Mohon tunggu...
Henri Koreyanto
Henri Koreyanto Mohon Tunggu... Buruh - Kuli

Kadet Ngopa-ngopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pelajaran Kedua, Tanpa Mantra

30 Mei 2022   12:42 Diperbarui: 30 Mei 2022   15:54 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seberkas sinar bulan menembus celah-celah daun jendela, menyinari sesosok bocah cilik dan Ki Kebomas yang terbaring di atas dipan bambu petung kecokelatan.

Bola matanya menatap langit-langit atap rumah. Sesekali ia gerakan badannya ke kiri terkadang berpindah ke kanan. Sungguh betapa bahagia hari ini ia mampu menguasai hati dan kesaktiannya menjadi satu. Ingin sekali ia menghabiskan sisa malam ini dengan menerbangkan dan menaruh gelas bambu di atas meja hingga berulang-ulang kali.

Sesaat, ketika pikirannya melayang dan melambung tinggi, terdengar suara lirih. "Banyak yang harus kita lakukan untuk esok hari, cucuku. Bergegaslah tidur." Ujar Ki Kebomas dengan mata terpejam.

Dewandaru mengangguk kecil dan tersenyum mendengar itu. Tak lama, tangan Ki Kebomas mengelus-elus lengan kiri Dewandaru yang berposisi miring menghadapnya. Sesaat bocah cilik itu terlelap tidur.

***

"Kriek-kriek." Bunyi dari kerekan sumur menyebabkan kedua mata Dewandaru terbuka dan terbangun dari tidurnya.

Dua gentong air terisi penuh dan masih menyisakan 1 gentong yang baru terisi separo. Ki Kebomas melanjutkan meniup bara api di tungku persegi panjang terbuat dari tanah liat. Menyiapkan sarapan pagi untuk cucu kesayangannya.

Dengan langkah kaki tergontai, ia menuju sumur. Sesaat alisnya naik memandangi 2 gentong air sudah terisi penuh. "Kakek," sapanya. "Yang ini aku isi penuh, ya?" Dengan suara parau. "Boleh." Jawab Ki Kebomas.

Tangan kirinya memegang tali karet dan tangan kananya mulai memegang timba. Sesaat terpikir olehnya, "Kenapa nggak pakai kesaktian saja." Gumam hatinya.

"Aha." Ujarnya pelan seraya memandang satu timba seng lagi yang tergelatak di dekat gentong air.

Bergegas ia menjemput dan kembali ke bibir sumur. Tangan kanannya memegang timba seng yang baru diambilnya, dengan mantap dan sekali tarikan napas, kemudian ia lepaskan. Timbas seng itu mulai melayang-layang tepat di tengah-tengah lubang sumur yang dalamnya hampir 4 meter.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun