Randi menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskan perlahan. Malam ini Braga terasa sangat dingin hingga menusuk tulang. Angin bulan Desember bertiup kencang. Randi semakin merapatkan jaketnya. Sedari tadi dia sudah menahan hasrat untuk merokok, perempuan yang akan ditemuinya tidak suka kalau Randi merokok. Pertahanannya runtuh, diambilnya sebatang untuk mengusir udara dingin yang begitu menggigit.
Gerimis mulai turun, malam semakin dingin tetapi Randi tak ingin beranjak. Beberapa orang mulai berjalan cepat menghindari gerimis bahkan ada yang memilih berteduh. Randi menikmati tetesan air menerpa kulit wajahnya. Dia mematikan rokoknya yang tinggal separuh, lebih memilih mencium aroma tanah basah yang menyegarkan.
"Perempuan itu juga mencintai hujan," gumamnya. Dia berbicara pada diri sendiri ketika  mengingat perempuan dengan lesung pipinya yang manis. Perempuan yang ditemuinya enam bulan yang lalu.
Saat itu mereka berdua duduk di sini. Randi hanyut dalam lamunannya dan perempuan itu dengan musiknya. Ear phone tersemat di telinganya. Perempuan yang duduk di sampingnya ini menyapa ketika Randi akan menyalakan rokok. "Maaf, bisakah kamu tidak menyalakan rokok? Aku tidak sanggup menghirup asap rokok." Randi mengangguk, memasukkan kembali rokoknya.
"Terima kasih. Kenalkan namaku Nadya." Tangannya terulur, senyumnya terlihat indah.
"Randi," sahutnya dengan nada datar. Dia bukanlah laki-laki yang mudah bersikap ramah pada orang yang baru dikenal.
"Kamu suka Braga?" tanya Nadya. Matanya menatap Randi.
"Entah lah!" Randi menjawab sekenanya.
"Aku suka menikmati malam di Braga. Tempat ini memiliki banyak cerita. Kamu lihat lukisan di depan sana!" Nadya menunjuk lukisan yang berada di seberang jalan.
"Kenapa?"
"Lukisan Starry Night dan Monalisa berdiri berjarak. Seolah Monalisa sedang ikut menikmati malam dengan taburan bintang. Seperti Van Gogh yang melihat malam dari jendela kamarnya." Nadya tersenyum.
"Lihat orang-orang yang berlalu lalang itu. Ekspresi wajah mereka seperti bercerita. Aku suka mengamati mereka," katanya lagi.Â
Randi hanya menatap perempuan yang duduk di sampingnya ini. Dia tak pernah peduli dengan ekspresi wajah seseorang, dan tak peduli dengan lukisan yang di pajang di sepanjang jalan. Mengikuti perempuan itu membuat Randi mulai mengangkat wajahnya dan mengamati setiap orang yang lewat. Matanya ikut melihat lukisan-lukisan yang berdiri berjajar.
Sesaat mereka terdiam, Randi memusatkan perhatiannya pada lukisan penari yang seolah hidup dan bergerak menari bersama angin.
"Apa yang kamu lamun kan?" Pertanyaan Nadya memecah perhatiannya.
"Seseorang!" jawabnya singkat dan Randi merasa terkejut dia mau membagi rahasianya pada Nadya.
"Seseorang yang sangat berarti?"
Randi mengangguk, "Dua tahun yang lalu aku kehilangan dia. Di sini, di Braga."
"Kamu tahu rasanya berpisah tetapi sebenarnya tidak pernah menginginkan perpisahan itu terjadi?" kata Randi pelan, mirip sebuah bisikan. "Malam itu kami berdua terlalu sibuk menangis dan berusaha menghentikan waktu."
"Kamu masih mengingatnya?"
"Bagaimana mungkin aku tidak mengingatnya."
"Sekarang kamu terlalu sibuk berduka dan mengasihani dirimu sendiri." Nadya bicara dengan nada sinis.
"Dengarkan!" Nadya menyodorkan satu ear phone-nya pada Randi. Alunan musik klasik terdengar di telinganya. Randi tak paham dengan musik klasik.
"Farewell Waltz! Itu tentang kisah perpisahan, Chopin menciptakan lagu itu untuk tunangannya. Namun, hubungan mereka tidak disetujui oleh ayah tunangannya. Akhirnya mereka memilih untuk berpisah. Aku merasakan betapa sakitnya bila ketika mencintai seseorang tetapi harus memilih untuk pergi dan membiarkan cinta itu menjadi kesedihan. Apa kisahmu seperti itu?"
"Ya."
"Chopin membuat Farewell Waltz ketika patah hati, bahkan Kahlil Gibran mencipta sebuah puisi dan kamu hanya bisa meratapi kesedihanmu. Dua tahun, katamu!" Nadya tertawa pelan, seolah mengejek Randi.
Randi tertunduk, baru kali ini dia merasa begitu malu.
"Aku pernah kehilangan, seperti kamu. Namun, aku tak ingin berlama-lama meratapinya. Untuk apa?"
 Nadya tersenyum, matanya bersinar jenaka. "Kalau suatu saat kita bertemu lagi, aku ingin melihatmu tersenyum lebar."
Malam itu gerimis turun, Randi menarik tangan Nadya untuk berteduh di dalam kafe.
"Aku suka gerimis. Aku ingin duduk di sini. Kalau kamu mau berteduh, pergi lah!" Nadya mendorong pelan punggung Randi.
"Tidak! Aku akan di sini bersama kamu."
Mungkin malam kita akan semakin terasa dingin dengan gerimis yang luruh menemani tetapi asal bersama kamu semuanya akan baik-baik saja. Randi berkata dalam hati. Nadya seolah menariknya untuk tetap berada di sisinya.
Ketika gerimis berubah menjadi hujan, Randi menarik tangan Nadya. "Aku ingin kamu menemaniku minum kopi!" ajaknya. Randi  belum ingin berpisah.
Mereka menikmati secangkir kopi panas dan cake cokelat, sambil memandangi hujan yang turun dengan deras dari balik kaca kafe.
Nadya, teman bicara yang sangat menyenangkan. Dia bercerita tentang topik apa saja yang menarik minatnya.
"Kamu tahu, Bandung mengingatkanku pada novel Paris Van Java? Kamu pernah membacanya?" Randi menggeleng, dia tidak suka membaca novel.
"Suatu saat kamu harus membacanya."
"Kamu bisa menceritakannya padaku." Randi memajukan tubuhnya, meletakkan kedua tangannya di atas meja. Sikapnya seperti menunggu Nadya untuk bercerita. Dia suka mendengar suara Nadya, nada bicaranya yang seperti mengalun membuat Randi semakin betah berlama-lama di dekatnya.
"Mengapa bukan kamu saja yang membacanya lalu menceritakannya padaku. Supaya kita bisa bicara tentang novel itu," jawab Nadya. Randi tertawa pelan. Dia terpesona dengan perempuan ini.
Sepanjang malam mereka habiskan berdua, tanpa terasa waktu membawa mereka untuk berpisah.
"Aku akan mengabari kamu kalau sudah sampai di Jakarta," kata Nadya. Dia melambai, lalu pergi meninggalkan senyumnya yang paling indah di dalam ingatan Randi.Â
***
Randi melihat jam tangannya, mulai gelisah. Namun, dia bertahan. Mungkin ada sesuatu yang membuat Nadya terlambat. Berbagai  kemungkinan yang bisa dikarang oleh otaknya muncul silih berganti, hingga kepalanya terasa berat.
"Randi?" Seorang perempuan berdiri tepat di depannya. Bertanya dengan tatapan menyelidik.
"Ya." Keningnya berkerut samar, Randi tak mengenal perempuan itu.
Perempuan itu duduk di samping Randi, raut wajahnya terlihat sedih. "Nadya tidak bisa menemui kamu. Seharusnya kami datang berdua ke Bandung. Aku tahu dia akan menemui kamu. Dia sering menceritakan tentang kamu. Dua hari yang lalu Nadya kecelakaan. Sekarang dia terbaring koma di Jakarta. Aku tahu kamu pasti menunggunya di sini, aku datang untuk menyampaikan itu." Perempuan itu berdiri. Randi menahannya, "Dia di mana?" Suaranya terdengar lemah.
"Nanti aku akan mengabari kamu." Perempuan itu melepaskan tangan Randi lalu beranjak pergi.
Malam ini, bersama dengan gerimis Randi merindukan Nadya dengan senyumnya yang begitu indah. "Aku menunggumu... aku akan sabar menunggu kamu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H