Rasanya aku mulai suka dengan gaya bahasa menteri kita yang menggunakan kata kiasan untuk mengungkapkan sesuatu. Penggunaan kata-kata hiperbol membuat suasana menjadi lebih renyah dan memancing senyuman, walaupun topik yang disampaikan lumayan berat.
"Kami ingin melangkah maju bersama dan akan memberikan karpet merah yang lebih merah bagi para investor Malaysia, khususnya sebagai sahabat Indonesia," kata Menteri PUPR Basuki Hadimuljono kepada pengusaha asal Malaysia bila memiliki niat untuk berinvestasi dalam pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara beberapa waktu lalu.
Pemilihan frasa "karpet merah yang lebih merah" bisa jadi digunakan untuk menggambarkan komitmen pemerintah yang sangat kuat untuk menjaring masuknya investasi asing sebanyak-banyaknya ke IKN Nuantara.
Pemerintah memang ingin menunjukkan totalitasnya dalam membangun IKN; terlihat sejak penyusunan konsep pengembangan kota, pembuatan regulasi, pengalokasian dana APBN, bahkan sekarang sudah tahap implementasi pembangunan fisik dimana anggaran APBN sudah digunakan untuk pembangunan infrastruktur dasar dan juga bangunan-bangunan gedung untuk perkantoran dan pemukiman.
Baru-baru ini pemerintah juga memberlakukan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) kemudahan investasi lewat pemberian insentif seperti pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak yang diharapkan dapat mendorong minat investor untuk berinvestasi di IKN.
Aku setuju saja dengan hal ini, sejauh paket insentif yang diberikan tidak berlebihan hingga akhirnya membuat pemerintah tidak hanya kehilangan potensi penerimaan fiskal, tapi malah menimbulkan kesan bahwa pemerntah gelisah atau takut bahwa proyek ini tidak menarik di mata investor asing.
Bagiku, salah satu aspek terpenting yang menjadi acuan bagi daya tarik investasi adalah analisis finansial dari bisnis itu sendiri. Analisis finansial akan berangkat dari asumsi tentang target waktu pembangunan, jumlah populasi yang akan menghuni "kota" dalam beberapa periode pengembangan, serta implementasi pembangunan fisik di IKN yang tidak lari dari konsep awal pengembangannya.
Lazimnya, kebanyakan investor memang baru akan mengucurkan dana saat pembangunan proyek yang menjadi objek investasi mereka sudah mulai berjalan, bukan pada saat pengembangan kawasan mulai dari nol. Minimal payung hukum dan aspek perizinan sudah selesai baru mereka akan melayangkan surat minat untuk berinvestasi.
Dalam dunia bisnis, hal ini terkait dengan aspek "trust" yang harus dibangun dengan pihak investor. Inilah salah satu alasan mengapa pemerintah memang harus merancang mekanisme pendanaan secara internal terlebih dahulu pada tahap awal pembangunan IKN.
Terkait dengan investasi di IKN Nusantara, aku punya satu usulan kepada Menteri Keuangan Bu Sri Mulyani agar menjual sebagian besar aset-aset kementerian dan lembaga (K/L) yang kosong karena pindah ke IKN.
Sebelumnya, Menkeu Sri Mulyani Indrawati sudah memberikan gambaran bahwa terdapat aset negara senilai Rp 1.464 triliun di Jakarta yang akan dikelola secara terintegrasi oleh Kementerian Keuangan saat pemerintah pusat pindah ke IKN Nusantara di Kalimantan Timur.
Aset-aset ini termasuk dalam Barang Milik Negara (BMN) yang bisa dimanfaatkan lewat skema persewaan hingga pemindahtanganan kepemilikan. Adapun pemindahtanganan BMN dapat dilakukan dalam bentuk tukar menukar, penjualan, ataupun hibah, yang telah diatur dalam UU IKN dan PP No. 17/2022 Â tentang pengelolaan BMN tersebut.
Usulanku tentang penjualan aset K/L ini tidak tanggung-tanggung; meliputi sebagian besar (lebih dari 50%) dari total aset. Bayangkan saja berkah yang didapatkan IKN jika Menkeu menargetkan penerimaan minimal Rp 700 triliun dari penjualan aset.Â
Sementara aset-aset tertentu akan terus dipertahankan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan kebutuhan dan fungsinya.
Usulan ini memang terdengar kontroversial, tapi menurutku logis jika dilihat dari beberapa perspektif. Berikut alasan-alasannya:
Pertama, mendukung Repositioning Jakarta
Setelah pemindahan ibukota negara ke IKN Nusantara, Jakarta selanjutnya memposisikan diri sebagai pusat ekonomi, menjadi semacam economic super-hub, seperti peran yang diambil kota New York di Amerika Serikat.
Pemprov Jakarta mestinya memperdalam konsep "Repositioning Jakarta" sebagai pusat ekonomi dengan mengusulkan beragam regulasi dan program-program  peningkatan fasilitas dan sarana/prasarana yang dibutuhkan untuk bertransformasi menjadi "Mega City" layaknya Kota New York.
Jadi, idenya memang mengurangi kepemilikan aset milik pemerintah di Jakarta untuk memaksimalkan volume ekonomi disana. Karena itu pemanfaatan aset-aset K/L yang pindah ke IKN sebaiknya dikomunikasikan dengan pemprov Jakarta terlebih dahulu untuk mengkaji peluang-peluang pemanfaatan.
Selanjutnya, konsep Repositioning Jakarta akan menjadi selling point pihak Kemenkeu pada saat menawarkan penjualan aset-aset ini ke perusahaan-perusahaan besar di seluruh dunia atau kepada para investor properti.
Kedua, adanya perbedaan "value" aset
Akan ada perbedaan valuasi nilai aset yang berbentuk tanah dan bangunan gedung milik K/L di Jakarta dibandingkan dengan pengembangan aset yang baru di wilayah IKN berdasarkan asumsi dana hasil penjualan asset K/L akan digunakan sepenuhnya untuk pembangunan IKN.
Jadi usulan ini konteksnya tidak lagi murni sebagai penjualan aset, tapi lebih pada penggantian portfolio aset milik pemerintah.
Maksudnya begini: Pertumbuhan atau peningkatan (apresiasi) nilai asset di DKI Jakarta saat ini ada di kisaran 3% -5% saja per tahun, sementara jika aset-aset tersebut di Jual lalu dananya digunakan untuk pembangunan IKN (dalam bentuk pembangunan infrastruktur, sarana dan prasarana, pembangunan gedung-gedung baru) maka artinya pemerintah menciptakan nilai tambah (create value)Â terhadap aset di IKN.Â
Sebagai konsekuensinya, pembangunan fisik di kawasan IKN akan menghasilkan peningkatan nilai lahan secara signifikan di kawasan tersebut, dan nilai ini akan berlipat ganda sejalan dengan pertumbuhan populasi yang menghuni IKN.Â
Dengan kata lain, pemerintah akan mendapat keuntungan yang jauh lebih besar jika skema penggantian portfolio aset ini dijalankan.
Ketiga, opsi sewa di Jakarta sudah kurang menarik
Pasar properti sektor gedung perkantoran di area DKI Jakarta telah bertahun-tahun terus mengalami tekanan.
Pada tahun 2020, total kumulatif tingkat kekosongan perkantoran di kawasan Central Business District (CBD) maupun luar CBD Jakarta adalah seluas 2.090.000 meter persegi atau 209 hektar, dengan tingkat kekosongan (vacancy)Â gedung perkantoran mencapai 20 persen.
Fenomena tingginya tingkat kekosongan perkantoran di kawasan CBD maupun luar CBD Jakarta dipicu oleh berlebihnya tingkat pasokan selain penutupan sejumlah perusahaan, relokasi, dan pembatasan operasional akibat Pandemi Covid-19.
Pada tahun 2021, secara umum tidak ada pasokan baru di sektor perkantoran Jakarta dimana tingkat okupansi sekitar 72 persen dari stok kumulatif yang tersedia lebih dari 6 juta meter persegi. Ini artinya ada 28 persen ruang kosong perkantoran Jakarta yang tak berpenghuni atau sekitar 1,68 juta meter persegi alias 168 hektar.
Berangkat dari fakta-fakta ini, pilihan untuk menyewakan gedung-gedung K/L yang pindah ke IKN menjadi tidak menarik karena realisasi penerimaan pemerintah dari hasil sewa space perkantoran tidak akan sesuai dengan ekspektasi, selain beban biaya pemeliharaan yang mahal untuk merawat gedung-gedung tersebut.
Keempat, mengurangi beban APBN
Kalau ini sudah jelas. Beban APBN akan jauh berkurang jika pemenuhan kebutuhan investasi bisa dialokasikan dari penjualan aset K/L secara bertahap yang jumlahnya luar biasa besar.
Berikutnya pemerintah akan lebih leluasa merancang alokasi APBN untuk pembangunan sektor-sektor produktif lainnya guna mengakselerasi pertumbuhan ekonomi di seluruh negeri secara lebih merata.
Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H