van Dirk duduk di depan cermin. Sembari tangan kanan mengelus kumisnya yang sangat lebat. Tatapannya dingin ke sebuah tulisan besar di kertas lusuh yang hampir habis terbakar. Dibolak-balik kertas itu kemudian terdiam. Dibolak-balik lagi, lalu diam lagi. Begitu terus, seperti sedang mengumpulkan puzzle yang tercecer kemudian menyatukannya di kepala.

"Apa lagi yang kau ingat hari itu, Tuan Wiro!" tanya Kapten De van Dirk datar.
"Jadi ... Begini Tuan Kapten ..." tukas Centeng Wiro.

***

Ki Oemar tampak gelisah. Langkahnya tak menentu. Mondar-mandir tak jelas. Acap kali menatap ke atas, mulutnya komat-kamit. Sore itu cahaya begitu sangat merah, ia tahu ini pertanda tidak bagus.

Tak lama Sebuah cikar datang mendekat. Kusirnya turun menyerahkan sepucuk surat. Hanya sebentar saja cikar beserta kusir lalu pamit dan pergi.

Jika dugaannya benar, isi surat ini tentu ada kaitan dengan dua orang kepercayaan Ki Oemar yang tak kunjung kembali. Tak lama berselang Ruslan datang dengan kuda putihnya.

"Ki ...," sapa Ruslan melanjutkan. "Aku belum dapat kabar nasib Said dan Amir."
Ki Oemar melihat Ruslan dengan tatapan kosong.
"Ki ...," panggilnya lagi.

Ki Oemar bukan tidak mendengar, tapi ia berat sekali membuka mulut. Tiba-tiba tanganya mengulurkan sepucuk surat. Ruslan pun segara meraihnya, lalu dengan cepat membaca dengan lirih.

 Sesaat darahnya naik. "Kumpeni bangsaat," umpat Ruslan.
"Mulut-mulut bau busuk," tukasnya lagi.
"Bagaimana bisa mereka melakukan hal ini, jelas-jelas mereka yang buat aturan tapi mereka yang ingkar," ujar Ruslan begitu sangat kesal.
"Malam ini kumpulkan para penduduk. Kita bergerak sebelum subuh tiba," pinta Ki Oemar.

***
Kapten Van der Hok mengatur strategi bersama Letnan De Berg dan Letnan De Yong. Tujuan mereka hanya satu, besok pagi Ki Oemar harus ditangkap hidup-hidup. Keberadaannya mengusik stabilitas Hindia Belanda. Ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.

Jebakan perundingan berhasil. Dua orang kepercayaan Ki Oemar ditahan. Tentu ini sangat menguntungkan pihak kumpeni. Saat Kapten Van der Hok memberi isyarat kedutan mata. Letnan De Yong tidak setuju. Pelanggaran yang dilakukan Kapten sudah sangat berat. Ini bisa memicu perang besar apalagi ditambah rencana penembakan dua orang kepercayaan Ki Oemar saat penyerahan besok pagi.

Tapi sayang. Tekad sudah jadi batu. Kapten Van der Hok dan Letnan De Berg tetap pada rencana penembakan. Di saat bersamaan Mbok Ngatiyem masuk ke ruang tersebut. Lalu menaruh teh hangat dan enam potong kue di meja kayu jati di mana para kapten dan letnan berkumpul.

"Nyuwun sewu Tuan-tuan," ujar Mbok Yem lembut.

Kapten dan kedua letnan tidak menaruh curiga. Mbok Yem sudah cukup tua. Tidak banyak yang bisa dilakukannya apalagi membocorkan pembicaraan. Tak lama Mbok Yem pamit melanjutkan pekerjaan dapur.

Mbok Yem bergegas ke dapur. Tak lama menutup pintu rapat. Dari jendela terlihat pemuda sangat lincah masuk. Mendekati Mbok Yem.

"Burhan! Sini," panggil Mbok Yem sangat pelan.
"Ya Buke," jawab Burhan mendekat dan menunduk.
"Sampaikan pada Ki Oemar. Buke, punya firasat tidak enak sewaktu lihat raut wajah kapten dan para letnan," ujarnya berbisik ke telinga Burhan.

Tak menunggu waktu lama, Burhan bergegas loncat keluar jendela, sangat lincah nyaris tidak ada suara. Burhan hilang di antara semak belukar bergabung dengan gelapnya malam.

***
Angin laut berhembus kencang. Malam itu betul-betul menjadi malam penuh semangat di pesisir pantai. Ki Oemar terus meneriakan kisah-kisah pendahulu yang gigih memperjuangkan tanah kelahiran. Pantang menyerah dan pantang berkhianat. Merdeka tidak bisa ditunda. Merdeka tidak bisa besok saja. Pilihan hanya dua, merdeka atau mati.

Di hampir jelang tengah malam, di sela-sela memberi semangat, datang seorang membawa obor berlari dengan napas ngos-ngosan
Ia menyampaikan pesan yang didapat dari Burhan. Para kumpeni itu tidak hanya menginginkan Ki Oemar saja, tapi Said dan Amir akan dieksekusi tembak saat pertukaran terjadi. Mendengar hal itu, raut wajah Ruslan semakin gelisah. Sambil duduk tangannya memukul-mukul tanah.

"Tenangkan hatimu, Rus!" kata Ki Oemar.
"Ki! Ayo putuskan sekarang," ujar Ruslan.
"Perang tidak bisa tergesa-gesa. Dibutuhkan hati tenang pikiran jernih. Pasukan kita tidak banyak," balas Ki Oemar mengingatkan.
"Ma-maaf Ki," kata pemuda pembawa obor tadi agak tergagap melanjutkan.
"Sebelum subuh. Kata Burhan, kumpeni akan kirim pasukan di pinggir sungai, itu pun terserak."

Mendengar hal itu sesaat Ki Oemar termenung. Suasana mendadak sunyi. Semua mata tertuju pada Ki Oemar. Malam semakin dingin, tapi semua tidak merasa dingin karena menunggu Ki Oemar mengambil sebuah keputusan.

"Aku akan menyerahkan diri. Mereka hanya menginginkan aku," ujarnya tenang.
Suasana mendadak berisik.
"Jangan konyol Ki," tukas Ruslan cepat.
"Keputusan sudah matang. Ikut saja arahanku. Kumpeni itu yang akan membunuh kaptennya sendiri." Balas Ki Oemar yakin.
"Bagaimana mungkin di saat seperti ini kau masih percaya kumpeni itu. Penjajah tetaplah penjajah!" ujar Ruslan keberatan.
"Jika tidak lagi ada yang bisa kupercaya dari pihak lawan. Aku mundur dari perjuangan ini. Aku sudah lelah, capek, aku bisa pergi sekarang menghabiskan masa tua bersama keluarga di tempat terpencil," kata Ki Oemar pasrah.
"Ki ... Bukan itu maksudku. Kami semua percaya padamu Ki," balas Ruslan bersimpuh.
"Tuan-tuanku. Jangan buang-buang waktu. Sekali merdeka tetap merdeka!" teriak para hadirin membangkitkan semangat.
Sontak Ruslan terkejut, semangatnya tumbuh. Ki Oemar bangkit dari duduk. Berdiri tegap. Sorot matanya penuh yakin.
"RUSLANNN! Siapkan pasukan. Kumpulkan mereka di beberapa titik. Keselamatanku ada di tangan kalian," teriak Ki Oemar memberi arahan.

Tak menunggu waktu lama, mereka pun beranjak. Menuju tepi sungai. Tempat di mana Ki Oemar menyerahkan diri.
"Merdeka! Merdekaa! Merdekaaa!" teriak para pasukan Ki Oemar.

***
Kapten Van der Hok sudah di tepi sungai. Di kanannya ada Letnan De Berg. Para pasukan jongkok membentuk benteng dan siap menembak. Sedang Letnan De Yong di atas perahu bambu bersama tawanan Said dan Amir.

Ki Oemar sudah pula di atas perahu tapi hanya seorang diri, tanpa ada senjata api yang melekat kecuali hanya keris kecil di pergelangan tangan yang tertutup kain serba putih.

Saat perahu mereka bertemu pas di tengah-tengah sungai. Di saat itu pertukaran berlangsung.

"Mati kau Tuan Oemar. Kenapa harus menunggu dan mengorbankan dua anak buahmu," teriak Kapten Van der Hok sembari terbahak-bahak puas. Apa yang dicita-citakan terwujud.

Ki Oemar hanya tersenyum manis mendengar itu. Tidak membalas kata apa pun.
Sesaat suara derik bambu kriek, kriek, terdengar nyaring, menandakan perahu mulai berjalan.

Letnan De Yong mengacungkan pistol.
"Angkat tanganmu Tuan Oemar," perintah Letnan De Yong.
Ki Oemar ikut apa yang diperintahkan. Perahu semakin dekat sekitar jarak tujuh meter.
"Kalian berdua cepat jongkok!" bentak Letnan De Yong kepada Said dan Amir sembari mengacungkan pistol.

Perahu sudah sangat dekat berjarak dua meter. Letnan De Yong mengubah arah pistol ke arah Ki Oemar. Sontak Kapten Van der Hok terkejut.

"Letnan De Yong. Jangan kau lakukan. Itu bagianku," teriak Kapten getir-getir.
Tapi letnan seperti tidak mendengar teriakan kapten. Dia malah mengokang pistol. Mendengar suara itu Kapten menuju bibir sungai.
"Letnan. Aku perintahkan padamu. Arahkan pistol kepada dua tawanan di depanmu!"

Wajah letnan semakin terlihat bengis. Tidak sabar lagi ingin mengeksekusi Tuan Oemar.

"Letnan! Dengarkan aku! Arah pistolmu salah!"
Tiba-tiba muncul suara lirih.
"Masuk air sedalam-dalamnya."
"APA KAU TULI LETNAN!" semakin geram saja Kapten kepada Letnannya itu.
"Aku tidak tuli KAPTEEN!" balas teriak Letnan De Yong sembari membalikkan badan dan arah pistol.
DOR ... DOOR ...

Dua peluru bersarang di jantung Kapten Van der Hok. Tahu kejadian itu Letnan De Berg sontak meraih pistol dan mengokang ke arah Letnan De Yong.

JLUUBBB ...
Belum sempat pelatuk ditarik, Letnan De Berg bersimpuh. Jantungnya terkena lemparan keris kecil milik Ki Oemar.

Jebur ... Jebuuuurrr ...

Ki Oemar masuk ke sungai lebih dulu, kemudian disusul Said dan Amir. Suasana kacau. Pasukan kumpeni bingung, kapten terbunuh. Begitu juga Letnan De Berg. Tanpa pikir panjang para pasukan memberondong Letnan De Yong dengan senapan.

Melihat kejadian itu, Ruslan dan para pasukan mundur pelan-pelan. Mereka seperti menyaksikan perang saudara.

***
"Sedang Tuan Wiro waktu itu di mana?" tanya Kapten De van Dirk dingin."Ee ... Saya segera tembak Mbok Ngatiyem dan Burhan. Saya rasa mereka membocorkan strategi dari Kapten Van der Hok," jawabnya penuh percaya.
"Jadi, Tuan Wiro, bunuh istri dan anaknya sendiri?" tanya Kapten De van Dirk tenang.
"Begitulah Tuan Kapten. Harga yang pantas untuk sebuah penghianatan," jawab Centeng Wiro dengan bangga.
"Saya dengar. Tuan Wiro berpisah karena ketahuan di dalam kamar bersama wanita lain. Betul itu?" tanya Kapten lagi sembari mengusap-usap pistol.
"I ... iya ... Tuan Kapten. Tapi, saya kan centeng," jawabnya sambil cengengesan.

DOR ...

Satu peluru bersarang di dada kanan Centeng Wiro.
"S ... sa ... s ... salah saya apa Tuan?" tanya Centeng Wiro serak-serak.
"Harga yang pantas untuk seorang penghianat," jawabnya sambil meniup asap mesiu.
"Sa ... Sa ... Saya su-sudah meng-meng-abdi la-lama untuk Hindia Belanda, Tuan."
"Terlalu banyak penghianat. Mana bisa aku percaya begitu saja pada orang yang tega menghianati keluarga," ujar Kapten dingin.
"Ta-ta-tapi Kapten..." tukas Centeng Wiro semakin lemas dan mulai kehabisan darah.

DOR ... DOR ... Tepat di jantung.

Kapten De van Dirk masih duduk di depan mayat Centeng Wiro yang juga terduduk bersimbah darah. Kemudian menaruh pistol di meja. Lalu meraih lagi kertas lusuh hampir terbakar yang bertulis jelas 'Merdeka Besok Saja'. Masih dibacanya berulang-ulang. Kertas itu penyebab mala petaka perang saudara. Kapten Van der Hok terlalu ceroboh. Dan hal ini tak akan pernah terjadi lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun