Meski akhirnya aku menyerah. Lantas aku berdiri, memasang wajah canggung, dan tersipu malu sambil menggaruk belakang kepala. Akhirnya aku berkata jujur, mengakui bahwa aku tak mengerti. Bukannya marah atau setidaknya jengkel karena merasa dipermainkan, dia malah tertawa. Aku yang merasa bodoh pun tersengir lalu ikut tertawa, getir.
"Apa kau akan pergi ke Pantai Pandawa juga?" tanyanya kemudian. Aku mengangguk. "Ya sudah, antar aku ke sana."
"Terus Vespa-nya?"
"Tinggalkan saja! Motor butut begitu mana ada yang mau curi," ucapnya.Â
Hingga akhirnya kami meninggalkan vespa yang sebagian lekuk badannya sudah banyak noda karat. Kami pun berkendara menuju pantai tujuan. Dia yang aku bonceng dengan motor matic tak segan memelukku dari belakang. Jujur, aku senang. Ada getaran dari perutku yang dia pegang. Semacam setruman kecil yang seketika membangkitkan adrenalin. Aku pacu motor hingga melaju kencang melewati dua dinding tebing seperti lorong menuju surga yang tersembunyi.Â
Kami menikmati pantai bersama; bersantai duduk di atas pasir putih; atau berjalan-jalan berdua selayaknya sepasang kekasih; berbincang sampai sore sambil menikmati air kelapa muda. Aku ingat, kami membicarakan sesuatu tentang kelahiran seorang bayi. Perempuan itu tampaknya sangat religius. Dia berkata jika suatu hari dilahirkan kembali, dia ingin tetap berada di Pulau Bali. Ketika aku mempertanyakannya, sejenak dia diam. Kemudian tersenyum, lantas berkata, "Aku terlalu takut untuk keluar dari pulau ini, dan tak akan pernah meninggalkan pulau ini."
Dari raut wajah yang kupandangi itu, tersirat kesedihan yang mendalam meski senyum membalut, menyamarkannya. Aku yang sebenarnya ingin mempertanyakan lebih lanjut, memutuskan urung melontarkan pertanyaan yang sudah ada di ujung lidah, yang mungkin akan membuatnya merasa tak nyaman.
Sore menjelang. Kami berdua terduduk di bawah pohon kelapa menikmati sun set. Tanpa segan, perempuan itu menaruh kepalanya di pundakku ketika detik demi detik sang surya tenggelam, menyisakan warna langit yang membias sewarna; jingga yang mulai meredup gelap. Aku merasakan kesedihan itu lagi. Kemudian aku merangkul dan mengusap lengannya.
Itu adalah pertemuan pertama kami. Aku merasakan getaran asmara ketika bersamanya, yang membuatku yakin dialah perempuanku.Â
****
Begitu kembali ke tempat vespa itu ditinggalkan, motor antik itu sudah hilang. Namun, bukannya marah, perempuan itu malah tersenyum dan dengan entengnya dia mengajakku pulang ke rumahnya seakan tidak peduli pada kendaraan jadul itu.Â