"Lihat orang-orang yang berlalu lalang itu. Ekspresi wajah mereka seperti bercerita. Aku suka mengamati mereka," katanya lagi.Â
Randi hanya menatap perempuan yang duduk di sampingnya ini. Dia tak pernah peduli dengan ekspresi wajah seseorang, dan tak peduli dengan lukisan yang di pajang di sepanjang jalan. Mengikuti perempuan itu membuat Randi mulai mengangkat wajahnya dan mengamati setiap orang yang lewat. Matanya ikut melihat lukisan-lukisan yang berdiri berjajar.
Sesaat mereka terdiam, Randi memusatkan perhatiannya pada lukisan penari yang seolah hidup dan bergerak menari bersama angin.
"Apa yang kamu lamun kan?" Pertanyaan Nadya memecah perhatiannya.
"Seseorang!" jawabnya singkat dan Randi merasa terkejut dia mau membagi rahasianya pada Nadya.
"Seseorang yang sangat berarti?"
Randi mengangguk, "Dua tahun yang lalu aku kehilangan dia. Di sini, di Braga."
"Kamu tahu rasanya berpisah tetapi sebenarnya tidak pernah menginginkan perpisahan itu terjadi?" kata Randi pelan, mirip sebuah bisikan. "Malam itu kami berdua terlalu sibuk menangis dan berusaha menghentikan waktu."
"Kamu masih mengingatnya?"
"Bagaimana mungkin aku tidak mengingatnya."
"Sekarang kamu terlalu sibuk berduka dan mengasihani dirimu sendiri." Nadya bicara dengan nada sinis.