"Cucuku," panggil Kakeknya lirih. "Iya, Kek." Jawabnya bergegas menuju licak bambu. Sesaat, terlihat mereka berdua sudah duduk bersama. Dan satu tangan Ki Kebomas memegang pundak Dewandaru.
"Kek?" sapa Dewandaru. "Ya. Cucuku." Balas Ki Kebomas. "Kenapa kakek tak menggunakan kesaktian saja untuk memetik hasil kebun tadi. Dan tak perlu repot-repot lagi untuk meniup-..."
"Sebentar-sebentar ya cucuku," ujar Ki Kebomas bergegas menuju tungku perapian dan meniup-niup api yang mulai mengecil. Sesaat api mulai terlihat membesar, ia masukan kayu lagi ke lubang tungku perapian. Membuat api agar tetap menyala. Lalu meniup-niupnya lagi.
Dewandaru masih duduk di lincak bambu sembari melihat peluh keringat keluar dari wajah kakeknya.
Kemudian, tiba-tiba nyala api mengecil, ia tiup lagi dengan ekspresi keheranan. Sesaat teringat olehnya, ternyata Ki Kebomas terlalu banyak memasukan kayu di lubang itu. Tak lama, ditariknya dan hanya menyisakan satu kayu di lubang tungku perapian.
Ki Kebomas menghela napas, lalu meniup-niup api lagi agar tetap menyala sembari memandangi cucunya yang sedang melamun tersenyum-senyum dengan tatapan kosong.
Kali ini, Dewandaru betul-betul hanyut dalam khayalan. Ia membayangkan memetik buah yang tak lagi bonyok. Tak perlu berpeluh keringat untuk beraktifitas. Dan yang paling membuat pikirannya semakin terbuai, ia membayangkan mampu terbang seperti benda-benda melayang dengan kesaktian yang dimilikinya.
"Walaupun," ujar Ki Kebomas menepuk pundak bocah cilik itu. Seketika Dewandaru terkejut seperti jantungnya hampir lepas. "Kau terlahir dengan membawa bakat kesaktian. Tetapi, jangan lupakan itu. Kau juga terlahir sebagai manusia, di dalamnya mengalir darah merah yang kapan saja jika itu keluar kau pasti merasakan sakit di tubuhmu."
Dewandaru terdiam seribu bahasa menundukan kepala. Ia masih mendengar apa yang dikatakan kakeknya itu.
"Kakek tak ingin cucuku ini larut dan lupa diri dengan kesaktiannya. Lebih baik melakukan apapun seperti layaknya manusia biasa. Tubuhmu, juga butuh keseimbangan dengan kegiatan yang kau kerjakan." Ujar Ki Kebomas pelan. Bocah cilik itu memandang kakeknya dengan mata berkaca-kaca.
Sesaat Dewandaru mengusap peluh keringat di wajah kakeknya. Ia benar-benar menangkap maksud ucapan yang keluar itu.