Pada tahun 2009 lalu saya pernah menulis  artikel tentang Kartini. Artikel itu saya beri judul "Kartini Perempuan  Gagal". Tulisan artikel itu bercerita bagaimana kerasnya pemikiran  feminisme Kartini menentang pernikahan, tapi akhirnya menikah dengan  laki-laki yang sudah beristri.
Saya akui artikel tersebut menyampaikan  sinisme kepada Kartini. Sinisme terhadap Kartini yang tak mampu memegang  teguh ideologi feminismenya. Tulisan artikel itu sendiri banyak  terinspirasi dari buku seorang feminis Indonesia; Gadis Arivia. Ia juga  menyebut Kartini gagal sebagai perempuan.
Selain memuat kegagalan Kartini, artikel  saya itu juga mewakili kesangsian para kritikus yang mengkritik  'pengkultusan' Kartini sebagai simbol perjuangan perempuan Indonesia.  Menurut mereka, masih banyak perempuan hebat selain Kartini yang jasanya  dianggap lebih besar ketimbang jasanya dalam memajukan pendidikan untuk  perempuan.Â
Misalnya saja Sultanah Safiatudin (1644---1675). Selain bahasa  Aceh dan Melayu, ia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol, dan Urdu.  Ia dikenal sebagai sosok pintar dan aktif dalam mengembangkan ilmu  pengetahuan melalui pendidikan untuk pria dan wanita. Di masa  pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ia pun mampu  menghalau Belanda dari Aceh.
Tokoh lainnya ialah Siti Aisyah We  Tenriolle. Wanita ini pun tak kalah hebat kontribusinya. Ia adalah  seorang wanita yang ahli dalam bidang pemerintahan dan sastra. B.F.  Matthes, warga Belanda ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat  manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000  halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We  Tenriolle. Pada tahun 1908, menurut Bachtiar, perempuan ini mendirikan  sekolah pertama di Tanette yang merupakan tempat pendidikan modern  pertama yang dibuka untuk putra dan putri.
Selain itu, beberapa kritikus Kartini  juga menghadirkan nama Rohana Kudus dan Dewi Sartika yang berkontribusi  terhadap pendidikan di zaman dan di daerahnya masing-masing.
Pertanyaan para kritikus Kartini masih  sama dari zaman Soekarno hingga sekarang; mengapa harus Kartini? Mengapa  bukan tokoh perempuan lainnya?
Selain penilaian Kartini sebagai  perempuan gagal dan perbandingan jasa dengan tokoh perempuan lainnya,  kritik radikal lainnya ialah sikap skeptis akan keaslian surat-surat  Kartini. Jika kita cari artikel di mesin pencari google, akan cukup banyak ditemui artikel yang di paragraf tertentu meragukan keaslian surat Kartini.
Sikap skeptis itu didasari atas tak  ditemukannya naskah asli surat Kartini, ditambah dengan kenyataan bahwa  yang memuplikasikan surat Kartini adalah J H Abendanon. Ia merupakan  petinggi Belanda yang mengurusi bidang pendidikan dan kebudayaan di  Hindia Belanda saat itu. J H Abendanon dicurigai memalsukan surat-surat  Kartini untuk kepentingan politik etis Belanda.
Itulah tiga contoh kritik yang  dilayangkan para feminis dan kritikus kepada sosok Kartini. Sebelum  buru-buru menilai Kartini, alangkah bijaknya kita kupas satu persatu  polemik sosok Kartini tersebut.
Meluruskan ideologi Kartini
Di awal sudah saya jelaskan bahwa saya  pernah salah menilai Kartini. Saat ini harus saya akui kesalahan  tersebut. Saya terlalu cepat memberikan 'vonis' kepada Kartini. Saya  terlalu terburu-terburu menilai Kartini gagal sebagai seorang perempuan.
Saya merasa saat ini seperti warga  negara Jerman dalam penglihatan Nietzsche. "Apa yang kurang dari  orang-orang Jerman? Belajar melihat, membiasakan mata pada ketenangan,  pada kesabaran, untuk membiarkan hal-hal datang kepadanya, untuk menunda  penilaian. Belajar melihat secara seksama yang partikular untuk  memahami dalam totalitasnya." kata Nietzsche.
Harus saya akui Nietzsche benar tentang  orang-orang yang terlalu cepat memberikan penilaian terhadap sesuatu.  Saya saat itu tak mengkaji pemikiran Kartini terlalu dalam, saya tak  membaca surat-suratnya hingga tuntas, tapi sudah berani menilai Kartini.  Ceroboh memang.
Tapi, sepertinya tak hanya saya yang ceroboh. Para penganut paham feminisme pun sepertinya banyak yang ceroboh menilai Kartini.
Saat ini mungkin para feminis masih  banyak yang setuju dengan pemikiran Gadis Arivia yang menilai Kartini  gagal sebagai perempuan. Dalam terminologi feminisme, bersuamikan  seorang laki-laki beristri tiga bukanlah cerminan seorang feminis  sejati. Menikah dengan laki-laki saja sudah merupakan bentuk  ketertindasan bagi seorang feminis. Apalagi menikah dengan laki-laki  yang sudah beristri tiga. Padahal Kartini dalam beberapa suratnya  menentang keras pernikahan. Ia bahkan menganggap poligami ialah sebuah  dosa.
"Hukum Islam mengizinkan laki-laki  menaruh empat orang perempuan. Meskipun seribu kali orang mengatakan,  beristri empat itu bukan dosa menurut hukum Islam, tetapi aku, tetap  selama-lamanya aku mengatakan itu dosa.... Mengertilah engkau sekarang apa  sebabnya maka sesangat itu benar benciku akan perkawinan? Kerja yang  serendah-rendahnya maulah aku mengerjakannya dengan berbesar hati dan  sungguh-sungguh, asalkan aku tiada kawin, aku bebas," tulis Kartini pada  Stella Zeehandelaar pada 18 Agustus 1899.
Tapi pada akhirnya, tanpa paksaan  Kartini menikah dengan Bupati Rembang yang sudah beristri tiga. Hal  inilah yang membuat para feminis (termasuk Gadis Arivia) sangat kecewa  dengan Kartini.
Asal tahu saja, pemikiran Kartini memang  sangat dekat dengan ideologi feminisme sebelum tahun 1902. Tak hanya  mengkritisi pernikahan, ia dalam beberapa suratnya juga mengkritiki  agama dan adat istiadat jawa yang melarang perempuan saat itu untuk  berpendidikan.
Kekecewaan para feminis cukup wajar,  karena mereka menganggap Kartini bagian dari mereka. Namun, sepertinya  para feminis tak membaca tuntas surat-surat Kartini.
Mengganggap Kartini seorang feminis saya  pikir tidak tepat. Apalagi menganggap Kartini gagal sebagai perempuan  (dalam artian feminisme), menurut saya, itu penilaian yang ceroboh.
Jika kita baca buku 'Habis Gelap  Terbitlah Terang' yang disusun oleh Armijn Pane, maka akan terlihat  perubahan ideologi Kartini. Pada Surat yang dikirim pada 1899, Kartini  banyak mengkritik masalah agama, poligami, dan adat istiadat Jawa. Surat  yang dikirim pada 1900 banyak berbicara mengenai kegirangan Kartini  yang akan bersekolah ke batavia dan bicara tentang pentingnya pendidikan  untuk perempuan pribumi.
Surat yang dikirim pada 1901 lebih  banyak bicara tentang kekecewaan Kartini karena gagal sekolah, bicara  tentang kritik dominasi laki-laki dalam pernikahan dan bicara cita-cita  mendidik anak sesuai dengan misi kesetaraan gender.
Ada pun surat yang dikirim pada Januari  1902 hingga Juni 1902 bicara mengenai keresahan hati Kartini akan nasib  buruk yang akan ditimpa oleh adiknya yang menikah pada awal 1902.  Kartini pada masa ini masih sangsi dengan perkawinan.
Sedangkan surat yang dikirim mulai dari  juli 1902 hingga September 1904 tak lagi bicara mengenai kesangsian  terhadap agama, adat, pernikahan dan dominasi laki-laki. Pada fase ini,  Kartini sudah benar-benar lepas dari ideologi feminisme. Ia lebih banyak  bicara tentang tuntunan agama, bicara tentang pentingnya pendidikan  untuk anak-anak perempuan pribumi dan kejadian-kejadian ketika ia  mendirikan sekolah dan mengajar.
Nah, fase inilah yang dilewatkan oleh  para feminis. Harus diakui bahwa Kartini pada awal pemikirannya memang  lebih cenderung berideologi feminis. Tapi pada akhirnya ia lebih memilih  Islam sebagai pegangan ideologinya.
Lalu peristiwa penting apa yang terjadi  dalam hidup Kartini, sehingga ia meninggalkan feminisme? Di dalam buku  'Habis Gelap Terbitlah Terang' tak akan ditemukan sebab pemikiran  Kartini bisa berubah dari feminisme menjadi lebih Islamis. Karena  sepertinya ada beberapa surat yang sengaja tak dirilis oleh J H  Abendanon.
Tapi, dari penuturan Fadihila Sholeh  kita bisa tahu, peristiwa penting yang membuat Kartini berubah ialah  pertemuannya dengan Kiai Sholeh Darat. Asal tahu saja, Fadihila Sholeh  ialah cucu Kiai Sholeh Darat. Dan, Kiai Sholeh Darat sendiri  disebut-sebut sebagai guru dari Hasyim Asyari dan Ahmad Dahlan, pendiri  NU dan Muhammadiyah.
Menurut penuturan Fadihila Sholeh,  Kartini bertemu dengan Kiai Sholeh Darat pada saat Kartini berkunjung ke  rumah pamannya yang menjabat sebagai Bupati Demak. Disana, Kartini  menyempatkan diri mengikuti pengajian tafsir surah Al Fatihah yang  sedang diberikan oleh Kiai Sholeh Darat.
Kartini takjub dengan isi pengajian itu.  Karena sebelum bertemu Kiai Sholeh Darat, ia tak pernah tahu apa makna  surah Al Fatihah. "Alquran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke  dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak  ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi  tidak memahami apa yang dibaca. Aku pikir, adalah gila orang diajar  membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca," tulis Kartini kepada  Stella Zeehandelaar pada 6 Nopember 1899.
Pada zaman Kartini hidup, Belanda memang  melarang para ulama untuk menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa apapun.  Pertemuannya dengan Kiai Sholeh Darat sepertinya mulai membuka mata  Kartini. Ia yang sebelumnya menuding ulama melarang menerjemahkan  Alquran, mulai sadar bahwa Belanda lah dalang dibalik kebutaannya  terhadap agama Islam selama ini.
Mendapat pencerahan baru, Kartini mulai  belajar tafsir Alquran dari Kiai Sholeh Darat. Ia bahkan mendorong Kiai  itu untuk menerjemahkan Alquran agar penganut agama Islam bisa memahami  kitab sucinya.
Lalu bagaimana dengan idealisme  feminisme Kartini yang menentang pernikahan dan poligami? Pernikahan  dalam pandangan feminisme hanya akan membuat perempuan menjadi manusia  domestik. Dalam pernikahan perempuan diwajibkan mengurus segala  kebutuhan rumah tangga (dapur, sumur, kasur). Atas kesangsian feminisme  itu, saya punya jawabannya.
Menurut Asrori, seorang lulusan pondok pesantren Lirboyo Kediri, secara dasar kewajiban istri hanyalah macak dan manak (berdandan dan melahirkan). Bahkan menurutnya kewajiban seorang suami  dalam Islam ialah mencukupi hampir seluruh kebutuhan istri (termasuk  masak untuk istri). Nah, menurut saya pemahaman seperti ini  pula yang diperoleh Kartini ketika berguru pada Kiai Sholeh Darat. Ia  tahu, bahwa sebenarnya agama Islam tak memperlakukan perempuan dengan  buruk.
Jika Kartini sudah tahu bahwa agamanya  tak memperlakukannya dengan buruk, sangat manusiawi jika ia akhirnya  berpaling dari feminisme ke Islam. Inilah yang tak diketahui oleh para  feminis yang menyudutkan Kartini. Mereka tak mempelajari secara mendalam  mengapa Kartini bisa berubah 180 derajat.
Mengapa Kartini yang Dipilih?
Mengapa harus Kartini? Mengapa bukan  Sultanah Safiatudin, atau Siti Aisyah We Tenriolle atau Rohana Kudus?  Ini pertanyaan yang selalu dilontarkan jika bicara simbol perjuangan  perempuan.
Polemik penetapan Kartini sebagai simbol  perjuangan perempuan tak hanya bergaung saat ini saja. Polemik ini  sudah ada sejak Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik  Indonesia No. 108 Tahun 1964, yang isinya menetapkan Kartini sebagai  pahlawan kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini,  tanggal 21 April sebagai hari besar.
Dapat kita pahami bahwa 'kecemburuan'  penokohan Kartini paling besar dipengaruhi oleh hubungan dekat Kartini  dengan pemerintah Hindia Belanda dan kemunculan tokoh Kartini disaat  Belanda menjalankan politik balas budinya (politik etis). Faktor lainnya  ialah anggapan bahwa jasa Kartini lebih kecil dibandingkan tokoh  perempuan lainnya.
Menurut saya, membandingkan Kartini  dengan tokoh perempuan seperti Siti Aisyah We Tenriolle, Sultanah  Safiatudin dan Rohana Kudus kurang tepat. Saya pikir, bukan soal sudah  berapa sering Sultanah Safiatudin dan Cuk Nyak Dien yang angkat senjata  melawan Belanda. Dan, bukan pula soal sudah berapa anak yang dicerdaskan  oleh Siti Aisyah We Tenriolle dan Rohana Kudus. Tapi, sudah berapa  banyak orang yang terinspirasi lalu tergerak melawan Belanda karena ide  dan tulisan Kartini.
Kartini selain berperan sebagai guru  yang mencerdaskan anak pribumi, ia juga seorang 'konseptor' dan  'pelopor' pergerakan. Ia lebih banyak bermain di ranah ide, sedangkan  tokoh perempuan bermain di ranah aksi.
Kita tak bisa tahu sudah berapa banyak  laki-laki dan perempuan pribumi yang terinspirasi karena tulisan  Kartini, lalu tergerak untuk berjuang merebut kemerdekaan. Suka atau  tidak Kartini diuntungkan oleh 2 hal. Pertama, ia menulis idenya. Kedua,  ide tulisannya dipublikasikan secara massal. Sedangkan tokoh perempuan  yang saya sebutkan tadi rata-rata tak menuliskan idenya, dan otomatis  idenya tak terpublikasi secara massal.
Kita tak tahu secara pasti sudah  seberapa besar pengaruh pergerakan kemerdekaan yang tercipta dari  surat-surat Kartini. Tapi yang jelas kentara ialah gerakan kesadaran  Nasional menentang penjajah Belanda yang digawangi oleh HOS  Tjokroaminoto pada rentang 1915 hingga 1921 terjadi di Jawa dimana  surat-surat Kartini dipublikasikan secara massal.
Ini artinya para tokoh perempuan selain  Kartini tak bisa memberi pengaruh terhadap gerakan kesadaran nasional  yang terjadi di Jawa. Karena para tokoh perempuan tadi kontribusinya di  luar Jawa, bukan di pulau Jawa. Sultanah Safiatudin dan Cuk Nyak Dien  adalah warga Aceh. Siti Aisyah We Tenriolle adalah warga Sulawesi.  Sedangkan Rohana Kudus warga Sumatera Barat. Yang terakhir, Dewi Sartika  warga Jawa Barat. Tapi kita tak tahu idenya, karena ia tak menuliskan  pemikirannya seperti Kartini. Nah, saya kira karena hal inilah  Soekarno lebih memilih Kartini sebagai ikon pejuang perempuan Indonesia  ketimbang tokoh perempuan lainnya.
 Menakar Keaslian Surat Kartini
Apakah surat-surat Kartini palsu? Ini  adalah pertanyaan yang paling radikal terhadap sosok Kartini. Sikap  skeptis ini muncul karena sosok Kartini dihadirkan oleh J H Abendanon  pada masa politik balas budi (politik etis). Ada kecurigaan bahwa  Abendanon lah yang menulis surat-surat itu bukan Kartini.
Untuk menjawab kecurigaan ini tak mudah. Tapi menurut saya ada beberapa bukti yang merujuk pada keaslian surat-surat Kartini.
Pertama; detail surat Kartini. Kartini  dalam surat-suratnya sangat detai menggambarkan keadaan hati dan  peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Misalnya surat berikut  ini. "Aku harus menurut suamiku itu; atau boleh juga ku tolak, tetapi  laki-laki itu berhak merantaiku seumur hidup, tetapi tak usah  mengindahkan hatiku. Bila bapak mengawinkan daku demikian, pastilah aku  bunuh saja diri ku. Tetapi bapak tidak akan berbuat demikian," tulis  Kartini pada Stella pada 23 Agustus 1900.
Di surat itu bisa kita lihat, betapa  Kartini sangat detail menggambarkan apa yang belum dan akan terjadi  dalam hidupnya. Di beberapa surat bahkan menggambarkan kasih sayang sang  ayah pada Kartini.
Selain itu ada pula suratnya yang  menggambarkan detail isi dialog Kartini dengan sang ibunda. Di beberapa  surat bisa kita temukan juga informasi dari Kartini yang menjelaskan  detail adat istiadat Jawa, dan informasi lainnya yang rasa-rasanya  mustahil orang Belanda bisa tahu; misalnya informasi detail tentang  tuntunan agama Islam.
Di beberapa suratnya di tahun 1903  hingga 1904, Kartini cukup banyak menyampaikan tuntutan agama pada  sahabat-sahabatnya. Ia pernah menulis tentang keutamaan sabar, puasa dan  seorang hamba Tuhan yang akan diuji sesuai kemampuannya.
Selain detail isi surat Kartini, poin  kedua ialah soal kronologi surat-surat Kartini. Di pertengahan tulisan  ini, sudah saya jelaskan bahwa terjadi perubahan ideologi dan pemikiran  dalam diri Kartini. Ini terjadi tak sekonyong-konyong. Ada proses, ada  informasi kejadian, ada pertentangan psikis dalam surat Kartini.
Jika surat itu dibuat bukan oleh  Kartini, mengapa surat itu tak dibuat dengan alur datar saja; tanpa  proses perubahan ideologi dan tanpa pergolakan psikis? Saya pikir, ini  salah satu hal yang menepis anggapan surat Kartini ditulis oleh J H  Abendanon.
Poin ketiga yang dapat merujuk keaslian  surat Kartini ialah sinisme Kartini pada bangsa Eropa. Tak mungkin  rasanya petinggi Belanda merilis surat yang berisi sinisme kepada Eropa.
Kartini memang cukup kritis pada Eropa  di masa-masa terakhir hidupnya. "Sudah lewat masanya, tadinya kami  mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling  baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap  masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal  yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama  sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?" tulis Kartini kepada  nyonya Abendanon, 27 Oktober 1902.
Isi surat tersebut jelas menyiratkan  bahwa Kartini mengkritik keras bangsa Eropa. Dalam surat yang sama, ia  bilang bahwa bangsa Eropa hanya mencari untung saja ketika memberi  pertolongan pada pribumi. "Ada sekali dikatakan bapak kepadaku "Ni.  Janganlah sangka, banyak orang Eropah yang sungguh-sungguh sayang  kepadamu. Cuma satu dua org saja yang berhati demikian." Kebanyakannya  berbuat seolah-olah suka kepada kami, supaya dipandang orang atau karena  mengingat untung labanya buat dia sendiri," sambung Kartini pada nyonya  Abendanon.
Apakah tiga hal ini terpikir oleh para  kritikus yang meragukan keaslian surat Kartini? Lalu, apakah mereka  sudah membaca tuntas dan mengkaji dalam surat-surat Kartini?
Perdebatan Kartini mungkin saja akan  terus berlangsung. Tapi saya harap para feminis dan kritikus selayaknya  bersikap adil pada Kartini. Dan, jangan sampai ketidaksukaan terhadap  seseorang menghalangi kita untuk bersikap adil dengan mengerdilkan  jasa-jasanya. Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H