Tapi sayang. Tekad sudah jadi batu. Kapten Van der Hok dan Letnan De Berg tetap pada rencana penembakan. Di saat bersamaan Mbok Ngatiyem masuk ke ruang tersebut. Lalu menaruh teh hangat dan enam potong kue di meja kayu jati di mana para kapten dan letnan berkumpul.
"Nyuwun sewu Tuan-tuan," ujar Mbok Yem lembut.
Kapten dan kedua letnan tidak menaruh curiga. Mbok Yem sudah cukup tua. Tidak banyak yang bisa dilakukannya apalagi membocorkan pembicaraan. Tak lama Mbok Yem pamit melanjutkan pekerjaan dapur.
Mbok Yem bergegas ke dapur. Tak lama menutup pintu rapat. Dari jendela terlihat pemuda sangat lincah masuk. Mendekati Mbok Yem.
"Burhan! Sini," panggil Mbok Yem sangat pelan.
"Ya Buke," jawab Burhan mendekat dan menunduk.
"Sampaikan pada Ki Oemar. Buke, punya firasat tidak enak sewaktu lihat raut wajah kapten dan para letnan," ujarnya berbisik ke telinga Burhan.
Tak menunggu waktu lama, Burhan bergegas loncat keluar jendela, sangat lincah nyaris tidak ada suara. Burhan hilang di antara semak belukar bergabung dengan gelapnya malam.
***
Angin laut berhembus kencang. Malam itu betul-betul menjadi malam penuh semangat di pesisir pantai. Ki Oemar terus meneriakan kisah-kisah pendahulu yang gigih memperjuangkan tanah kelahiran. Pantang menyerah dan pantang berkhianat. Merdeka tidak bisa ditunda. Merdeka tidak bisa besok saja. Pilihan hanya dua, merdeka atau mati.
Di hampir jelang tengah malam, di sela-sela memberi semangat, datang seorang membawa obor berlari dengan napas ngos-ngosan
Ia menyampaikan pesan yang didapat dari Burhan. Para kumpeni itu tidak hanya menginginkan Ki Oemar saja, tapi Said dan Amir akan dieksekusi tembak saat pertukaran terjadi. Mendengar hal itu, raut wajah Ruslan semakin gelisah. Sambil duduk tangannya memukul-mukul tanah.
"Tenangkan hatimu, Rus!" kata Ki Oemar.
"Ki! Ayo putuskan sekarang," ujar Ruslan.
"Perang tidak bisa tergesa-gesa. Dibutuhkan hati tenang pikiran jernih. Pasukan kita tidak banyak," balas Ki Oemar mengingatkan.
"Ma-maaf Ki," kata pemuda pembawa obor tadi agak tergagap melanjutkan.
"Sebelum subuh. Kata Burhan, kumpeni akan kirim pasukan di pinggir sungai, itu pun terserak."
Mendengar hal itu sesaat Ki Oemar termenung. Suasana mendadak sunyi. Semua mata tertuju pada Ki Oemar. Malam semakin dingin, tapi semua tidak merasa dingin karena menunggu Ki Oemar mengambil sebuah keputusan.
"Aku akan menyerahkan diri. Mereka hanya menginginkan aku," ujarnya tenang.
Suasana mendadak berisik.
"Jangan konyol Ki," tukas Ruslan cepat.
"Keputusan sudah matang. Ikut saja arahanku. Kumpeni itu yang akan membunuh kaptennya sendiri." Balas Ki Oemar yakin.
"Bagaimana mungkin di saat seperti ini kau masih percaya kumpeni itu. Penjajah tetaplah penjajah!" ujar Ruslan keberatan.
"Jika tidak lagi ada yang bisa kupercaya dari pihak lawan. Aku mundur dari perjuangan ini. Aku sudah lelah, capek, aku bisa pergi sekarang menghabiskan masa tua bersama keluarga di tempat terpencil," kata Ki Oemar pasrah.
"Ki ... Bukan itu maksudku. Kami semua percaya padamu Ki," balas Ruslan bersimpuh.
"Tuan-tuanku. Jangan buang-buang waktu. Sekali merdeka tetap merdeka!" teriak para hadirin membangkitkan semangat.
Sontak Ruslan terkejut, semangatnya tumbuh. Ki Oemar bangkit dari duduk. Berdiri tegap. Sorot matanya penuh yakin.
"RUSLANNN! Siapkan pasukan. Kumpulkan mereka di beberapa titik. Keselamatanku ada di tangan kalian," teriak Ki Oemar memberi arahan.