"Bu, biar saya saja yang jadi wakilnya." Tiba-tiba saja seorang murid yang duduk paling depan mengangkat tangannya.
"Tapi, wakil ketua murid sudah ditentukan, Ep," sahut Ibu Sri agak terheran.
"Tidak bisa. Murid-murid yang lainnya belum setuju," sergah anak lelaki berambut tipis itu.
"Kamu, kan, sudah tahun kemarin di kelas dua jadi wakil KM, Ep. Giliran atuh," cecar Coki.
"Kamu juga, kan, kelas dua kemarin jadi KM, masa sekarang jadi KM lagi," timpal Aep. "Lagi pula, masa murid tidak naik kelas jadi wakil KM."
Seketika itu tawa terdengar di ruang kelas. Indra tampak tertunduk malu. Wajahnya memerah. Dia teringat ketika pembagian rapor tahun kemarin, berita tentang dirinya yang menjadi satu-satunya murid tidak naik kelas di sekolah tersebar. Banyak anak mengejek, sampai Indra tak berani keluar rumah untuk bermain.
"Emang kalau tidak naik kelas, tidak boleh jadi wakil KM?" sergah Coki.
Pertanyaan tegas itu membuat riuh suara tawa memudar lalu hening. Ibu Sri yang memperhatikan perseteruan murid-muridnya itu hanya bisa tersenyum, kemudian mulai berkata.
"Anak-anak, siapapun boleh menjadi ketua murid atau wakil ketua murid. Siapapun. Termasuk Indra," ucapnya. Semua murid tampak memperhatikan sang guru bicara. "Tidak ada salahnya mempercayai Indra menjadi wakil ketua murid. Siapa tahu dengan menjadi wakil ketua murid, Indra bisa lebih rajin belajar dan naik kelas tahun ini," lanjutnya.
"Tapi, Bu."
"Tapi apa, Aep?" tanya Ibu Sri. Namun, si anak terdiam tak berani melanjutkan perkataanya. "Yang tidak boleh itu, jika ada yang memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan diri sendiri," jelas sang guru. "Mengerti anak-anak?"