Ketika gerimis berubah menjadi hujan, Randi menarik tangan Nadya. "Aku ingin kamu menemaniku minum kopi!" ajaknya. Randi  belum ingin berpisah.
Mereka menikmati secangkir kopi panas dan cake cokelat, sambil memandangi hujan yang turun dengan deras dari balik kaca kafe.
Nadya, teman bicara yang sangat menyenangkan. Dia bercerita tentang topik apa saja yang menarik minatnya.
"Kamu tahu, Bandung mengingatkanku pada novel Paris Van Java? Kamu pernah membacanya?" Randi menggeleng, dia tidak suka membaca novel.
"Suatu saat kamu harus membacanya."
"Kamu bisa menceritakannya padaku." Randi memajukan tubuhnya, meletakkan kedua tangannya di atas meja. Sikapnya seperti menunggu Nadya untuk bercerita. Dia suka mendengar suara Nadya, nada bicaranya yang seperti mengalun membuat Randi semakin betah berlama-lama di dekatnya.
"Mengapa bukan kamu saja yang membacanya lalu menceritakannya padaku. Supaya kita bisa bicara tentang novel itu," jawab Nadya. Randi tertawa pelan. Dia terpesona dengan perempuan ini.
Sepanjang malam mereka habiskan berdua, tanpa terasa waktu membawa mereka untuk berpisah.
"Aku akan mengabari kamu kalau sudah sampai di Jakarta," kata Nadya. Dia melambai, lalu pergi meninggalkan senyumnya yang paling indah di dalam ingatan Randi.Â
***
Randi melihat jam tangannya, mulai gelisah. Namun, dia bertahan. Mungkin ada sesuatu yang membuat Nadya terlambat. Berbagai  kemungkinan yang bisa dikarang oleh otaknya muncul silih berganti, hingga kepalanya terasa berat.