Mohon tunggu...
Hennie Triana Oberst
Hennie Triana Oberst Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penyuka traveling dan budaya

Kompasianer Jerman || Best in Citizen Journalism Kompasiana Awards 2023

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepotong Hati yang Tertinggal di Den Haag

13 Maret 2022   03:15 Diperbarui: 13 Maret 2022   17:07 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sepotong hati yang tertinggal di Den Haag | foto: pixabay/RobVanDerMeijden—

Kurapatkan syal di leherku. Sebetulnya aku tidak suka memakai aksesori ini. Ya, terpaksa aku pakai. Bukan ingin tampil lebih cantik dengan kain berbahan campuran wol warna merah marun ini, tapi suhu udara musim dingin yang basah memaksaku melakukannya.

Aku berjalan kembali ke pelataran parkir di seberang penginapan, kameraku tertinggal di mobil. Aku mampir dan memutuskan untuk menginap semalam di kota ini. Hotel ini kupilih karena lokasinya tidak jauh dari pusat kota dan memiliki tempat parkir yang lumayan luas.

Besok aku akan jalan-jalan santai sambil menikmati keindahan kota, sebelum melanjutkan perjalanan ke kota lain. Den Haag pasti terlihat semakin cantik dengan warna-warni dedaunan musim gugur. Ini kali kedua aku mengunjungi kota indah tempat tinggal keluarga kerajaan Belanda.

"Jangan lupa mampir ke sini ya kalau main ke Den Haag." Tante Silvia berpesan waktu kami mengunjunginya beberapa tahun lalu.

Itu pertemuanku pertama sekali dengan putri sepupu kakekku dari pihak ayah. Tante Silvia dulu kuliah di Belanda, kemudian menikah dengan warga setempat dan menetap di perbatasan kota Den Haag.

Ingat pesan beliau, rasanya nggak enak juga jika aku tidak mampir. Aku bisa singgah besok dalam perjalanan menuju kota selanjutnya. Tidak perlu menginap karena aku datang sendirian. Lagi pula aku sering merasa tidak nyaman saat menginap di rumah orang yang tidak terlalu dekat denganku.

Perjalananku kali ini untuk bersantai sepuas-puasnya sebelum memulai kerja di tempat baru bulan depan. Pokoknya, hal-hal yang mungkin menimbulkan rasa tidak enak harus aku hindari. Itulah kenapa aku pilih liburan sendiri ke beberapa kota di negara tetangga. Santai tanpa jadwal yang harus aku kejar. 

Agaknya langit Belanda seharian ini lebih suka berwarna kelabu. Hari menjadi cepat gelap. Angin dingin menerpa wajahku cukup keras, dingin sekali. Daun-daun beterbangan lalu jatuh berserakan menutupi pelataran parkir. Sepi sekali suasana di sini. Kupercepat langkahku meninggalkan parkiran.

"Hey, excuse me."

Tiba-tiba ada suara seorang pria di belakangku. Padahal tadi tidak ada orang yang memasuki pelataran parkir. Kuhentikan langkah dan menoleh ke belakang. 

"Hello. Aku rasa ini milikmu yang jatuh." Seorang pria bergegas menghampiriku dan menyodorkan kartu putih dengan logo hotel tempatku menginap.

Refleks kurogoh saku mantelku. Kartu kamarku masih ada ada di dalamnya. "Oh, itu bukan punyaku," ucapku sambil menunjukkan kartu yang kuambil dari saku mantel. 

"Pasti seseorang telah kehilangan kartunya. Well, lebih baik aku serahkan saja ke resepsionis hotel." Pria itu berkata dengan suara pelan.

"Sepertinya kita menginap di hotel yang sama ya." Pria itu berucap dan berjalan menjajari langkahku. 

"Sepertinya begitu," ujarku menoleh. Kami berdiri di trotoar sambil menunggu lampu penyeberang jalan berwarna hijau. Ah, mata birunya ikut tersenyum bersama senyum tipis dari bibirnya.

"Olivier." 

"Oh, hmm. Aku, Fiona," ujarku sambil menyambut uluran tangannya.

"Nice to meet you, Fiona." Olivier menggenggam tanganku agak lama. Sepertinya dia tau aku terlihat gugup. Dia tersenyum menatapku, dengan mata birunya yang lagi-lagi ikut tersenyum.

Apa dia melihat wajahku memerah? Ah, ini kelemahanku. Orang bisa cepat membaca perubahan wajahku.

"Sebentar, aku kembalikan kartu ini." Olivier bergegas menuju meja resepsionis. Sekejap kemudian dia kembali berdiri di depanku.

"Sebetulnya aku ingin mengajakmu makan malam, tapi aku harus pergi makan bersama kolega. Bagaimana kalau besok pagi kita ketemu saat sarapan saja?" Olivier menatapku. Matanya memohon jawabanku.

"Lebih baik begitu. Tadi siang, aku makan agak terlambat dan sekarang ingin tidur." Ucapanku membuat Olivier tertawa. 

Sebetulnya perutku saat ini tidak menentu, kembung dan perih. Mungkin makan siang terlambat membuat perutku tidak nyaman. Selain itu, hari ini aku merasa capek sekali. Bisa jadi hawa dingin mempengaruhi dan terjebak macet selama satu jam di perjalan menuju kota ini.

"Fiona, boleh aku tau nomor ponselmu?" 

Kusebutkan nomorku. Olivier memasukkan nomorku. 

Ponselku berdering. Kuambil ponselku dari dalam tas.

"Itu nomorku. Tolong disimpan ya." Olivier berkata jenaka, tetapi terdengar sungguh-sungguh penuh harap.

"Italia?" Tanyaku pada Olivier setelah kulihat kode negara yang tertera di ponselku.

"Yes. Aku akan ceritakan besok." Jawabnya.

Aku hanya mengangguk menanggapi ucapannya, kemudian pamit menuju lift di seberang kami berdiri. "Have fun. See you tomorrow," ujarku.

"Thanks. Good night."

* * *

Sapuan hangat sinar matahari dari balik gorden membangunkanku. Kuraih ponsel di meja samping tempat tidur. Pukul 8 lewat 15 menit. Ya, Tuhan! Aku tidur terlalu lama, setelah terbangun beberapa kali tengah malam hingga dinihari tadi.

Aku melompat dari tempat tidur dan berlari ke kamar mandi. Bukankah aku berjanji akan sarapan bareng dengan Olivier. Pria bermata biru yang aku kenal kemarin petang. Kemarin, kami tidak mengatakan jam berapa akan bertemu, tetapi waktu sarapan di hotel biasanya pada pukul 7 sampai 10. Bergegas kukenakan palazzo hijau tua dan sweatshirt warna coklat. 

Eh, tunggu dulu. Sepertinya ada pesan yang masuk di ponselku. Ada beberapa pesan, tetapi ada pesan dari nomor tidak dikenal. Ah, nomor telepon Olivier belum tersimpan.

"Good morning, Fiona. Maaf, aku tidak bisa sarapan bareng kamu hari ini. Ada tugas yang mendadak muncul. Aku berangkat sekarang tanpa sarapan. Hope to see you soon."

Tertera pukul 5.30 pesannya terkirim.

Duh, lemas rasanya badanku yang tadi segar setelah guyuran air hangat di kamar mandi.

 Kulangkahkan kaki tanpa semangat, memasuki restoran hotel yang mulai lengang. Ada beberapa meja yang terisi tamu hotel, sebagian lagi sedang dibersihkan dan ditata kembali oleh karyawan hotel. Aku memilih meja di pojok dekat dinding kaca lebar yang mengarah ke pelataran parkir.

Kunikmati pelan-pelan roti dengan taburan coklat dan secangkir cappuccino. Di jalanan terlihat hanya satu dua kendaraan yang melintas. Pagi ini terasa sepi sekali.

Hennie Triana Oberst - DE, 12.03.2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun