Mohon tunggu...
Hendy Adinata
Hendy Adinata Mohon Tunggu... Freelancer - Sukanya makan sea food

Badai memang menyukai negeri di mana orang menabur angin | Email: hendychewadinata@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Orang-orang Tua yang Menyesal

4 September 2018   15:26 Diperbarui: 4 September 2018   16:37 912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Baik om." Ahmad menunduk mendengarkan wejangan seorang tua di depannya. Ya, sudah dua tahunan Ahmad tidak banyak mendengar wejangan yang sebegitu berpengaruhnya ini.

"Om mau sekolahkan kalian berdua, dan kamu tidak perlu lagi jaga parkiran. Kebutuhan bulanan nanti om bisa cukupkan. Kamu jalani dengan baik, sekolah yang benar. Jangan menjadi seperti om yang hanya membalas dendam. Dari kecil tidak punya apa-apa setelah ada duit apapun mau dimiliki biar tidak kalah gengsi. Om orang yang pintar tapi tidak bijaksana, om menukarkan nilai yang paling tinggi untuk suatu hal yang tidak bernilai. kita manusia selalu mengejar nilai yang tertinggi. Udah dapat sepeda mau motor, udah motor mau mobil, begitu terus dan begitu pun untuk hal-hal yang lain. Udah punya satu pabrik, mau pabrik lain. Semua orang mau nilai yang terbaik,  dan perkembangan. Ndak ada orang yang  mau tiap tahun semakin miskin, tiap orang mau tiap tahun makin kaya, makin sehat. Tapi Om mau kasi tahu kamu, yang kita harapkan itu hanya nilai-nilai yang fana."

Ahmad tampak tidak pusing dengan setiap kalimat yang dikeluarkan  dari mulut pak tua ini.

"Jas dan mobil ini nilai yang rendah. Om mau kamu mencari nilai yang tertinggi dari semua nilai yang ada di dunia dan itu kekal. Nilai paling tinggi itu Tuhan sendiri karena tidak ada yang lebih tinggi dari Dia, tidak ada yang lebih berharga dari Dia, tidak ada yang lebih mulia dan lebih agung."

"Kamu pun heran kenapa orang-orang tua yang udah bau tanah, keriput dan jelek begini tapi yang dipakai dia itu barang-barang bagus dan kamu yang muda dan ganteng kok yang kamu pakai itu barang jelek. Tidak cocok kan? Maka om tidak meremehkan kamu. Karena kamu punya potensi untuk punya benda-benda ini. Banyak orang pikir dia akan dihargai kalau punya sesuatu yang nilainya tinggi. Tapi yang mereka cari itu nilainya rendah, dan berlawanan dengan  fisik. Om kasi tahu, jangan jadi anak muda yang menukarkan seluruh potensinya untuk  sampah. Kamu dapatkan semua yang seperti om punya, waktumu udah tinggal dikit. Karena sepanjang hidupmu hanya mengejar ini. Ironis, memiliki semua harta benda di dunia tapi kesehatan udah rusak, waktu hampir habis karena tersita oleh pikiran untuk mendapatkan sampah-sampah ini. Om adalah orang pintar yang menyedihkan, sebentar lagi mati dan apa yang dilakukan hanyalah menjaring angin. Tidak satupun dibawa mati. Dan banyak orang seperti om."

Ahmad terdiam merenungi perkataan om Butar. Apakah hidup harus memiliki seisi dunia? Padahal sesuatu yang lebih dari itu semua adalah Tuhan. Apakah arti hidup? Hidup itu harus apa? Kenapa tidak mencari Tuhan dan menikmati-Nya saja? Andai adiknya bisa mendengar sendiri apa yang telah ia dengar. Adiknya mungkin akan menjadi om Butar kedua yang hanya akan menukar hidupnya dengan benda-benda konyol yang tidak sebegitu berharganya.

Pengertian Ahmad digubahkan menjadi baru, tetapi sedih hatinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun