Mohon tunggu...
Hendy Adinata
Hendy Adinata Mohon Tunggu... Freelancer - Sukanya makan sea food

Badai memang menyukai negeri di mana orang menabur angin | Email: hendychewadinata@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Orang-orang Tua yang Menyesal

4 September 2018   15:26 Diperbarui: 4 September 2018   16:37 912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku juga mau pakai Jas seperti Abang, ganteng dan seperti bos-bos," ucap Udin kepada seorang yang sedang mencoba Jas di hadapannya.

Sambil bercermin dan cengar-cengir Ahmad menjawab "Iya, hahaha."

"Tahu dak dek, Abang demi beli Jas ini nabung sampai 4 bulan loh. Jerih lelah Abang beli Jas ini kesampaian juga, yah meskipun ini Jas biasa."

"Oh Jas bagus ini masih yang biasa ya bang?" Udin melongo "Adek kira ini udah yang mahal. Terus yang mahal itu yang kayak gimana bang? Kalau adek pakai Jas biasa yang seperti Abang pun adek udah ganteng sekali." Tanya sang adik ikut tertawa.

"Iya dek. Oom yang punya mobil di depan itu," sambil mengacungkan telunjuknya pada sebuah mobil.

"Yang mana bang? Kan banyak mobil di depan," Udin menatapi satu persatu sejumlah mobil yang ada di seberangnya.

"Itu, yang sedan hitam."

"Oh itu, iya bang adek udah lihat. Bagus ya mobilnya."

Bukan hal yang luar biasa bagi kedua kakak beradik ini untuk melihat hal-hal mewah setiap harinya. Hampir setiap hari mereka melihat kendaraan roda empat terparkir di hadapannya, mulai dari yang berharga miliaran dan  sampai yang murah (katanya), dari yang utuh dan mengkilap sampai yang ringsek dan karatan dan beragam macam penumpang kendaraan itu sudah disaksikan mereka berdua. Termasuk orang-orang yang baik hati dan mereka yang sombong.

"Oom yang punya mobil itu Jasnya mahal, mereknya Soslo. Yang Abang dengar sih harganya puluhan juta. Ngeri kan..." Ahmad seperti sedang memberi kuliah kepada adik kecilnya.

"Yang benar bang?" Udin kaget, "Banyak duit ya Oom itu." Ucap Udin polos.

"Iya dek benar, Jasnya ndak hanya satu loh, ada beberapa. Mobil Oom itu juga masih ada beberapa, kemarin dia pakai yang warna putih. Minggu lalu Pakai yang merah." Ahmad menerangkan dengan logat medhoknya.

"...."

"Kamu kenapa diam dek?"

"Kapan ya bang kita punya apa yang Oom itu punya?" Udin tertunduk mengingat teman-temannya di sekolah yang sudah bawa hp. Sering Udin tidak ditemani lantaran dirinya yang tidak punya hp. Peralatan sekolah pun seadanya.

"Ndak tahulah dek-dek, Abang aja sehari ndak sampai seratus rebu, buat makan sama kebutuhan kita sehari-hari hanya bisa nabung dikit. Jas ini Abang beli sama teman Abang, dia jual murah sama Abang. Abang lihat bagus dan kepingin toh punya satu yang begini."

"Adek mau belajar pintar-pintar bang, biar nanti bisa kerja dan cari duit yang banyak."

"Iya dek, kamu harus sukses. Biar Abang seperti ini tapi adek Abang sukses ke depannya."

Kedua kakak beradik ini pun teduh sekali. Mimpi-mimpi dan pengharapan akan hari depan yang baik selalu menghiasi datang apabila kesulitan tak sengaja melamun.

Sambil menaruh Jas yang tadi dipakai ke dalam kantong kresek hitam. Ahmad mengambil botol minum dan memberikan pada adik kecilnya.

"Nih minum dulu, habis ini kamu kerjakan PR. Abang masih banyak kerjaan." Sambil berjalan ke arah datangnya mobil baru.

Udin kecil melihat Abangnya meniup peluit, dengan satu tangannya mengisyaratkan untuk maju kepada mobil yang datang untuk diparkirkan. Setiap hari seperti itu. 

Ahmad yang hanya lulus SD terpaksa harus cuti untuk bekerja menjadi tukang parkir untuk menghidupi dirinya dan adik. Ayah dan ibunya telah meninggal 2 tahun lalu. 

Kini Udin sudah masuk SD, Ahmad juga masih ada rencana untuk melanjutkan sekolahnya setelah ada program pemerintah yang memberikan sekolah gratis, ya mungkin secepatnya Ahmad akan bersekolah lagi dengan mencari pekerjaan yang lain sebagai ganti kerjanya yang sekarang. Ahmad ingin menjadi seorang Pilot.

Selang beberapa mobil pergi, tampak seorang bapak berpakaian rapi sekali berjalan menuju blok parkiran di depan Udin. Udin yang melihat bapak itu singgah tepat di mobil sedan hitam yang sempat ditunjuk oleh abangnya tadi kemudian menatap lekat-lekat bapak itu.

Rupanya sudah tua, wajah dan kulitnya keriput, kepalanya pun botak dan sisa-sisa rambut yang lain putih semua. Rupanya tua dan ringsek tapi mobilnya baru, mengkilap dan bagus sekali dipandang dari segala sisi. 

Bapak itu berdehem sambil berjalan seperti orang yang menderita sakit keras dan kesehatannya sudah rusak, tapi kondisi mesin mobilnya bagus dan bunyinya halus. Wangi parfum bapak itu tercium sampai ke hidung Udin, harum sekali. Tapi sekali lagi bapak itu seperti kata orang 'sudah bau tanah'.

Dibandingkan dengan abangnya yang masih muda, bahan Jasnya kasar sekali tapi kulit wajah abangnya lembut dan menarik karena ganteng, sedangkan bapak-bapak tua itu wajahnya kasar dan jelek, tidak menarik sama sekali tapi Jasnya bagus dan kainnya licin sekali. Kok terbalik ya? Begitulah benak si anak SD memikirkan perbedaan yang sangat kontras antar keduanya. Sangat tidak cocok.

Melihat seorang anak kecil yang terus menatapinya, bapak tua ini kemudian meraba-raba bibirnya yang kering, sambil merogoh sesuatu dalam koceknya mengeluarkan tangannya bersama sebuah hp, bapak itu menelepon seseorang.

Ahmad yang sehabis memandu mobil-mobil untuk keluar dari parkiran lekas berjalan menuju pak tua yang disebutnya sebagai Oom tadi. Singkat saja pak tua itu menelepon, mungkin hanya untuk memberitahukan sesuatu. Melihat Ahmad datang, pak tua itu sudah selesai menelepon dan memasukkan hp nya kembali dalam kocek.

"Hallo mad, apa kabarnya kamu?" Pak tua itu tersenyum. Setidaknya ketika senyum dia bertambah ganteng sedikit.

"Baik om Butar." Ahmad menyalami tangan pak tua itu seperti murid menyalami gurunya disekolah.

"Siapamukah itu mad? Dari tadi terus dia tatapi aku."

Sambil menoleh "Adek itu om."

"Ndak sekolah kah dia?"

"Sekolah om, kelas 1 SD."

Pak tua yang dipanggil om Butar oleh Ahmad itu merogoh koceknya yang lain dan memberikan sebuah amplop putih kepada Ahmad.

"Ini untukmu Mad, jangan ditolak." Menangkap tangan Ahmad dan memberikan amplop itu.

"Apa ini om?" Suara Ahmad bergetar.

"Untuk jajan kalian berdua. Hanya om mau pesan satu hal"

"Jadi tidak enak om, mau pesan apa om?"

"Keadaanmu dan keadaan om itu mirip-mirip, dulu... om kerja keras juga, orang tua miskin ndak mampu sekolahkan om. Jadi om harus kerja dan tidak sempat selesaikan SD. Berat sekali perjuangan om waktu itu, ikut orang sana sini, kerja cape hasil nihil, tapi untungnya om bisa menakjubkan  sekolah sampai SMA berkat salah  satu orang dan bisa  kuliah. Sekarang kamu lihat, apa pun om sudah punya. Anak-anak om juga semua udah sukses-sukses."

"Iya om, intinya berusaha ya om, rezeki insyaallah Tuhan yang atur"

"Benar Mad, yang om imani juga begitu. Kamu masih muda, kesempatan masih banyak, apalagi badanmu masih sehat. Jadi jangan nyerah sama keadaan."

"Baik om." Ahmad menunduk mendengarkan wejangan seorang tua di depannya. Ya, sudah dua tahunan Ahmad tidak banyak mendengar wejangan yang sebegitu berpengaruhnya ini.

"Om mau sekolahkan kalian berdua, dan kamu tidak perlu lagi jaga parkiran. Kebutuhan bulanan nanti om bisa cukupkan. Kamu jalani dengan baik, sekolah yang benar. Jangan menjadi seperti om yang hanya membalas dendam. Dari kecil tidak punya apa-apa setelah ada duit apapun mau dimiliki biar tidak kalah gengsi. Om orang yang pintar tapi tidak bijaksana, om menukarkan nilai yang paling tinggi untuk suatu hal yang tidak bernilai. kita manusia selalu mengejar nilai yang tertinggi. Udah dapat sepeda mau motor, udah motor mau mobil, begitu terus dan begitu pun untuk hal-hal yang lain. Udah punya satu pabrik, mau pabrik lain. Semua orang mau nilai yang terbaik,  dan perkembangan. Ndak ada orang yang  mau tiap tahun semakin miskin, tiap orang mau tiap tahun makin kaya, makin sehat. Tapi Om mau kasi tahu kamu, yang kita harapkan itu hanya nilai-nilai yang fana."

Ahmad tampak tidak pusing dengan setiap kalimat yang dikeluarkan  dari mulut pak tua ini.

"Jas dan mobil ini nilai yang rendah. Om mau kamu mencari nilai yang tertinggi dari semua nilai yang ada di dunia dan itu kekal. Nilai paling tinggi itu Tuhan sendiri karena tidak ada yang lebih tinggi dari Dia, tidak ada yang lebih berharga dari Dia, tidak ada yang lebih mulia dan lebih agung."

"Kamu pun heran kenapa orang-orang tua yang udah bau tanah, keriput dan jelek begini tapi yang dipakai dia itu barang-barang bagus dan kamu yang muda dan ganteng kok yang kamu pakai itu barang jelek. Tidak cocok kan? Maka om tidak meremehkan kamu. Karena kamu punya potensi untuk punya benda-benda ini. Banyak orang pikir dia akan dihargai kalau punya sesuatu yang nilainya tinggi. Tapi yang mereka cari itu nilainya rendah, dan berlawanan dengan  fisik. Om kasi tahu, jangan jadi anak muda yang menukarkan seluruh potensinya untuk  sampah. Kamu dapatkan semua yang seperti om punya, waktumu udah tinggal dikit. Karena sepanjang hidupmu hanya mengejar ini. Ironis, memiliki semua harta benda di dunia tapi kesehatan udah rusak, waktu hampir habis karena tersita oleh pikiran untuk mendapatkan sampah-sampah ini. Om adalah orang pintar yang menyedihkan, sebentar lagi mati dan apa yang dilakukan hanyalah menjaring angin. Tidak satupun dibawa mati. Dan banyak orang seperti om."

Ahmad terdiam merenungi perkataan om Butar. Apakah hidup harus memiliki seisi dunia? Padahal sesuatu yang lebih dari itu semua adalah Tuhan. Apakah arti hidup? Hidup itu harus apa? Kenapa tidak mencari Tuhan dan menikmati-Nya saja? Andai adiknya bisa mendengar sendiri apa yang telah ia dengar. Adiknya mungkin akan menjadi om Butar kedua yang hanya akan menukar hidupnya dengan benda-benda konyol yang tidak sebegitu berharganya.

Pengertian Ahmad digubahkan menjadi baru, tetapi sedih hatinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun