Hal ini sudah menjadi "rumus" standard yang di jalankan oleh developer di Indonesia, tidak terkecuali Lippo Group yang membangun Meikarta. Dana sangat besar yang dibutuhkan Lippo Group untuk membangun Meikarta, seperti diungkapan Chairman Lippo Group James Riady, sebagaimana dikutip dari Kompas.com, "pada tahap pertama dibangun seluas 22 juta meter persegi bangunan dengan nilai investasi Rp 278 triliun". Sumber dananya dijelaskan berasal dari kelompok usaha Lippo, pra-penjualan, dan kemitraan investasi dengan investor global.
Singkat kata, bagi yang memahami hitung-hitungan developer di Indonesia tahu persis bahwa proporsi paling besar dari kebutuhan dana tersebut diperoleh dari penjualan unit ke konsumen. Sebagai gambaran saja, bahkan disaat baru memulai tahapan perizinan pun Lippo Group sudah mendapatkan suntikan dana segar dari konsumen sebesar Rp. 8 trilyun dari penjualan (pre-sales) 16,800 unit apartemen dengan harga khusus.
Kembali lagi ke pertanyaan awal tentang potensi Meikarta menjadi "Kota Hantu", jawabannya bisa saja terjadi, namun untuk kasus Meikarta dan proyek-proyek pengembangan kawasan lain di Indonesia, sebagaimana yang diuraikan di atas, fenomena Kota Hantu lebih mungkin terjadi akibat tingkat hunian yang rendah, bukan karena unit-unit tersebut tidak laku terjual.
Berikut penjelasannya:
Pertama, pembeli unit-unit apartemen mayoritas adalah investor properti
Ini adalah sesuatu yang lazim di Indonesia, juga di negara-negara lain, bahwa mayoritas konsumen pembeli unit-unit apartemen adalah para investor properti, baik pribadi (perorangan) maupun perusahaan, baik yang sekedar berinvestasi di satu atau beberapa unit maupun yang membeli beberapa lantai sekaligus. Lazimnya, para investor properti ini membeli unit apartemen menggunaan skema pembayaran cash atau cash bertahap. Sebagai contoh Apartemen Kalibata City yang di-claim telah di beli oleh investor properti sebanyak hampir 80 % dari jumlah unit.
Masalahnya adalah para investor ini dari awal memang tidak berniat untuk menghuni unit-unit apartemen yang mereka beli. Inilah yang menjawab pertanyaan mengapa tingkat hunian apartemen begitu rendah sementara unit-unit sudah habis terjual bahkan sebelum tower apartemennya dibangun.
Sedikit ilustrasi tentang kondisi hunian apartemen di Indonesia, seorang teman pernah menceritakan kepada saya tentang tingkat hunian Altiz Tower, apartemen yang dibangun Jaya Properti di kompleks Bintaro Plaza. Setelah selesai dibangun dan unit-unitnya diserahterimakan kepada pemilik, tingkat huniannya bahkan masih di bawah 10%.
Motivasi investor properti di Indonesia memang lebih dominan pada gain atau profitabilitas tinggi yang diperoleh dari selisih nilai properti yang dibeli pada saat launching perdana dibandingkan pada saat tower apartemennya selesai dibangun. Unit properti ini selanjutnya akan mereka lepas ke pasar secondary house atau tetap mereka simpan (sekedar untuk disewakan) sebagai tambahan portofolio aset milik mereka.
Kedua, regulasi yang ada menyebabkan penjualan unit apartemen ke end-user pada saat launching perdana kurang menguntungkan developer
Sebelumnya, perlu saya jelaskan bahwa end-user yang dimaksudkan disini adalah konsumen yang membeli unit-unit hunian atas dasar kebutuhan akan rumah tinggal, atau jika menggunakan definisi Bank Indonesia (BI) adalah Konsumen Rumah Pertama. Secara umum, karakteristik mereka kebanyakan merupakan keluarga muda golongan pekerja, membeli unit apartemen menggunakan fasilitas kredit KPA, dan biasanya akan langsung menempati unit hunian yang mereka beli.