Surat yang dikirim pada 1901 lebih  banyak bicara tentang kekecewaan Kartini karena gagal sekolah, bicara  tentang kritik dominasi laki-laki dalam pernikahan dan bicara cita-cita  mendidik anak sesuai dengan misi kesetaraan gender.
Ada pun surat yang dikirim pada Januari  1902 hingga Juni 1902 bicara mengenai keresahan hati Kartini akan nasib  buruk yang akan ditimpa oleh adiknya yang menikah pada awal 1902.  Kartini pada masa ini masih sangsi dengan perkawinan.
Sedangkan surat yang dikirim mulai dari  juli 1902 hingga September 1904 tak lagi bicara mengenai kesangsian  terhadap agama, adat, pernikahan dan dominasi laki-laki. Pada fase ini,  Kartini sudah benar-benar lepas dari ideologi feminisme. Ia lebih banyak  bicara tentang tuntunan agama, bicara tentang pentingnya pendidikan  untuk anak-anak perempuan pribumi dan kejadian-kejadian ketika ia  mendirikan sekolah dan mengajar.
Nah, fase inilah yang dilewatkan oleh  para feminis. Harus diakui bahwa Kartini pada awal pemikirannya memang  lebih cenderung berideologi feminis. Tapi pada akhirnya ia lebih memilih  Islam sebagai pegangan ideologinya.
Lalu peristiwa penting apa yang terjadi  dalam hidup Kartini, sehingga ia meninggalkan feminisme? Di dalam buku  'Habis Gelap Terbitlah Terang' tak akan ditemukan sebab pemikiran  Kartini bisa berubah dari feminisme menjadi lebih Islamis. Karena  sepertinya ada beberapa surat yang sengaja tak dirilis oleh J H  Abendanon.
Tapi, dari penuturan Fadihila Sholeh  kita bisa tahu, peristiwa penting yang membuat Kartini berubah ialah  pertemuannya dengan Kiai Sholeh Darat. Asal tahu saja, Fadihila Sholeh  ialah cucu Kiai Sholeh Darat. Dan, Kiai Sholeh Darat sendiri  disebut-sebut sebagai guru dari Hasyim Asyari dan Ahmad Dahlan, pendiri  NU dan Muhammadiyah.
Menurut penuturan Fadihila Sholeh,  Kartini bertemu dengan Kiai Sholeh Darat pada saat Kartini berkunjung ke  rumah pamannya yang menjabat sebagai Bupati Demak. Disana, Kartini  menyempatkan diri mengikuti pengajian tafsir surah Al Fatihah yang  sedang diberikan oleh Kiai Sholeh Darat.
Kartini takjub dengan isi pengajian itu.  Karena sebelum bertemu Kiai Sholeh Darat, ia tak pernah tahu apa makna  surah Al Fatihah. "Alquran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke  dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak  ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi  tidak memahami apa yang dibaca. Aku pikir, adalah gila orang diajar  membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca," tulis Kartini kepada  Stella Zeehandelaar pada 6 Nopember 1899.
Pada zaman Kartini hidup, Belanda memang  melarang para ulama untuk menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa apapun.  Pertemuannya dengan Kiai Sholeh Darat sepertinya mulai membuka mata  Kartini. Ia yang sebelumnya menuding ulama melarang menerjemahkan  Alquran, mulai sadar bahwa Belanda lah dalang dibalik kebutaannya  terhadap agama Islam selama ini.
Mendapat pencerahan baru, Kartini mulai  belajar tafsir Alquran dari Kiai Sholeh Darat. Ia bahkan mendorong Kiai  itu untuk menerjemahkan Alquran agar penganut agama Islam bisa memahami  kitab sucinya.
Lalu bagaimana dengan idealisme  feminisme Kartini yang menentang pernikahan dan poligami? Pernikahan  dalam pandangan feminisme hanya akan membuat perempuan menjadi manusia  domestik. Dalam pernikahan perempuan diwajibkan mengurus segala  kebutuhan rumah tangga (dapur, sumur, kasur). Atas kesangsian feminisme  itu, saya punya jawabannya.