Mohon tunggu...
Heni Susilawati
Heni Susilawati Mohon Tunggu... Dosen - life with legacy

senang menulis tentang politik, demokrasi dan pemilu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Santriwati dan Kepedulian terhadap Masa Depan Perempuan

22 November 2020   12:25 Diperbarui: 22 November 2020   17:55 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Santriwati Pontren Modern Al Ikhlas Ciawigebang| Dokumentasi pribadi

Perspektif Gender itu diperlukan

Pondok pesantren memiliki peranan yang sangat penting dalam sejarah perjalanan bangsa kita, Indonesia. Peranannya tidak hanya dikenal ketika masa merebut kemerdekaan, tetapi juga hingga era saat ini dalam rangka mengisi kemerdekaan.

Sebagai lembaga pendidikan yang muatan materi pengajarannya didominasi oleh ilmu agama, hingga saat ini masih menjadi pilihan warga untuk mengirimkan anak-anak mereka ke berbagai pondok pesantren baik yang berciri khas pontren salaf maupun modern. 

Pada banyak pontren, santri merupakan santri mukim yaitu mereka yang menempuh pendidikan dan mondok di lingkungan pesantren. Ada juga yang berstatus sebagai santri kalong yang merupakan santri dari desa sekitar pontren tetapi tidak mondok. 

Dominannya ilmu agama yang diajarkan di lingkungan pontren tentu saja sangat memengaruhi cara berpikir terhadap satu dan banyak persoalan. Satu diantaranya yakni seputar isu gender. 

Kompasiana pernah memuat tulisan tentang Gender dalam perspektif Islam yang diuraikan oleh Sekolah Demokrasi Kabupaten Pasuruan, tertanggal 9 Desember 2014. Artikel itu cukup memberikan pencerahan tentang isu gender dalam Islam. 

Status, kedudukan, dan peran perempuan dalam perspektif agama Islam sangat dihormati. Ajaran yang bersumber dari Al Quran dan hadits memang tidak boleh dipahami secara parsial dan dangkal, semua harus ditelusuri terlebih dahulu baik asbabun nuzul-nya maupun asbabul wurud-nya. Sebab atau latar belakang turunnya ayat Al Quran dan hadits harus dipahami secara utuh. 

Pemahaman yang parsial berpotensi melahirkan cara pandang yang keliru, terlebih jika sudah bercampur dengan nilai dan norma yang berkembang di masyarakat yang beragam dari segi latar belakang budaya di seluruh dunia.

Sebagai rahmatan lil 'alamin, Islam hadir dan memberikan penghormatan terhadap kaum hawa. Cara pandang yang keliru terhadap kedudukan, status, dan peran perempuan jika berkembang dalam budaya patriarki yang dominan memiliki potensi lahirnya beragam ketimpangan gender yang menimpa kaum perempuan. 

Oleh karena itu, lingkungan pondok pesantren dapat berkontribusi bagi terbentuknya pemahaman yang tepat mengenai perspektif gender. 

Beragam kesenjangan gender itu bisa terjadi karena produk pendidikan serta muatan kurikulum yang tidak komprehensif mengupas seputar gender. Akibatnya tentu banyak, kita bisa mengukur dari berbagai aspek kehidupan perempuan dalam banyak sektor kehidupan mulai dari kesempatan dan kesetaraaan dalam kegiatan ekonomi, akses pendidikan, kesehatan, serta akses terhadap sumber daya politik. 

Sampai di bagian ini, rasanya sudah cukup jelas, alasan mengapa edukasi tentang gender perlu diperkenalkan secara luas di lingkungan pondok pesantren. Fokus awal bisa ke edukasi santri perempuan, santriwati. 

Paham tentang gender artinya membuka cakrawala berpikir yang baru dan komprehensitf tentang status, kedudukan, dan peran perempuan. Santriwati paham gender, artinya santriwati punya kepedulian terhadap masa depan perempuan secara umum.

Gender Vs Kodrat

Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perindungan Anak Republik Indonesia menyebutkan diksi gender dapat dimaknai sebagai perbedaan-perbedaan peran, status, tanggung jawab, dan fungsi perilaku laki-laki dan perempuan yang merupakan konstruksi (rekayasa) sosial. 

Gender bukan didasarkan pada perbedaan biologis. Sejak kecil kita hidup dalam lingkungan sosial mulai dari yang paling kecil adalah lingkungan keluarga. Dan kita pun hidup dalam lingkungan budaya yang memiliki standar tidak tertulis tentang norma dan nilai serta cara pandang terhadap perempuan. Misalnya pekerjaan membersihkan rumah, memasak, mencuci pakaian, dan sejumlah pekerjaan lainnya dipandang sebagai tugas anak perempuan (istri jika sudah berkeluarga). 

Cara pandang itu tertanam kuat sejak kecil hingga terbawa dewasa. Seakan tugas perempuan itu seputar dapur, sumur, dan kasur. Itu pemeo yang berkembang di masyarakat. 

Nah jika kita bicara gender, maka tepatlah contoh-contoh yang barusan saya sebutkan. Padahal peran, tanggung jawab dan perilaku itu bisa juga dilakukan oleh kaum Adam. 

Kita lihat saja bagaimana profesi yang identik dengan tugas-tugas domestik perempuan justru diisi oleh kaum Adam. Mulai dari profesi pramusaji, petugas hotel, cleaning service, dan beragam pofesi lainnya. 

Kata kodrat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kekuasaan Tuhan. Makna tersebut jika dilekatkan dengan jenis kelamin, maka dapat diartikan sebagai kekuasaan Tuhan yang tidak bisa kita tentang sebagai makhluk hidup. 

Kodrat perempuan secara biologis yaitu menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Sementara kodrat laki-laki sering diberi contoh secara biologis memiliki sel sperma. 

Kondisi biologis itu tak mungkin ditentang oleh kita, sebagai makhluk hidup. Siklus kehidupan perempuan pasti mengalami masa menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Kodrat seperti itu tak mungkin dialami oleh kaum laki-laki. Demikian pula, secara biologis sel sperma itu milik kaum laki-laki; dan tak mungkin ada pada perempuan. 

Dalam kehidupan masyarakat, sering kali terdapat cara pandang yang keliru dalam hal penyebutan kodrat terhadap tugas-tugas domestik rumah tangga. Tugas mencuci, memasak, membersihkan rumah, dan pekerjaan rumah tangga lainnya sering dipandang sebagai kodrat perempuan. 

Jika ada anak perempuan (baca: istri jika sudah menikah) tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut dianggap melawan kodrat, dipandang tidak patuh dan stigma negatif lainnya. 

Cara pandang yang keliru, ketidakpahaman masyarakat tentang perbedaan gender dan kodrat itu berdampak banyak pada kehidupan perempuan mulai dari ranah domestik hingga menyentuh area publik. 

Perempuan menghadapi problem beban ganda, sejak bangun tidur hingga larut malam banyak sekali tugas-tugas domestik yang "harus" diselesaikan oleh perempuan. Beban fisik dan psikis menyertai kehidupan perempuan terlebih jika kaum perempuan juga bergerak dalam sektor usaha dan bekerja sebagai karyawan di instansi pemerintah ataupun swasta. 

Energi yang dimiliki perempuan harus ekstra dibagi untuk urusan domestik dan pekerjaan. Benar-benar perempuan menghadapi masalah beban ganda yang tentu saja tidak setara dengan kaum laki-laki. 

Selain problem beban ganda, perspektif bias gender juga berdampak pada kesetaraan memperoleh akses pendidikan, fasilitas kesehatan, kesempatan bekerja/berkarir dan mengembangkan usaha. Dan pada lingkup dunia politik, perspektif bias gender itu berdampak pada kuantitas perempuan yang mengisi jabatan publik di berbagai instansi pemerintahan.

Potret Perempuan Indonesia Hari Ini

Secara global, menurut laporan World Economic Forum tahun 2020 Indeks Kesenjangan Gender yang dihitung berdasarkan jumlah penduduk mencapai 68,6%. Itu artinya, masyarakat global memiliki tanggung jawab bersama untuk menuntaskan kesenjangan gender sebesar 31,4%.

Global Gender Gap Index mengukur kesenjangan gender mengacu pada empat parameter: kesempatan dan partisipasi ekonomi, kesehatan dan survival, perolehan pendidikan dan pemberdayaan politik. 

Indonesia menurut laporan WEF tersebut, berada di peringkat ke-85 dari 153 negara dengan skor 0.70. Jika dibandingkan dengan empat negeri jiran, posisi kita masih cukup memprihatinkan. Sebut saja Filipina berada di urutan ke-16, Laos 43, Singapura 54 dan Thailand 75. Namun demikian, posisi negara kita lebih baik dibandingkan Vietnam (87), Bruneai DArussalam (95), Malaysia (104), Myanmar (114), dan Timor Leste (114). 

Berdasarkan variabel yang diukur, negara kita masih menghadapi kesenjangan di aspek partisipasi dan kesempatan ekonomi sebesar 58% lalu urutan berikutnya yakni soal pemberdayaan politik yang mencapai skor 25%. Laporan WEF tersebut menunjukan untuk variabel kesehatan mencapai skor 96% dan memperoleh pendidikan 97%. 

Sementara itu pada tingkat nasional, kita bisa melihat bagaimana indeks pembangunan manusia (IPM) yang diukur melalui tiga parameter yaitu kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. 

IPM mengukur kualitas hidup manusia baik untuk laki-laki dan perempuan. Menurut BPS, IPM kita berada di posisi 90,99% (2018). Data BPS untuk Indeks Pemberdayaan Gender di tahun 2018 menunjukan angka sebesar 71,74%. 

Jika IPM ukurannya berlaku baik untuk laki-laki dan perempuan. Maka Indeks Pemberdayaan Gender mengukur tiga aspek penting yaitu keterwakilan di parlemen, pengambilan keputusan, dan distribusi pendapatan. 

Melalui Indeks Pemberdayaan Gender, kaum perempuan di Indonesia masih menghadapi sejumlah kedala; meskipun secara kuantitas potret IPM itu cukup ideal, tetapi tidak halnya dengan Indeks Pemberdayaan Gender.

Tantangan Kedepan

Bercermin pada Laporan World Economic Forum, kondisi partisipasi dan kesempatan ekonomi kaum perempuan harus jadi agenda politik pemerintahan pada berbagai level. Lihat saja posisi negara kita berada di skor 58%. Varibel kesempatan dan partisipasi ekonomi serta pemberdayaan politik (25%). 

Perlu upaya khusus dan sistematis untuk memberikan kesempatan yang setara bagi perempuan dalam sektor ekonomi. Mengutip Kata Data, PDB kita diperkirakan pada tahun 2025 mencapai $135 miliar, itupun jika perempuan diberikan kesempatan yang setara untuk berkegiatan ekonomi. 

Masih merujuk pada Kata Data, perempuan menghadapi jalan terjal untuk menjadi pengusaha. Perempuan di Indonesia sebanyak 60% terpaksa jadi pengusaha, bukan karena berangkat dari motivasi. 

Sejumlah kendala dihadapi perempuan antara lain: tidak ada dukungan dari keluarga atau suami, sulit dapat izin usaha, beratnya kompetisi pasar, sulitnya mendapat karyawan, sulit mengatur waktu antara rumah tangga dan bisnis, bahan mentah sulit didapat, akses permodalan terbatas baik dari bank maupun institusi keuangan. 

Hambatan lainnya masih merujuk Kata Data yakni pendidikan rendah, kurang pelatihan, tanggung jawab rumah tangga dan norma agama, kultural, tradisi, dan hukum.

Kata Data juga menyebutkan sejumlah penyebab kesenjangan gender dalam dunia kerja. Apa saja? 

Tingkat pendidikan, pengalaman kerja, diskriminasi di bidang kerja tertentu, stigma bahwa perempuan tidak lebih produktif, budaya patriarki, tuntutan mengasuh anak dan mengurus keluarga, pola asuh terhadap anak perempuan, ekspektasi sosial untuk masuk/tidak masuk dalam dunia kerja.

Perempuan yang Paham Kepentingan Perempuan

Bercermin pada data hasil pemilu sejak tahun 1955 sampai dengan 2019, jumlah perempuan di legislatif masih masih lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki. Anggota DPR RI hasil Pemilu 2019 mencapai 117 orang (21%) dan laki-laki 458 orang. Jika dibandingkan dengan hasil pemilu sebelumnya memang ada kenaikan dari 101 orang menjadi 117 orang. 

Secara kuota, angka 30 persen itu masih butuh perjuangan panjang. Tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di hasil pemilu Anggota DPRD Kabupaten Kuningan, saat ini hanya ada 11 orang dari total 50 anggota DPRD. 

Jumlah anggota parlemen yang berasal dari kaum perempuan itu sangat penting, semakin banyak yang bisa hadir di ruang legislatif maka semakin baik. Demikian halnya untuk ruang eksekutif. Namun sayangnya, sekali lagi. Kita masih harus terus berjuang untuk melihat bagaimana representasi poltik perempuan itu terwujud. 

Ke depan tentu fokus kita bukan soal berapa persen yang terpilih dari kalangan perempuan, namun lebih jauh dari itu bagaimana kehadiran perempuan di legislatif dan eksekutif mampu membawa perubahan bagi kaumnya. 

Hakikatnya ketika perempuan terpilih, mereka lebih paham apa yang dibutuhkan kaumnya. Dan ketika perempuan mampu menjadi bagian dari penggerak perubahan untuk kaumnya; itu semakna kaum perempuan mampu merubah wajah dunia secara umum. 

Agregasi dan pemenuhan kepentingan perempuan akan membuat dunia lebih ramah terhadap perempuan dan anak. Itu sangat esensi bagi kehidupan yang lebih baik yang juga dampaknya akan dirasakan oleh kaum laki-laki.

Narasi kepedulian terhadap kaum perempuan setidaknya telah dimulai dari Pondok Pesantren Modern Putri Al Ikhlas. Edukasi tentang perspektif gender dengan segala pencerahan atas kondisi yang dihadapi perempuan kemarin dan hari ini, menjadi awal meletakan kepedulian terhadap kepentingan kaum perempuan di masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun