Menurut Asrori, seorang lulusan pondok pesantren Lirboyo Kediri, secara dasar kewajiban istri hanyalah macak dan manak (berdandan dan melahirkan). Bahkan menurutnya kewajiban seorang suami  dalam Islam ialah mencukupi hampir seluruh kebutuhan istri (termasuk  masak untuk istri). Nah, menurut saya pemahaman seperti ini  pula yang diperoleh Kartini ketika berguru pada Kiai Sholeh Darat. Ia  tahu, bahwa sebenarnya agama Islam tak memperlakukan perempuan dengan  buruk.
Jika Kartini sudah tahu bahwa agamanya  tak memperlakukannya dengan buruk, sangat manusiawi jika ia akhirnya  berpaling dari feminisme ke Islam. Inilah yang tak diketahui oleh para  feminis yang menyudutkan Kartini. Mereka tak mempelajari secara mendalam  mengapa Kartini bisa berubah 180 derajat.
Mengapa Kartini yang Dipilih?
Mengapa harus Kartini? Mengapa bukan  Sultanah Safiatudin, atau Siti Aisyah We Tenriolle atau Rohana Kudus?  Ini pertanyaan yang selalu dilontarkan jika bicara simbol perjuangan  perempuan.
Polemik penetapan Kartini sebagai simbol  perjuangan perempuan tak hanya bergaung saat ini saja. Polemik ini  sudah ada sejak Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik  Indonesia No. 108 Tahun 1964, yang isinya menetapkan Kartini sebagai  pahlawan kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini,  tanggal 21 April sebagai hari besar.
Dapat kita pahami bahwa 'kecemburuan'  penokohan Kartini paling besar dipengaruhi oleh hubungan dekat Kartini  dengan pemerintah Hindia Belanda dan kemunculan tokoh Kartini disaat  Belanda menjalankan politik balas budinya (politik etis). Faktor lainnya  ialah anggapan bahwa jasa Kartini lebih kecil dibandingkan tokoh  perempuan lainnya.
Menurut saya, membandingkan Kartini  dengan tokoh perempuan seperti Siti Aisyah We Tenriolle, Sultanah  Safiatudin dan Rohana Kudus kurang tepat. Saya pikir, bukan soal sudah  berapa sering Sultanah Safiatudin dan Cuk Nyak Dien yang angkat senjata  melawan Belanda. Dan, bukan pula soal sudah berapa anak yang dicerdaskan  oleh Siti Aisyah We Tenriolle dan Rohana Kudus. Tapi, sudah berapa  banyak orang yang terinspirasi lalu tergerak melawan Belanda karena ide  dan tulisan Kartini.
Kartini selain berperan sebagai guru  yang mencerdaskan anak pribumi, ia juga seorang 'konseptor' dan  'pelopor' pergerakan. Ia lebih banyak bermain di ranah ide, sedangkan  tokoh perempuan bermain di ranah aksi.
Kita tak bisa tahu sudah berapa banyak  laki-laki dan perempuan pribumi yang terinspirasi karena tulisan  Kartini, lalu tergerak untuk berjuang merebut kemerdekaan. Suka atau  tidak Kartini diuntungkan oleh 2 hal. Pertama, ia menulis idenya. Kedua,  ide tulisannya dipublikasikan secara massal. Sedangkan tokoh perempuan  yang saya sebutkan tadi rata-rata tak menuliskan idenya, dan otomatis  idenya tak terpublikasi secara massal.
Kita tak tahu secara pasti sudah  seberapa besar pengaruh pergerakan kemerdekaan yang tercipta dari  surat-surat Kartini. Tapi yang jelas kentara ialah gerakan kesadaran  Nasional menentang penjajah Belanda yang digawangi oleh HOS  Tjokroaminoto pada rentang 1915 hingga 1921 terjadi di Jawa dimana  surat-surat Kartini dipublikasikan secara massal.
Ini artinya para tokoh perempuan selain  Kartini tak bisa memberi pengaruh terhadap gerakan kesadaran nasional  yang terjadi di Jawa. Karena para tokoh perempuan tadi kontribusinya di  luar Jawa, bukan di pulau Jawa. Sultanah Safiatudin dan Cuk Nyak Dien  adalah warga Aceh. Siti Aisyah We Tenriolle adalah warga Sulawesi.  Sedangkan Rohana Kudus warga Sumatera Barat. Yang terakhir, Dewi Sartika  warga Jawa Barat. Tapi kita tak tahu idenya, karena ia tak menuliskan  pemikirannya seperti Kartini. Nah, saya kira karena hal inilah  Soekarno lebih memilih Kartini sebagai ikon pejuang perempuan Indonesia  ketimbang tokoh perempuan lainnya.