Bel berbunyi. Seketika anak-anak beranjak dari tempatnya, bergegas, ada yang berlari adapun yang dengan santainya berjalan menuju kelas mereka masing-masing. Setelah dirasa sudah masuk semua, Pak Marwan menghentikan pukulannya. Hanya dalam waktu satu menit saja, halaman sekolah sudah kosong, semua murid sudah berada di kelasnya, kecuali seorang bocah berseragam lusuh dengan kantong gendong kebesaran dan sepatu berlubang itu. Ia masih berada di depan pintu gerbang sekolah, ragu untuk masuk. Matanya menatap halaman sekolah yang kosong.
Bocah itu takut akan diejek lagi seperti saat kenaikan kelas dulu, semua teman-teman menertawakannya. Untuk pulang pun ia tak berani, ia tak tahu harus berkata apa pada ibunya ketika ditanya nanti. Indra menyandarkan punggungnya di tembok gerbang, menunduk, perlahan merendahkan posisi tubuhnya sampai berjongkok di sana, kemudian memeluk lutut, dan menenggelamkan kepala di antara lipatan tangannya.
Beberapa saat kemudian. Seorang bocah lain berseragam sama datang. Ia merasa aneh melihat Indra berjongkok di tepi gerbang. Ketika melewatinya, ia memberanikan diri menegurnya.
"Hei, kenapa belum masuk? Terlambat juga ya?" ucap bocah itu. Ia berdiri tepat di depan Indra.
Indra yang mendengarnya kemudian mengangkat kepala untuk melihat siapa yang bertanya. Wajahnya yang memelas menyiratkan ia tak berani menjawab, karena mungkin tak tahu harus berkata apa. Setelah melihat wajahnya, bocah yang berdiri langsung mengenali siapa anak yang sedang ditanya itu.
"Indra? Kamu Indra, 'kan? Indra Abdurahman yang nggak naik kelas itu?" tebaknya.
Mimik muka Indra langsung panik sekaligus takut, ia berpikir bocah yang berdiri di hadapannya akan mengejek. Ia pun menundukkan kepalanya lagi. Namun, tidak ada ejekan yang ia dengar darinya, melainkan sebuah ajakan untuk ikut bersamanya.
"Masuk, yuk. Jangan takut. Nanti kamu sebangku sama saya," ujarnya.
Namun, Indra tak bergeming.
"Hayu! Tenang. Kalau ada yang berani ngejek kamu, saya ajak gelut dia." ucap bocah itu.
Mendengar perkataannya, Indra langsung mengangkat kepalanya kembali. Ia merasa lebih tenang dan merasa bocah ini akan melindunginya dari murid-murid lain. Ia pun berdiri, ketakutannya sedikit berkurang.