Pagi yang cerah di hari pertama masuk sekolah. Belum ada kegiatan belajar-mengajar di SDN 1 Sangkan Kidul. Wanita muda tengah berdiri di depan kelas memperkenalkan dirinya sebagai wali kelas tiga tahun ini, meski sebenarnya sebagian besar murid sudah mengetahui siapa guru itu.
Setelahnya, sang guru menyuruh murid-murid menunjuk seseorang untuk dijadikan ketua murid dan wakilnya. Indra terkejut ketika teman sebangkunya, langsung mengangkat tangan.
"Saya, Bu," sahut Coki. "Saya akan menjadi KM di kelas ini," lanjutnya.
Ucapannya terdengar meyakinkan. Tak ada murid lain yang membantahnya. Mereka terdiam seakan tak ingin mengusik. Semua tahu kalau Coki, atau yang bernama asli Cecep, adalah anak dari Pak Juned-- mantan preman kampung.
"Baiklah, kamu Cecep akan menjadi KM tahun ini," ucap Ibu Sri tersenyum. "Sekarang silahkan kamu tunjuk siapa yang akan menjadi wakil ketua kelas, Cep."
Anak lelaki berambut cepak itu langsung terdiam, kemudian melihat ke seluruh isi kelas, memilih anak yang akan menjadi wakilnya. Sempat dia melihat Aep, anak lelaki yang di kelas dua kemarin jadi wakilnya. Tetapi matanya teralihkan pada anak lelaki di sampingnya. Indra tampak gelisah, berharap dirinya tidak ditunjuk.
"Indra, Bu. Saya pilih Indra jadi wakil ketua kelas," ucap Coki.
Indra terkesiap kemudian menatap teman sebangkunya itu. Tidak hanya dirinya, hampir semua murid terkejut dan langsung melihat ke arah Indra, anak yang tidak naik kelas tahun lalu dan harus mengulang kelas 3 tahun ini bersama mereka.
Beberapa murid tampak menyunggingkan senyum, sinis menertawakan. Seolah tidak setuju dengan pilihan Coki. Namun, tidak ada yang berani membantahnya dan memilih tidak berkata apapun.
Sejenak Ibu Sri menatap keadaan kelas di hadapannya. Tentu saja sebagai seorang guru, adalah tidak mungkin meragukan kemampuan seorang murid. Sang guru pun menyetujui pilihan Coki. "Baiklah, kita sudah me--"
"Bu, biar saya saja yang jadi wakilnya." Tiba-tiba saja seorang murid yang duduk paling depan mengangkat tangannya.
"Tapi, wakil ketua murid sudah ditentukan, Ep," sahut Ibu Sri agak terheran.
"Tidak bisa. Murid-murid yang lainnya belum setuju," sergah anak lelaki berambut tipis itu.
"Kamu, kan, sudah tahun kemarin di kelas dua jadi wakil KM, Ep. Giliran atuh," cecar Coki.
"Kamu juga, kan, kelas dua kemarin jadi KM, masa sekarang jadi KM lagi," timpal Aep. "Lagi pula, masa murid tidak naik kelas jadi wakil KM."
Seketika itu tawa terdengar di ruang kelas. Indra tampak tertunduk malu. Wajahnya memerah. Dia teringat ketika pembagian rapor tahun kemarin, berita tentang dirinya yang menjadi satu-satunya murid tidak naik kelas di sekolah tersebar. Banyak anak mengejek, sampai Indra tak berani keluar rumah untuk bermain.
"Emang kalau tidak naik kelas, tidak boleh jadi wakil KM?" sergah Coki.
Pertanyaan tegas itu membuat riuh suara tawa memudar lalu hening. Ibu Sri yang memperhatikan perseteruan murid-muridnya itu hanya bisa tersenyum, kemudian mulai berkata.
"Anak-anak, siapapun boleh menjadi ketua murid atau wakil ketua murid. Siapapun. Termasuk Indra," ucapnya. Semua murid tampak memperhatikan sang guru bicara. "Tidak ada salahnya mempercayai Indra menjadi wakil ketua murid. Siapa tahu dengan menjadi wakil ketua murid, Indra bisa lebih rajin belajar dan naik kelas tahun ini," lanjutnya.
"Tapi, Bu."
"Tapi apa, Aep?" tanya Ibu Sri. Namun, si anak terdiam tak berani melanjutkan perkataanya. "Yang tidak boleh itu, jika ada yang memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan diri sendiri," jelas sang guru. "Mengerti anak-anak?"
"Mengerti, Bu," ucap semua murid serentak. Sang guru tersenyum bangga.
Akan tetapi, rupanya Aep belum puas dengan pemilihan itu. "Tapi, Bu, apa Indra tahu tugas wakil ketua murid itu apa," ucapnya.
Ibu Sri agak terkejut dengan pertanyaan Aep. "Di sekolah ini kan kita sedang belajar. Termasuk belajar menjadi ketua dan wakil ketua," jawab Ibu Sri.
"Kalau begitu, Cecep kan sudah pernah jadi KM. Kasih anak lain dong, Bu," ucap Aep.
Ibu Sri tampak berpikir. "baiklah, selain Cecep, siapa yang mau jadi ketua murid?" tanyanya.
Namun, semuanya tak berani mengacungkan tangan kecuali Aep. Tangan kanannya terangkat satu dengan meyakinkan persis di hadapan Ibu Sri.
"Baiklah, sekarang ada dua kandidat yang akan menjadi Ketua murid," ucap Ibu Sri.
"Tidak bisa begitu, dong. Kan saya yang mengajukan duluan."
"Kamu mengajukan diri, tetapi belum tentu ada yang memilihmu, Cep," ujar sang guru. "Sekarang ibu mau bertanya pada semuanya, siapa yang memilih Aep jadi Ketua murid silahkan angkat tangan," titahnya.
Namun, hanya ada dua murid yang mengangkat tangan. Coki tampak tersenyum.
"Sekarang siapa yang memilih Cecep jadi Ketua murid, angkat tangan!"
Seketika, hampir semua murid mengangkat tangan termasuk Indra. Coki yang ada di sebelahnya tersenyum jemawa. "Bagus," ucap Coki pada Indra sambil mengacungkan jempol padanya.
"Sekarang siapa yang memilih Indra jadi wakil ketua murid, angkat tangan!"
Semua murid tampak ragu-ragu dengan pilihannya. Mereka saling pandang ke teman-teman di sebelahnya. Ada yang mengangkat tangan, tetapi setelah melihat hanya dia satu-satunya, perlahan ia menurunkannya kembali.
"Sekarang siapa yang memilih Aep jadi wakil ketua murid, angkat tangan."
Tak perlu diragukan lagi. Semua memilih mengangkat tangan termasuk Indra sendiri. Coki yang ada di sebelahnya terheran. Walau begitu dia mengerti kalau kawan barunya itu tidak mau jadi wakilnya.
"Baiklah, semua sudah memilih. Dan dapat simpulkan kalau yang akan menjadi ketua murid adalah Cecep dan Aep menjadi wakilnya," ucap Ibu Sri di depan kelas. Serentak semuanya bertepuk tangan hingga membuat riuh ruang kelas. "Sekarang siapa yang mau jadi bendahara?" tanya ibu.
Selanjutnya kelas pun disibukan dengan pemilihan perangkat kelas lainnya, juga pembagian jadwal mata pelajaran.
Â
****
Â
Pagi menjelang siang ketika murid-murid kelas tiga membubarkan diri dari kelasnya, disusul kelas lainnya beberapa saat kemudian. Karena belum ada kegiatan belajar-mengajar, para guru memulangkan murid-muridnya lebih awal.
Indra yang terakhir keluar dari kelas langsung mencari di mana kawan barunya berada. Rupanya anak lelaki yang baru saja ditunjuk sebagai ketua murid itu sedang mengobrol sama Aep, wakilnya.
Indra terheran, karena dia pikir mereka berdua bermusuhan. Dia pun berjalan ke arah mereka. Akan tetapi, karena merasa Aep dan Coki sedang membicarakan hal penting, Indra urung menghampiri dan terus berjalan untuk pulang.
"Indra," panggil Coki.
Indra berhenti berjalan, berbalik, dan menyahutnya. "Hah?"
"Ikut, yuk?"
"Ke mana?" tanya Indra tak mengerti.
"Main, Hayu!"
Tak jauh dari sana, Pak Marwan--sang penjaga sekolah-- tersenyum ketika melihat Indra, Aep, dan Coki pergi bersama-sama dari lingkungan sekolah. Mereka pun berjalan beriringan menuju suatu tempat yang dimaksud Coki: Gunung.Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H