Seberkas sinar bulan menembus celah-celah daun jendela, menyinari sesosok bocah cilik dan Ki Kebomas yang terbaring di atas dipan bambu petung kecokelatan.
Bola matanya menatap langit-langit atap rumah. Sesekali ia gerakan badannya ke kiri terkadang berpindah ke kanan. Sungguh betapa bahagia hari ini ia mampu menguasai hati dan kesaktiannya menjadi satu. Ingin sekali ia menghabiskan sisa malam ini dengan menerbangkan dan menaruh gelas bambu di atas meja hingga berulang-ulang kali.
Sesaat, ketika pikirannya melayang dan melambung tinggi, terdengar suara lirih. "Banyak yang harus kita lakukan untuk esok hari, cucuku. Bergegaslah tidur." Ujar Ki Kebomas dengan mata terpejam.
Dewandaru mengangguk kecil dan tersenyum mendengar itu. Tak lama, tangan Ki Kebomas mengelus-elus lengan kiri Dewandaru yang berposisi miring menghadapnya. Sesaat bocah cilik itu terlelap tidur.
***
"Kriek-kriek." Bunyi dari kerekan sumur menyebabkan kedua mata Dewandaru terbuka dan terbangun dari tidurnya.
Dua gentong air terisi penuh dan masih menyisakan 1 gentong yang baru terisi separo. Ki Kebomas melanjutkan meniup bara api di tungku persegi panjang terbuat dari tanah liat. Menyiapkan sarapan pagi untuk cucu kesayangannya.
Dengan langkah kaki tergontai, ia menuju sumur. Sesaat alisnya naik memandangi 2 gentong air sudah terisi penuh. "Kakek," sapanya. "Yang ini aku isi penuh, ya?" Dengan suara parau. "Boleh." Jawab Ki Kebomas.
Tangan kirinya memegang tali karet dan tangan kananya mulai memegang timba. Sesaat terpikir olehnya, "Kenapa nggak pakai kesaktian saja." Gumam hatinya.
"Aha." Ujarnya pelan seraya memandang satu timba seng lagi yang tergelatak di dekat gentong air.
Bergegas ia menjemput dan kembali ke bibir sumur. Tangan kanannya memegang timba seng yang baru diambilnya, dengan mantap dan sekali tarikan napas, kemudian ia lepaskan. Timbas seng itu mulai melayang-layang tepat di tengah-tengah lubang sumur yang dalamnya hampir 4 meter.
Kemudian, ia gerakan telapak tangannya seperti mengayun. Ember sengnya mengikuti isyarat itu, turun hingga menyentuh permukaan air sumur. Lalu, ia gerakan lagi jari jemarinya, sesaat ember itu sudah terisi air.
Beberapa detik kemudian, ia membalik telapak tangan mengayun-ayun ke atas, dan ember pun perlahan naik hingga sejajar tepat di bibir sumur. Ember itu, benar-benar taat pada tuannya. Tak lama Dewandaru meraihnya dan, "Byuur." Terdengar suara air dituangkan ke dalam gentong tanah liat. Ia pun mengulangnya persis seperti itu hingga gentong penuh terisi air.
Ki Kebomas mendengar apa yang dilakukan Dewandaru, merasa ada yang kurang di telinganya. Ya, sangat jelas sekali tak terdengar suara kerekan sumur. Kepalanya terlihat menggeleng.
"Selesai Kek." Ujar Dewandaru.
Ki Kebomas beranjak dari tungku perapian mendekati cucunya, "Kakek mau ambil daun singkong, tomat dan lombok. Kamu lanjutkan bersih-bersih rumah ya. Jangan lupa, tuh." Sambil menunjuk pojok-pojok langit rumah, banyak sarang laba-laba.
"Siap, Kek. Serahkan sama Dewandaru, pasti semuanya beeersih." Jawabnya penuh semangat. Â Mendengar itu Ki Kebomas tersenyum dan bergegas menuju kebun yang ada di samping rumah.
Sesaat, bocah cilik itu pun segera meraih sapu lidi, lalu diambilnya tongkat bambu sepanjang 2 meter. Diikatnya sapu dan tongkat itu hingga terlihat panjang mencapai 3 meter. Dengan segera ia mulai membersihkan sarang laba-laba di pojok-pojok langit rumah.
Baru saja selesai di salah satu pojok langit, terlintas di pikirannya dan bergumam, "Kenapa aku harus repot-repot seperti ini. Bukankah ada kesaktian yang bisa ku manfaatkan." Seraya meletakan tongkat dan sapu yang digunakan tadi.
Lagi-lagi ia gunakan kesaktiannya. Kali ini, Dewandaru memerlukan kedua tangan untuk membersihkan sarang laba-laba. Ia bentangkan kedua tangan, diarahkannya pada setiap pojok langit rumah. Ia gerakan telapak tangan kanan seperti gerakkan menyapu. Pelan-pelan terlihat sarang laba-laba melayang dan terkumpul menjadi satu.
"Wah. Sangat mudah dan cepat." Gumam hatinya. Tak lama, terlintas lagi di pikirannya, untuk sekalian membersihkan rumah dari debu-debu yang menempel. Kali ini, ia benar-benar sangat menguasai kesaktiannya.
Dibiarkan dulu sarang laba-laba melayang-layang, sembari telapak tangan mengayun mengumpulkan debu-debu menjadi satu bersama sarang laba-laba itu tadi. Kemudian, ia menggiringnya hingga keluar rumah dan meletakkan tepat di atas dedaunan yang rontok.
"Beres sudah." Celetuknya seraya bergegas masuk rumah. Dilihat Kakeknya pun telah kembali dari kebun samping rumah. Ki Kebomas segera mencuci daun itu lalu merebusnya. Dewandaru merapikan tongkat dan sapu lidi pada tempatnya.
"Cucuku," panggil Kakeknya lirih. "Iya, Kek." Jawabnya bergegas menuju licak bambu. Sesaat, terlihat mereka berdua sudah duduk bersama. Dan satu tangan Ki Kebomas memegang pundak Dewandaru.
"Kek?" sapa Dewandaru. "Ya. Cucuku." Balas Ki Kebomas. "Kenapa kakek tak menggunakan kesaktian saja untuk memetik hasil kebun tadi. Dan tak perlu repot-repot lagi untuk meniup-..."
"Sebentar-sebentar ya cucuku," ujar Ki Kebomas bergegas menuju tungku perapian dan meniup-niup api yang mulai mengecil. Sesaat api mulai terlihat membesar, ia masukan kayu lagi ke lubang tungku perapian. Membuat api agar tetap menyala. Lalu meniup-niupnya lagi.
Dewandaru masih duduk di lincak bambu sembari melihat peluh keringat keluar dari wajah kakeknya.
Kemudian, tiba-tiba nyala api mengecil, ia tiup lagi dengan ekspresi keheranan. Sesaat teringat olehnya, ternyata Ki Kebomas terlalu banyak memasukan kayu di lubang itu. Tak lama, ditariknya dan hanya menyisakan satu kayu di lubang tungku perapian.
Ki Kebomas menghela napas, lalu meniup-niup api lagi agar tetap menyala sembari memandangi cucunya yang sedang melamun tersenyum-senyum dengan tatapan kosong.
Kali ini, Dewandaru betul-betul hanyut dalam khayalan. Ia membayangkan memetik buah yang tak lagi bonyok. Tak perlu berpeluh keringat untuk beraktifitas. Dan yang paling membuat pikirannya semakin terbuai, ia membayangkan mampu terbang seperti benda-benda melayang dengan kesaktian yang dimilikinya.
"Walaupun," ujar Ki Kebomas menepuk pundak bocah cilik itu. Seketika Dewandaru terkejut seperti jantungnya hampir lepas. "Kau terlahir dengan membawa bakat kesaktian. Tetapi, jangan lupakan itu. Kau juga terlahir sebagai manusia, di dalamnya mengalir darah merah yang kapan saja jika itu keluar kau pasti merasakan sakit di tubuhmu."
Dewandaru terdiam seribu bahasa menundukan kepala. Ia masih mendengar apa yang dikatakan kakeknya itu.
"Kakek tak ingin cucuku ini larut dan lupa diri dengan kesaktiannya. Lebih baik melakukan apapun seperti layaknya manusia biasa. Tubuhmu, juga butuh keseimbangan dengan kegiatan yang kau kerjakan." Ujar Ki Kebomas pelan. Bocah cilik itu memandang kakeknya dengan mata berkaca-kaca.
Sesaat Dewandaru mengusap peluh keringat di wajah kakeknya. Ia benar-benar menangkap maksud ucapan yang keluar itu.
"Tak ada gunanya menghayal berlama-lama sampai lupa hidup, ingat itu. Nah, sekarang bagaimana kalau kita segera menyiapkan sarapan dan melanjutkan panen jagung sambil menikmati sinar matahari pagi yang baik untuk kulit kita." Kata Ki Kebomas.
Dewandaru bangkit. "Siiaaap, Kakekku tersayang. Laskanakan." Ki Kebomas melongo mendengarnya. Dan kemudian membetulkan. "Laksanakan. Cucuku," katanya lagi dengan tersenyum-senyum.
Dengan langkah tenang Dewandaru mulai menjemput satu persatu hidangan sarapan. Diletakkan di tikar samak yang baru saja digelar Ki Kebomas. "Nggak pakai kesaktian?" tanya kakeknya singkat. "Nggak-nggak. Aku butuh keringat Kek." Jawab Dewandaru dengan semangat.
Wajah Ki Kebomas benar-benar semringah. Usai sudah pelajaran kedua. Hatinya sangat bahagia seperti dipenuhi wangi bunga-bunga. Tak lama, mereka berdua, larut menikmati hidangan sarapan pagi.
Cerpen Dewandaru
6. Pelajaran Kedua, Tanpa Mantra
Senin, 30 Mei 2022
Henri Koreyanto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H