Pembangunan kota-kota baru ini dilaksanakan secara massive (dilakukan secara besar-besaran dengan speed konstruksi yang luar biasa) di banyak wilayah di China, kebanyakan di sekitar wilayah economic hub, atau kota-kota kecil yang berpotensi menjadi hub baru.Â
Pembangunan secara massive ini sangat dimungkinan di China karena mereka memiliki skema pembiayaan unik yang menjadi motor yang menggerakkan industri properti, dikenal dengan nama Local Government Financing Vehicle (LGFV) yang telah diterapkan diseluruh daratan China.
LGFV ini merupakan perusahaan BUMD yang didirikan pemerintah daerah di China untuk mengumpulkan tanah-tanah pertanian lokal, merelokasi para petani dari tanah tersebut, lalu membuat zona baru yang diperuntukkan bagi kebutuhan masyarakat perkotaan (urban use). Tanah-tanah ini di bundel dalam bentuk bond atau surat berharga dan dijual ke bank terbesar di China, China Development bank (CDB).
Dana yang didapatkan oloeh LGFV dari penjualan bond ke CDB inilah yang digunakan untuk mengajak developer mengembangkan lahan menjadi area residensial, komersial, dan perkantoran yang diperuntukkan bagi masyarakat urban.
Dalam perjalanannya, China memiliki lebih dari 10.000 LGFV dan tidak semuanya sukses, banyak juga yang gagal yang membentuk apa yang disebut sebagai Kota Hantu China.
Namun, satu hal yang menarik dicermati adalah fenomena Kota Hantu ini tidak seburuk dan se-menakutkan seperti yang biasa kita konsumsi di media massa. Pada dasarnya yang menjadi Hantu di China ini adalah asset yang merupakan properti masa depan (future property) atau kalau di Indonesia kita biasa menyebutnya sebagai unit-unit ready stock .
Berbeda dengan di Indonesia dan negara-negara lain, di China tidak ada pajak properti. Ini mengakibatkan beban (cost) developer atas unit-unit kosong yang belum terjual ini menjadi lebih ringan.
Mungkinkah Meikarta menjadi sebuah Kota Hantu?
Sebelumnya, saya ingin menjelaskan bahwa ada perbedaan mendasar tentang apa yang terjadi di China dengan di Indonesia karena adanya perbedaan regulasi. Secara prinsip, perbedaan ini mengakibatkan proses land development yang terjadi di China akan berbeda dengan di Indonesia.
Di China, semua lahan adalah milik negara, masyarakatnya hanya bisa memiliki hak pakai atas tanah (land use right). Jika anda sudah mendapatkan hak pakai atas tanah, maka anda memiliki waktu 2 tahun untuk mendirikan bangunan, jika tidak hak pakai tersebut akan dicabut. Bagi developer, kondisi ini memberi mereka tekanan untuk segera memulai dan menyelesaikan konstruksi fisik bangunan.
Beda jauh dengan Indonesia, developer tidak dalam tekanan untuk segera memulai proses konstruksi bangunan. Fase konstruksi malah dilaksanakan setelah developer memperoleh dana yang memadai dari penjualan unit.